Oleh: Wisya Al-khadra
________________
BAK angin segar yang menyelimuti penduduk Gaza Palestina. Bagaimana tidak, genosida Zionis Yahudi Israel terhadap Palestina yang terjadi cukup lama dan membunuh lebih dari 47 ribu warga sipil baik anak-anak maupun perempuan serta menghancurkan hampir seluruh kota Gaza Palestina kini berakhir damai. Untuk saat ini penduduk Palestina bisa bernafas lega setelah genosida yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023, akhirnya pada 19 Januari 2025 kesepakatan gencatan senjata dilakukan di antara keduanya. Maka tidak heran jika perjanjian gencatan senjata ini dianggap sebagai kemenangan penduduk Gaza Palestina. Walaupun dengan senjata dan logistik yang terbilang ala kadarnya, akan tetapi rakyat Gaza telah berhasil membuat Zionis Israel kewalahan.
Perasaan senang dan lega pun tidak hanya dirasakan oleh penduduk Gaza Palestina, melainkan juga dirasakan oleh sebagian kaum muslimin di berbagai dunia yang prihatin dengan nasib Palestina. Betapa tidak, mereka menyaksikan sendiri bagaimana kebiadaban Zionis Israel dalam membumihanguskan Gaza Palestina tanpa belaskasih. Mereka juga menyaksikan bagaimana luar biasanya keimanan penduduk Gaza yang pantang mundur dan gigih dalam melakukan perlawanan terhadap serangan yang bertubi-tubi itu. Kini mereka pun lega dengan kabar gencatan senjata yang dilakukan oleh kedua bela pihak.
Dalam kesepakatan itu terdapat tiga tahap perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza yang dimulai sejak 19 Januari 2025. Tahap pertama, gencatan senjata berlangsung selama 42 hari dan disepakati bahwa kedua belah pihak akan menghentikan sementara operasi militer bersama dan pasukan pendudukan Zionis akan mundur ke arah timur dan menjauh dari daerah berpenduduk. Serta pembebasan tahanan dan tawanan. Tahap kedua, akan berlangsung selama 42 hari dengan kesepakatan bahwa deklarasi pemulihan ketenangan secara berkelanjutan. Termasuk penghentian permanen operasi militer, aktivitas permusuhan, dan dimulainya kembali pertukaran tahanan antara kedua belah pihak serta pasukan Zionis akan menarik diri sepenuhnya dari Jalur Gaza. Tahap ketiga, akan berlangsung selama 42 hari dan disepakati bahwa pertukaran jenazah dan sisa-sisa jenazah yang ditahan oleh kedua belah pihak setelah mereka sampai dan teridentifikasi. Kemudian memulai pelaksanaan rencana rekonstruksi Jalur Gaza selama periode 3-5 tahun.
Keputusan ini pun disambut baik oleh warga Gaza dengan harapan akan memberikan sedikit kenyamanan dan ketentraman, setelah genosida yang berlangsung lama serta diamnya tentara dan pemimpin-pemimpin di negeri-negeri Islam yang tak mampu memberikan perlindungan dan pertolongan terhadap mereka. Maka gencatan senjata menjadi harapan satu-satunya untuk saat ini bagi penduduk Gaza Palestina.
Namun, belum berselang sehari, pesawat tempur dan artileri Zionis Yahudi menyerang Jalur Gaza utara pada Ahad (19-1-2025) pasca gencatan senjata. Akibat serangan ini 8 orang tewas. Sebelumnya juga diberitakan, Zionis Yahudi juga melakukan penyerangan yang menewaskan sedikitnya 82 orang di Gaza. Pada 20 Januari 2025, selang satu hari pemberlakuan kesepakatan, Kantor Berita Palestina WAFA (21-01-2025) melaporkan pelanggaran yang dilakukan pihak Zionis Yahudi yaitu pada Senin malam, Zionis Yahudi melakukan penembakan ke arah warga sipil di Kota Rafah mengakibatkan seorang anak dan warga sipil Palestina tewas dan 9 orang lainnya luka-luka. Pada saat yang sama, tiga warga Palestina terluka. Mereka juga menjatuhkan bahan peledak di dekat rumah mereka di bagian timur Rafah. Serta dilaporkan juga, setelah pembebasan 90 tawanan Palestina, tentara Zionis menyerbu pemukiman warga dan menangkapi puluhan warga Palestina di Tepi Barat, termasuk anak-anak.
