Opini  

Di Era Digitalisasi, Hilang Literasi: Krisis Literasi Budaya di Maluku Utara

Oleh: Riski Ikra
Ketua Umum PK IMM FAPERTA UMMU

_________________

Di tengah banjir informasi digital, Maluku Utara justru mengalami kekeringan literasi“.

Era digitalisasi telah menjadi simbol kemajuan peradaban global. Di tengah kemudahan akses informasi yang nyaris tanpa batas, masyarakat Indonesia termasuk di wilayah kepulauan seperti Maluku Utara mengalami percepatan konektivitas dan pembangunan sumber daya manusia. Namun, kemajuan ini menyimpan ironi. Kemudahan akses informasi tidak serta-merta disertai dengan peningkatan literasi kritis. Fenomena ini tampak jelas di kalangan generasi muda dan pelajar di Maluku Utara, yang lebih fasih menyerap tren media sosial daripada membangun kemampuan berpikir reflektif dan menulis secara artikulatif.

Tulisan ini tidak bermaksud menolak kehadiran teknologi digital, melainkan mengajak kita merenungi kondisi literasi saat ini. Mengapa di tengah derasnya arus informasi, kesadaran literasi justru menurun? Mengapa generasi muda lebih mahir dalam budaya digital instan, namun canggung dalam mengekspresikan gagasan secara mendalam, atau bahkan memahami sejarah dan jati diri daerahnya sendiri?

Akar Budaya Literasi dan Tantangannya di Maluku Utara

Secara historis, Maluku Utara memiliki tradisi literasi yang kuat. Kerajaan Ternate dan Tidore pernah menjadi pusat diplomasi, keilmuan, dan narasi maritim di kawasan Timur Indonesia. Keberadaan manuskrip kuno dan penggunaan aksara Arab-Melayu (Jawi) dalam administrasi pemerintahan menunjukkan bahwa budaya literasi telah berakar dalam struktur sosial dan politik lokal. Sayangnya, warisan ini kini mengalami keterputusan yang tajam.

Literasi di lembaga pendidikan masih dipahami dalam arti sempit: kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Padahal, literasi di era digital mencakup kemampuan memilah informasi, berpikir kritis, membentuk opini berbasis data, dan mengekspresikannya dalam berbagai medium digital.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemendikbudristek mencatat tingkat melek huruf di Maluku Utara secara formal cukup tinggi (di atas 94%). Namun, literasi fungsional yakni kemampuan menggunakan informasi dalam kehidupan sehari-hari dan literasi digital masih sangat rendah. Banyak pelajar dan mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengakses jurnal ilmiah, menulis esai, serta cenderung menjadi konsumen pasif konten hiburan instan.

Digitalisasi Tanpa Kesadaran Kritis: Perspektif Sosial-Budaya

Secara sosial-budaya, masyarakat Maluku Utara memiliki akar tradisi komunikasi lisan yang kuat, seperti dendang, dongeng, dan ngaku-ngaku. Tradisi ini berfungsi sebagai sarana pewarisan nilai dan identitas kolektif. Namun, ketika pola komunikasi bergeser ke ranah visual dan instan melalui platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan meme terjadi disrupsi nilai. Budaya lokal tidak sempat beradaptasi secara utuh dalam ekosistem digital.

Sosiolog Manuel Castells (1996) menyatakan bahwa masyarakat jaringan (network society) hidup dalam sistem informasi yang saling terhubung, tetapi dapat kehilangan makna dan arah jika tidak disertai kesadaran reflektif. Anak muda bisa sangat aktif di dunia maya, namun pasif dalam mengolah gagasan, membangun diskursus, atau menulis narasi alternatif.

Pierre Bourdieu juga mengingatkan akan terbentuknya “habitus digital” di mana algoritma media sosial secara tidak langsung membentuk selera, perhatian, dan preferensi pengguna. Informasi yang dikonsumsi bukan lagi cermin realitas, tetapi hasil kurasi sistemik oleh mesin, yang kerap memperkuat budaya populer dangkal dan mengabaikan nilai-nilai lokal.

Fenomena ini terlihat jelas di Maluku Utara: generasi muda lebih banyak memperdebatkan isu selebritas atau tren viral ketimbang membahas sejarah lokal, isu pembangunan, atau krisis sosial yang dihadapi daerahnya.

Refleksi Tokoh dan Praktisi tentang Literasi Digital

Beberapa tokoh nasional memberikan sorotan terhadap krisis literasi di era digital. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim (2023) menyatakan bahwa literasi tidak hanya tentang membaca, tetapi juga tentang berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif dalam menghadapi tantangan zaman.

Rhenald Kasali dalam bukunya ‘Self Driving‘ juga mengkritisi generasi digital yang cepat dalam menyerap informasi, namun kurang dalam mendalami substansi. Menurutnya, tanpa kesadaran dan bimbingan, digitalisasi hanya akan mempercepat kebingungan dan menurunkan daya pikir kritis.

Strategi Revitalisasi Literasi Digital Berbasis Budaya Lokal

Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan pendekatan multidimensi yang menggabungkan strategi kultural dan struktural:

1. Rekonseptualisasi Literasi Lokal

Literasi harus dibangun dari akar budaya lokal. Cerita sejarah, legenda daerah, dan kearifan tradisional dapat dikemas dalam bentuk podcast berbahasa daerah, e-book sejarah, hingga video dokumenter pendek. Dengan demikian, generasi muda dapat mengenal identitasnya melalui medium yang dekat dengan keseharian digital mereka.

2. Kurikulum Reflektif Berbasis Digital

Sekolah dan kampus harus mengintegrasikan literasi digital sebagai bagian dari pendidikan karakter dan etika berpikir. Mahasiswa perlu dilatih untuk tidak hanya mengakses, tetapi juga menganalisis dan memproduksi konten digital yang reflektif dan kritis.

3. Ruang Kolaboratif Komunitas

Komunitas literasi digital seperti perpustakaan terbuka, pelatihan menulis, diskusi publik, dan media komunitas berbasis kampus atau desa dapat menjadi penghubung lintas generasi. Ruang ini penting untuk membangun dialog antara pelajar, guru, dan tokoh adat.

Dengan demikian, penulis melihat secara kolektif literasi tidak benar-benar hilang di era digital, namun tengah mengalami pergeseran dan kehilangan makna. Di Maluku Utara, tantangan ini semakin kompleks karena faktor geografis, ketimpangan infrastruktur, dan dominasi budaya lisan. Namun, justru di tengah kompleksitas itu pula terdapat peluang besar: warisan budaya lokal dan potensi generasi muda dapat dijadikan fondasi untuk transformasi literasi digital yang bermakna.

Digitalisasi harus diarahkan bukan sekadar pada keterampilan teknis, tetapi juga pada pembangunan kesadaran reflektif dan pemaknaan ulang nilai-nilai lokal. Ini bukan sekadar pilihan kebijakan, tetapi panggilan zaman: menghidupkan kembali semangat literasi sebagai wujud perlawanan terhadap kekosongan makna di tengah gemerlap layar. (*)