Oleh: Liwan Hamli
_______________________
KASUS yang baru-baru ini terjadi di Halmahera Selatan menorehkan luka bagi banyak pihak yang masih memiliki nurani. Seorang remaja perempuan dinyatakan hamil, namun proses hukum atas kejadian tersebut dihentikan. Alasannya, tidak ditemukan unsur paksaan, kedua belah pihak dianggap dewasa, dan tidak ada janji pernikahan sebelum kehamilan terjadi. Secara hukum, kasus ini mungkin sudah selesai. Namun, apakah moral dan nilai-nilai agama juga bisa menutup mata?
Dalam perspektif hukum positif, segala tindakan diukur berdasarkan bukti formil dan materiil. Jika tidak ada unsur paksaan, maka tidak ada pelanggaran hukum. Namun, di mana letak keadilan bagi nilai-nilai moral yang selama ini dijunjung tinggi? Apakah fakta bahwa seorang remaja hamil di luar nikah bukan lagi masalah serius hanya karena hukum tidak menemukan pelanggaran?
Masyarakat kita masih memegang teguh adat dan agama sebagai pilar kehidupan. Dalam Islam, perbuatan zina jelas merupakan dosa besar yang membawa konsekuensi dunia dan akhirat. Namun, jika hukum hanya berpegang pada aspek legalitas semata tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan moral, maka nilai-nilai luhur yang diwariskan akan semakin terkikis. Kita tidak hanya kehilangan ketegasan dalam menegakkan aturan, tetapi juga kehilangan arah dalam menjaga martabat generasi muda.
Remaja adalah masa pencarian jati diri, di mana bimbingan sangat diperlukan. Jika kasus seperti ini dibiarkan berlalu begitu saja, maka akan muncul preseden yang membahayakan. Masyarakat akan menganggap bahwa selama ada kesepakatan, maka segala hal diperbolehkan. Padahal, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang terlibat, tetapi juga oleh keluarga dan lingkungan sosial di sekitarnya.
Sebagai mahasiswa BKPI IAIN Ternate, peristiwa ini memberikan tamparan keras. Pendidikan agama yang seharusnya menjadi benteng moral ternyata belum cukup kuat untuk mencegah kejadian seperti ini. Ada celah yang perlu diperbaiki, ada generasi yang perlu diselamatkan. Jika hukum tidak mampu memberikan solusi, maka pendidikan dan dakwah harus mengambil peran lebih besar dalam membentuk kesadaran moral di tengah masyarakat.
Kita tidak boleh hanya menyalahkan hukum atau pihak berwenang. Ini adalah tugas bersama—orang tua, pendidik, ulama, dan seluruh elemen masyarakat. Kejadian ini harus menjadi titik balik untuk menguatkan kembali pendidikan karakter berbasis agama. Jangan sampai kita hanya mengandalkan aturan hitam di atas putih, sementara nilai-nilai luhur perlahan memudar dalam kehidupan sehari-hari.
Moralitas tidak boleh kalah oleh hukum. Sebab, hukum tanpa moral akan menjadi hampa, dan masyarakat tanpa nilai akan kehilangan arah. Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita akan terus diam, atau mulai bergerak untuk menjaga generasi masa depan dari gelombang kebebasan yang semakin tak terbendung? (*)