Oleh: Nurcholish Rustam
Ketua Rampai Nusantara Malut
_________________________
KONTESTASI Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota) telah selesai, dan kita sudah mengetahui siapa yang keluar sebagai pemenangnya. Terlepas dari dinamika politik dan proses hukum yang kemudian berlanjut di Mahkamah Konstitusi (MK) khusus untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Maluku Utara telah menetapkan hasil rekapitulasi suara yang memenangkan Sherly Tjoanda – Sarbi Sehe dengan latar belakang pengusaha dan birokrat sebagai peraih suara terbanyak yakni 359.416 suara atau 50,69 % *(situs pilkada2024.kpu.go.id).
Berbagai tawaran visi–misi yang dikampanyekan oleh kandidat serta tim suksesnya secara langsung tentu semuanya mempunyai dampak positif terhadap pembangunan di Maluku Utara. Ada yang memasang tagline HAS Maluku Utara (Selamatkan Malut), Maluku Utara Maju OK GASS, Malut Kuat, Malut Bangkit, sampai tagline yang polos dan datar. Semua itu satu kesatuan yang tidak terpisah dari misi membangun daerah, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu kita sadari dan bisa menjadi telaah kita bersama yakni “Dari Sisi Mana Kita Mau Merubah Maluku Utara (jika dilihat dari perspektif Sosio Kultural dan Birokrat)? Dan indikator apa yang mau dipakai untuk mengubah Maluku Utara? Terus bagaimana dengan fondasi pembangunan yang sudah dilakukan Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya?
Tentunya ini akan menjadi kontradiksi kualitatif jikalau visi Calon Gubernur-Wakil Gubernur dipaksakan pada sisi perubahan, karena perubahan tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh tahapan dan proses yang begitu lama karena minimal langkah awal yang dilakukan adalah membongkar fondasi yng telah dibangun pemerintahan sebelumnya, dan jikalau itu dilakukan, niscaya pembangunan akan berjalan kurang maksimal akibat tenaga Calon Gubernur dan Wakil Gubernur terkuras habis oleh fondasi yang sudah dibongkar.
Akhirnya, pembangunan selanjutnya semakin tidak maksimal dan yang sangat kontradiktif yaitu Pilkada hanya 5 (lima) tahun sekali. Artinya, waktu 2 (dua) tahun hanya dipakai untuk membangun, karena 3 (tiga) tahun telah dipakai untuk pembongkaran, konsolidasi, sosialisasi program sampai tetek-bengek lainnya (termasuk tahun terakhir yang pakai untuk konsolidasi persiapan maju pada periode berikutnya).
Maka dari itu, suksesi Pilgub Maluku Utara harus berorientasi pada upaya untuk membangun akselerasi program, yakni sinergitas antara program pemerintah pusat, program pemerintahan sebelumnya serta pemerintahan selanjutnya, sehingga bisa tercapai secara berkelanjutan tanpa mengubah hasil pembangunan pemerintahan sebelumnya yang dianggap baik.
Dalam akhir kepemimpinan 2 (dua) pemerintahan sebelumnya Thaib Armayin dan Abdul Gani Kasuba selalu saja berurusan dengan Aparat Penegak Hukum. Ini menjadi tanda sekaligus bukti bahwa ada yang belum ‘beres’ dengan manajemen kepemimpinan mereka. Tapi di satu sisi kita juga harus realistis menilai sebagai ‘warning’ dalam menentukan langkah awal untuk membangun Maluku Utara yang berkelanjutan dengan berkaca pada kepemimpinan sebelumnya, walaupun masih sangat jauh dari tingkat keberhasilan. Artinya, segala sesuatu yang akan kita lakukan pada periode berikutnya harus mampu meninggalkan legacy yang baik dan terus dikenang oleh anak-cucu kita. Gubernur–Wakil Gubernur terpilih harus mampu menggagas misi kebijakan pembangunan yang ditekankan pada pembangunan yang berkeadilan dan kesejahteraan serta berwawasan lingkungan (growth with equality, prosperity, and also environmental sustainability).
Selain itu, dalam sektor pertumbuhan ekonomi, pemerintahan ke depan diharapkan membangun hubungan yang kuat antara pemerintah, pelaku usaha atau komunitas bisnis, melibatkan akademisi atau pakar serta masyarakat secara umum untuk melihat peluang investasi, serta tata kelola pemerintahan atau birokrasi yang betul-betul berkompeten di bidangnya. Dengan demikian, keuntungan yang dicapai benar-benar dapat dirasakan masyarakat dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang.
Peran Birokrasi
Perjalanan birokrasi di Provinsi Maluku Utara tidak pernah lepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung saat ini. Apapun sistem politik yang diterapkan birokrasi sentral dalam kehidupan masyarakat, baik dalam sistem politik sentralistik maupun sistem politik yang modern sekalipun, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas dan kepentingan politik. Dengan kata lain, birokrasi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Birokrasi yang seharusnya merupakan institusi pelaksana kebijakan politik, bergeser perannya menjadi instrument politik.