Demikianlah, watak Zionis Yahudi. Bagi mereka, melanggar perjanjian sudah merupakan hal yang lumrah. Hal ini sudah terjadi sejak masa Rasulullah saw hingga sampai saat ini. Pelanggaran terhadap gencatan senjata sebenarnya bukan terjadi baru kali ini saja, namun sudah sejak lama. Sebut saja pada 3 Agustus 2014, dalam kondisi gencatan senjata Zionis Yahudi melakukan serangan dan menghancurkan sekolah PBB di Rafah, yang mengakibatkan puluhan kaum muslim menjadi syuhada. Demikian juga pada tahun 2018—2019, dan 2021, Zionis Yahudi juga melakukan pelanggaran gencatan senjata di tengah terjadinya perjanjian.
Kita juga tidak boleh lupa, begitu mudahnya Zionis Israel melakukan pembantaian dan pengkhianatan perjanjian karena ada negara-negara adidaya yang mengendalikan dan memfasilitasi sehingga mudah bagi mereka untuk melakukan serangan. Amerika dan antek-anteknya adalah kunci dari kekuatan Zionis Israel. Maka, berharap terhadap gencatan senjata yang dicanangkan oleh mereka ibarat masuk di lubang yang sama. Tidak akan mampu memberikan solusi terhadap persoalan genosida rakyat Palestina.
Gencatan senjata bukanlah solusi hakiki untuk menyelesaikan kasus Palestina. Karena akar persoalan utama Palestina adalah perampasan tanah dari rakyat Palestina oleh Zionis Yahudi, bukan konflik wilayah sebagaimana dinarasikan media Barat. Di sana, terdapat penjajahan dan perampasan wilayah terhadap penduduk aslinya, sementara penjajah masih eksis dan bebas melakukan pembantaian sampai saat ini. Melakukan gencatan senjata berarti kedua belah pihak baik Yahudi maupun Palestina, satu sama lain saling mengakui eksistensinya. Ini jelas-jelas makin melegitimasi kekuasaan Yahudi atas tanah Palestina. Maka, menyelesaikan kasus genosida dengan gencatan senjata bukanlah solusi tuntas menyelesaikan kasus Palestina. Gencatan senjata tidak menghentikan kebiadaban penjajah Zionis Yahudi. Kapan pun mereka bisa kembali melakukan serangan meski harus melanggar perjanjian. Solusi ini merupakan tipuan Barat dan tidak akan pernah mampu menciptakan perdamaian yang terus digembar-gemborkan oleh mereka.
Belum lagi, kunci kekuatan Israel yang sampai sekarang masih eksis karena dukungan Amerika dan antek-anteknya. Negeri-negeri muslim tak terlepas negara-negara Arab juga tak mampu berkutik hanya diam membisu tanpa aksi nyata. Mereka tidak berani mengerahkan tentara-tentaranya untuk membantu Palestina. Hanya bisa mengecam agar dunia seakan percaya bahwa mereka peduli. Padahal sejatinya, mereka tak lebih juga adalah pelayan dan boneka setia negara-negara penjajah. Maka, upaya menyelesaikan persoalan Palestina tidak bisa berharap kepada negara-negara Barat maupun negeri-negeri muslim saat ini. Menyelesaikan persoalan Palestina adalah dengan cara mencabut akarnya yaitu mengusir penjajah Zionis Yahudi dari bumi Palestina dan mengembalikan tanah Palestina kepada pemiliknya. Tentu ini hanya bisa dilakukan dengan jihad fii sabilillah.
Jihad ini tidak mampu dilakukan oleh negeri-negeri muslim saat ini. Tentu kita butuh kehadiran institusi politik negara adidaya yang tidak tunduk dan patuh terhadap penjajah. Negara yang siap melawan dan menghancurkan Zionis Yahudi dan negara-negara penjajah. Institusi negara itu bernama Khilafah yang dipimpin oleh Khalifah. Khilafah akan memastikan perlindungan dan keamanan terhadap seluruh rakyatnya karena diatur dengan fondasi keimanan dan ketaqwaan. Khilafah juga yang akan menyatukan seluruh kekuatan ummat Islam, termasuk mengerahkan kekuatan militernya untuk berjihad membebaskan Palestina. Sebagaimana Shalahuddin al-Ayyubi yang mengerahkan seluruh kekuataan pasukannya untuk membebaskan bumi Palestina dari pasukan Salib. Institusi ini akan tegak kembali dengan izin Allah. Insyaallah. Wallahualam bissawab. (*)