Oleh: Bachtiar S. Malawat
Mahasiswa Pendidikan IPA UNUTARA
________________________
PEMBANGUNAN Sumber Daya Manusia merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembagunan tersebut peranan pendidikan amatlah sangat strategis.
Penulis kembali mengingat kalimat yang disampaikan oleh Jhin Bock (1992) bahwa “Peranan pendidikan untuk memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai kultur-sosial bangsa, kemudian mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosal. Selain itu peranan pendidikan juga meratakan kesempatan dan pendapatan.” Definisi ini merupakan fungsi politik dan ekonomi dalam memahami peran negara sebagai penanggung jawab atas pembagunan sumber daya manusia yang mumpuni. Artinya pemerintah harus mampu memanfaatkan pembagunan sebagai upaya untuk lokomotif perubahan dalam aspek ekonomi politik.
Dalam menelaah peranan serta pembagunan pendidikan secara nasional, Dr. Zamroni membagi dua paradigma sebagai kiblat pendidikan bagi pemangku kebijakan di negara saat ini, yakni paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi. Paradigma fungsional melihat keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup pengetahuan dan kemampuan. Sejalan dengan fungsional, paradigma sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembagunan adalah mengembangkan kompetensi individu.
Oleh karena itu, berdasarkan dua pandangan di atas penulis menegaskan bahwa pendidikan tidak sekadar menjadi prioritas pendukung sesuai yang dicanangkan oleh rezim Prabowo-Gibran saat ini dengan melakukan pemangkasan anggaran secara agresif terhadap lembaga pendidikan. Pendidikan seharunya menjadi kewajiban dan prioritas dalam menjawab semua permasalahan yang ada, artinya pendidikan harusnya menjadi bagian dari kebutuhan hidup masyarakat saat ini agar mampu menjawab tantangan di kemudian hari.
Selain itu, Falsafah bangsa dan kultur kehidupan masyarakat menjadi landasan utama dalam menjalankan pendidikan di Indonesia. Pemerintah seharusnya “Tahu Diri” sederhananya “Tahu Malu” bahwa sejarah perjuangan Indonesia sejak awal ialah dominasi perjuangan akan pendidikan yang layak dan berkualitas, sejarah membuktikan bahwa Founding Fathers kita memperjuangkan pendidikan dengan wajah pendidikan Keindonesiaan. Itulah kenapa Tan Malaka mendirikan Sekolah Rakyat, RA Kartini melakukan emansipasi kaum perempuan dan Dewi Sartika juga turut andil dalam mendidik perempuan-perempuan di Indonesia. Kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan bersama maka penting kiranya pendidikan harus jadi prioritas utama tanpa ada pengecualian.
Melihat langkah yang diambil pemerintah, penulis menganggap tidak mempunyai landasan filofosif dan kultural yang sesuai prinsip berdemokrasi. Pendidikan Indonesia secara keseluruhan belum mengenai titik emas. Pasalnya berbagai ketimpangan masih dirasakan oleh khalayak masyarakat umum dalam menjalankan kehidupan terutama pada pemerataan pembangunan dan keadilan pendidikan. Pendidikan sebagai lokomotif perubahan tampaknya belum mampu dalam memerangi permasalahan yang lahir di kalangan masyarakat. Padahal pendidikan menjadi senjata utama dalam menemani perjalanan bangsa beberapa tahun terakhir. Pemerintah seharusnya mampu membaca peluang pendidikan untuk menjadikan kekuatan dalam menopang permasalahan ekonomi politik negara upaya menuju Indonesia emas 2045.
Padahal, jika kita melihat lebih jauh, pendidikan seharusnya berjalan sesuai falsafah bangsa dan kultural yang demokratis. Di Cina dan America, praktek pendidikan telah di sentralisasi dan berlinisasi, pendidikan semacam ini berjalan sesuai dengan falsafah negara dan kultur serta budaya masing-masing, kedua negara adikuasa ini mempunyai capaian prestasi yang terbilang cukup gemilang dalam dunia pendidikan. Selain itu, kedua negara ini juga mampu merumuskan sistem pendidikan yang sistematis dan efektif. Alhasil, pendidikan seolah-olah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan ujung tombak bagi kedua negara tersebut, bahkan dalam menjalankan sistem pemerintahan sekalipun diisi oleh orang-orang yang paham akan falsafah bangsa dan kulturalnya sendiri.
Di Indonesia, praktek pendidikan semacam ini tidak tampak terlihat, orientasi pendidikan cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan doktrin, materi bersifat subject orinted, management bersifat sentralistis. Orientasi pendidikan yang kita pergunakan tersebut menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang rill yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkpribadian. Proses belajar mengajar didominasi dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi ujian atau test, di mana pada kesempatan tersebut anak didik harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkan.
Akibat dari praktik pendidikan semacam itu, memunculkan berbagai kesenjangan yang antara lain berupa kesenjangan akademik dan kesenjangan kultural. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena guru tidak menyadari bahwa kita dewasa ini berada pada masa transisi yang berlangsung dengan cepat. Di samping itu, praktek pendidikan kita bersifat melioristik yang tercermin seringnya perubahan kurikulum, ditambah lagi guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat.
Sedangkan kesenjangan kultural, ditujukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi bangsanya di masa depan. Kesenjangan kultural ini sebagai akibat sekolah-sekolah tidak mampu memberikan kesadaran kulturan-historis kepada peserta didik.
Dengan demikian, penulis menyarankan untuk penting kiranya melakukan Reformasi Pendidikan, bukan tanpa lasan. Reformasi pendidikan dilakukan upaya meningkatkan komitmen dan kemampuan untuk mencapai prestasi pendidikan sebagaimana yang diharapkan. Dengan reformasi pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan struktur dan kondisi yang memungkinkan munculnya komitmen dan kemampuan tersebut.
Memungkinkan banyak cara dalam mereformasikan pendidikan. Oleh karena itu, penulis menyarankan salah satu aspek yang perlu direformasi adalah hubungan sosial di antara warga sekolah termasuk orang tua murid dan masyarakat sekitar. Partisipasi orang tua dan masyarakat dalam kehidupan sekolah akan merupakan modal pokok dalam proses pendidikan.
Sekolah harus menjadikan dirinya bagian dari masyarakat, setiap kegiatan sekolah adalah merupakan kegiatan masyarakat sekitar, sebaliknya setiap kegiatan masyarakat merupakan kegiatan sekolah. Hal ini akan membawa dampak baik terhadap proses berjalannya pendidikan. Paling tidak ada dua poin penting yang dapat dipetik. Pertama: proses pendidikan hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang secara tidak langsung menghidupkan konstruk berpikir yang filosofis, kulturan dan demokratis. Kedua: meningkatkan keharmonisan antara lembaga pendidikan dan masyarakat. Hal ini memungkinkan untuk membangun paradigma baru terhadap masyarakat terkait pendidikan dan tidak terjebak pada paham pendidikan yang sempit.
Akhir Kata, Muslim Cendikia Pemimpin.