Oleh: Rifan Basahona
Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
_________________________
FENOMENA yang tak kunjung terselesaikan di bangsa kita hari-hari ini adalah minim sekali antipati pemerintah terhadap rakyat dalam setiap perumusan regulasi atau undang-undang. Dalam setiap perumusan regulasi, jarang sekali kita melihat adanya kesesuaiannya dengan kepentingan rakyat, cenderung memihak kepada sebagian kelompok tertentu.
Masih begitu segar di ingatan peristiwa kelam yang begitu pahit perlahan-lahan kembali menuju ke hadapan kita semua, betapa brutalnya sebagian kekuasaan berada di bawah kendali militerisme sehingga segala-galanya tentang penangkapan secara sepihak, pemenjaraan diskriminasi, dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah.
Peristiwa politik kelam yang berkaitan dengan militerisme kali ini kembali diulangi dan cukup meresahkan publik, semua bermuara pada pengulangan sejarah pahit yang terjadi beberapa tahun silam, rezim otoriter absolut dengan dominasi militer kembali muncul dan menguat di permukaan negara.
Problem mutakhir adalah dengan disahkan kembali Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh DPR RI pada Kamis 20 Maret 2025 sebagai sebuah produk baru undang-undang yang tentunya akan melegitimasi kembalinya kerja ganda bagi militer, atau dwifungsi ABRI.
Dan tentunya membaca peta gerakan pengembalian dwifungsi ABRI tidak dilihat dalam revisi UU TNI yang baru-baru disahkan, namun gerakan ini telah mengakar sejak reformasi, walaupun batang serta ujungnya sudah ditebang oleh gerakan reformasi 1998, namun akarnya terus menjalar hingga hari ini.
Kalau kita membaca sebuah artikel yang diterbitkan oleh Indoprogres pada 21 Maret 2025 yang ditulis oleh Pandu Irawan Riyanto, secara spesifik menjelaskan kepada kita bahwa akar dwifungsi ABRI terus menguat di permukaan. Hal ini ditandai dengan terus beroperasinya Komando Teritorial yang sejak reformasi hingga hari ini masih terus eksis dalam kerja-kerja sipil, maka bisa jadi dengan lahirnya UU TNI menjadi penguat akan lahir kembali dwifungsi ABRI.
Arus Balik Orde Baru
Orde Baru merupakan suatu fase yang sangat problematik dalam tonggak sejarah bangsa ini, tidak bisa dilupakan bahwa fase ini merupakan fase di mana terjadinya krisis besar-besar yang terjadi di setiap sektor. Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) menjadi hal yang lumrah.
Rezim di bawah kekuasaan seorang mantan jenderal kopassus, Soeharto yang berjalan sekitar 32 tahun tanpa jeda ini merupakan satu rezim yang sangat otoriter, kedaulatan rakyat menjadi satu hal yang semu. Selain KKN, ada juga satu problem yang mendominasi Orde Baru saat itu adalah dominasi militerisme dalam kebijakan politik negara.
Masa Orde Baru berlangsung sejak 1966 sampai berakhir pada 1998, periode di mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki peran yang sangat dominan, tidak hanya sebagai kekuatan militer, tetapi juga sebagai alat kekuasaan politik yang otoriter.
Dengan adanya dwifungsi ABRI, TNI menjadi satu kekuatan yang tak terkendalikan dalam ranah sipil, mereka diberikan hak untuk menduduki jabatan politik seperti di legislatif, eksekutif, hingga birokrasi sehingga memicu terjadinya penekanan ruang gerak masyarakat sipil dan membatasi kebebasan berpendapat.
Di lain sisi, mereka juga menjadi alat represi negara untuk menutup keran bagi masyarakat yang melakukan kritikan, berbagai operasi militer seperti yang terjadi di Aceh, Papua, dan Timor-Timur yang menimbulkan pelanggaran HAM berat, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan hingga pembunuhan.
Pembubaran, intimidasi dan penangkapan terhadap para aktivis mahasiswa yang dianggap beroposisi terhadap kebijakan pemerintah, bahkan ada yang sampai hari ini tidak ditemukan jejaknya dan kasusnya tak kunjung terselesaikan.