Budaya feodalisme yang diwariskan dari tubuh birokrasi kolonial dan masa kerajaan dahulu kala membawa berbagai konsekuensi terhadap penyelenggaraan birokrasi di masa kini. Akuntabilitas birokrasi hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya, bukan kepada publik. Demikian pula loyalitas dan pertanggungjawaban aparat di tingkat bawah semata-mata hanya ditujukan kepada pimpinan di atasnya. Aparat birokrasi di tingkat bawah hanya berupaya untuk selalu menjaga kepuasan pimpinan sehingga memunculkan budaya kerja yang selalu menyenangkan pimpinan, seperti membuat laporan kerja dan lain sebagainya.
Perilaku feodalistik dalam birokrasi semacam ini memberikan dampak besar terhadap munculnya patologi birokrasi terutama praktik korupsi di dalamnya. Suburnya budaya pemberian uang pelicin, uang semir, uang rokok, harga pulsa, atau praktik budaya tahu sama tahu pada dasarnya merupakan bentuk korupsi yang terus terpelihara di tubuh birokrasi. Substansi dari praktik korupsi dalam birokrasi tak lain adalah bagian dari feodalisme yang menggerogoti sistem birokrasi.
Korupsi secara struktural juga diakibatkan oleh adanya faktor dominannya posisi birokrasi sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Dominasi birokrasi atas nama negara yang mengerdilkan kekuatan lain dalam struktur sosial masyarakat menjadikan aparat birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini publik, (Mas’oed; 1994). Lebih jauh menyatakan bahwa terdapat ketimpangan antara birokrasi dan rakyat dalam hal status, pendidikan, dan kepemilikan informasi yang pada akhirnya memunculkan kemacetan dan bahkan kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Orientasi Terhadap Perubahan
Orientasi terhadap perubahan menunjukan sejauh mana kesediaan aparat birokrasi menerima perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya menyangkut tuntutan masyarakat yang terus berkembang, tetapi juga pengetahuan berbagai hal yang terjadi dalam lingkungan di luar birokrasi seperti perkembangan teknologi. Pengetahuan akan hal-hal baru tersebut ke semuanya harus dapat mewujudkan pemberian pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat pengguna jasa. Orientasi pada perubahan adalah sesuatu sikap yang berlawanan dengan orientasi pada kemapanan (status quo). Semakin tinggi sikap terhadap perubahan, maka semakin rendah pula orientasi terhadap status quo. Orientasi pada perubahan membuat aparat harus melihat perubahan yanga ada di luar birokrasinya, dan mencari sesuatu yang baru dan berbeda dari sistem yang sudah ada.
Orientasi selayaknya dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan dengan luasnya wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Wawasan seorang aparat birokrat tidak hanya berkaitan dengan tugas-tugas rutin sebagai seorang pegawai, melainkan lebih pada kemampuannya dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi di luar lingkungan organisasinya.
Osborn dan Plastrik (1997) mengatakan bahwa perubahan pada awalnya sangat sulit dilakukan karena harus berhadapan dengan kultur kekuasaan birokrasi yang telah lama terbentuk. Kebiasaan, perasaan, dan pola pikiran serta perilaku aparat birokrasi telah dibentuk selama puluhan tahun oleh sistem dan pengalaman birokrasi sehingga perubahan tentu saja memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Oleh karena itu, yang dapat dipahami apabila banyak kalangan termasuk aparat birokrasi sendiri menjadi skeptis terhadap aktivitas komitmen perubahan yang akan dilaksanakan. Meskipun tidak sedikit aparat birokrasi yang menginginkan perubahan tersebut, beberapa di antaranya tetap cemas karena konsekuensi tanggung jawab dan tugas yang lebih besar.
Dinamika dalam aspek mentalitas aparat tersebut, tentu saja akan diikuti oleh adanya konsekuensi perubahan dalam lingkungan birokrasi. Perubahan mentalitas aparat birokrasi yang terjadi pada dasarnya merupakan upaya pembentukan budaya organisasi dalam sistem birokrasi, sehingga secara kumulatif dan efektif mengkondisikan seluruh aparat birokrasinya untuk senantiasa memiliki orientasi pada perubahan.
Dengan demikian, seperti apa tata kelola birokrasi pemerintahan di bawah kepemimpinan seorang srikandi bisa kita lihat pada lima tahun ke depan, dan sebagai pemimpin baru dengan gagasan besar bahkan dengan dukungan elite pusat yang luar biasa, Sherly Tjoanda-Sarbin Sehe sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih harus mampu menempatkan mereka (birokrasi) sebagai konseptor sekaligus eksekutor yang memiliki kapasitas dan integritas untuk duduk mengawal pembangunan Maluku Utara yang lebih baik, serta melayani rakyatnya, sebagaimana yang diucapkan Umar Bin Khattab “Sayyidul qaumi khadimuhum” yakni pemimpin adalah pelayan bagi yang dipimpinnya. (*)