Ditambah dengan struktur militer seperti Komando Daerah Militer (KODAM), Komando Resor Militer (KOREM), Komando Distrik Militer (KODIM), Komando Rayon Militer (KORAMIL), hingga Bintara Pembina Desa (BABINSA). Struktur yang memungkinkan militer untuk mengawasi aktivitas rakyat sipil mulai dari desa hingga daerah, sehingga rakyat tidak dapat untuk berbicara dan berpendapat terhadap setiap kebijakan yang sewenang-wenang.
Dan kini sejara pil pahit tersebut ingin diulangi kembali dengan adanya revisi UU TNI yang berlangsung di gedung DPR RI kemarin. Jika dilihat dalam pasal 47 ayat 1 UU TNI yang mengatur tentang prajurit TNI aktif yang dapat menduduki jabatan di kementerian dan lembaga yang tunduk pada hukum sipil, seperti di antaranya lembaga Bidang Siber Nasional, Kelautan, Perikanan, Penanggulangan Bencana, Penanggulangan Terorisme, Keamanan Laut dan Kejaksaan RI.
Maka hal ini sungguh mirip dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, yakni terjadinya dwifungsi ABRI, bahwa TNI memiliki dua fungsi pokok pertahanan dan keamanan negara. Dengan kata lain, disamping mobilisasi militer sebagai ancaman ketahanan luar negeri juga pengamanan dalam negeri. Pengamanan dalam negeri yang dimaksud adalah pada ranah sipil yang dalam sistem negara hukum dan demokrasi harus terlepas dari dominasi dan supremasi militer.
Gagasan-gagasan pengesahan undang-undang ini cenderung mengikis supremasi sipil dan berusaha untuk memasuki militer ke jabatan-jabatan sipil yang di mana kita ketahui bahwa antara prinsip-prinsip dalam sipil dan militer sangatlah berbeda, bahwa prinsip sipil adalah prinsip yang demokratis, sedangkan prinsip militer sebagian besar cenderung otoriter.
Negara kita sudah menghendaki bahwa TNI tidak boleh menduduki wilayah-wilayah pengambilan keputusan yang sifatnya tidak dalam kegentingan atau perang. Sistem hukum negara kita menghendaki bahwa supremasi sipil harus perlu di ljunjung tinggi karena itu adalah bagian dari manifestasi dari demokrasi.
Dan nilai-nilai tersebut yang telah menjadi semangat reformasi tahun 1998, namun kini pemerintah lewat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin mengulang kembali kekejaman militer yang menjadi kekuatan dominasi pada masa Orde Baru sebagai satu rezim yang sangat otoriter.
Nihil Substansi
Secara substansi, revisi UU TNI sangat tidak mendasar sebagaimana yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2) huruf (b) yang semulanya terdapat 14 poin operasi militer di luar dari perang, telah ditambah tiga poin sehingga menjadi 17 poin di antaranya adalah penanggulangan ancaman siber, perlindungan keselamatan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri, dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekusor dan zat adiktif.
Jika dicermati secara komperhensif frase “ancaman siber” tidak jelas batasannya sehingga ini menimbulkan multitafsir dalam pandangan publik sehingga cenderung disalahgunakan dan akan membahayakan masyarakat sipil. Padahal pemerintah sudah memiliki instrumen yakni Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Pertanyaannya, kalau memang BSSN tidak maksimal, kenapa tidak diperkuat secara kapasitas SDM yang ada di dalam.
Yang kedua tentang “Perlindungan keselamatan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri”. Ini hal yang cenderung berlebihan, kita tahu bahwa persoalan yang menyangkut dengan urusan luar negeri telah diikat dengan perjanjian antar dua negara tersebut yang kita kenal dengan perjanjian bilateral atau multilateral. Oleh karena itu, hal ini bukan menjadi suatu indikator keamanan, bahkan mengkhawatirkan memicu konflik karena dengan demikian mobilisasi militer dapat dianggap sebagai ancaman kedaulatan pada suatu negara.
Yang ketiga adalah ‘Penyalahgunaan narkotika”, persoalan ini merupakan hal yang berkaitan dengan dunia kesehatan dan sains, maka proses penyelesaiannya menggunakan pendekatan kesehatan dan berbasis sains, bukan menggunakan intervensi militer. Jika militer dipaksa menduduki posisi tersebut, maka terjadinya pemubaziran dan kerja ganda, kalau melibatkan penyelesaian terhadap keamanan, masih ada lembaga lain seperti Polri, BNN, dan Kejaksaan.
Karena nyatanya TNI sendiri tidak mampu membendung masalah penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh oknum-oknum TNI yang ada, sebagaimana dalam laporan Tempo per 24 Desember 2024, sejak 2022-2024 Puspom TNI menindak 254 oknum anggota TNI yang terlibat narkoba, ini adalah sebuah hal yang miris bahwa dalam internal TNI juga belum bisa menyelesaikan persoalan narkoba.
Dengan demikian, logika-logika yang melanggengkan militer masuk ke dalam beberapa lembaga sipil merupakan sebuah pandangan yang tidak substansial dan tidak komperhensif, malah akan menimbulkan masalah-masalah lain seperti kerja ganda militer.
Hal yang harus diperhatikan sebenarnya adalah pada persoalan kualitas SDM yang ada pada lembaga-lembaga tersebut, bukan memasukan militer yang tupoksi kerjanya sangat berbeda, dan jikalau pemerintah ingin serius mengawasi persoalan tersebut, seharusnya memikirkan cara agar bagaimana kualitas SDM di instansi tersebut bisa meningkat, agar mampu memperkuat regulasi dan keamanan dari dalam dan memperkuat proses penyelidikan.
Legislatif Pembangkang
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang konon katanya adalah sebuah lembaga yang menjadi instrumen bagi seluruh aspirasi rakyat, hari ini menjadi domba-domba yang sangat membangkang.
Tumpang tindih poin-poin dalam pembahasan RUU TNI tidak hanya terletak pada substansinya, namun juga cacat secara formil maupun materil. Hal ini dapat dilihat dalam proses revisi yang berjalan secepat kilat dan tanpa partisipasi publik sebagai salah unsur menjadi sebuah keharusan dalam perumusan sebuah undang-undang, dan ini bukan sebuah keharusan karena UU TNI baru dibahas pada bulan Februari 2025 lalu.
Di samping itu juga naskah akademik RUU TNI ini juga tidak pernah disiarkan ke publik untuk menilik lebih jauh terkait dengan isi dan poin-poinnya yang ada di dalam sehingga masyarakat sipil juga tidak dilibatkan untuk memberi masukan dalam pembahasan RUU ini.
Terlebih-lebihnya pembahasan tingkat II RUU TNI oleh Komisi I DPR RI secara diam-diam dilaksanakan dalam ruang tertutup di salah satu hotel mewah bintang lima di Jakarta pada 14-15 Maret 2025 di tengah-tengah pemerintah yang sedang ngotot mengefisi anggaran.
ICW dalam pelaporannya memperkirakan proses pembahasan RUU TNI yang dilaksanakan di hotel mewah tersebut menghabiskan anggaran negara mencapai Rp 1,2 miliar ini merupakan sebuah proses yang mencederai hak-hak berdemokrasi dan melukai hati daripada rakyat.
Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa rancangan undang-undang yang sering dibahas secara diam-diam dan terburu-buru tanpa partisipasi publik ujung-ujungnya sering mementingkan dan melegitimasi kepentingan sebagian kelompok atau pihak tertentu, semisalnya UU KPK, UU MINERBA, OMNIBUS LAW, dan lain-lain.
Nampaknya DPR hari-hari ini sangat membangkang dan jauh dari apa yang kita pikirkan secara saksama, dapat disaksikan secara saksama betapa brutalnya DPR terkait dengan sejumlah perwakilan koalisi masyarakat sipil yang melakukan aksi menuntut agar tidak disahkannya RUU TNI yang berlangsung di hotel mewah tersebut. Naasnya, aksi tersebut tidak ditanggapi secara bijak.
Malah aksi heroik yang dilakukan tersebut berujung pada pelaporan kepada kepolisian terhadap Ketua Divisi Hukum Kontras, Andrie Yunus yang bertindak sebagai orator dalam aksi tersebut, dan berujung dengan teror terhadap Kantor Kontras dengan orang yang tidak dikenal, tindakan ini dapat dilihat bahwa DPR hari ini merupakan satu lembaga perwakilan rakyat yang sangat membangkang dan tidak mencerminkan nilai-nilai dari lembaga legislatif tersebut.
Kebijakan yang semena-mena tersebut perlu dilawan dan dihentikan, jangan biarkan negara ini dikuasai oleh sebagian kelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Wiji Tukul, bahwa apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata, LAWAN. (*)