Opini  

Generasi Rusak Dalam Penerapan Sistem Pendidikan Kapitalisme

Oleh: Aprilia Aliyah Yasmine

________________________

PEMANFAATAN teknologi untuk mengakali tes UTBK kembali menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak? Teknologi yang seharusnya dimanfaatkan untuk menunjang prestasi dan inovasi, malah dimanfaatkan sebagai sarana untuk melakukan kecurangan.

Peristiwa seperti ini benar-benar terjadi pada saat gelaran UTBK SNBT 2025. Dalam dua hari pelaksanaan UTBK, terungkap sedikitnya 14 kasus kecurangan, termasuk cara baru seperti penggunaan kamera tersembunyi di behel gigi (braces gigi) peserta (Kompas.com, 2025). Ini hanyalah puncak gunung es dari kerusakan yang lebih mendalam pada sistem pendidikan saat ini.

Survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa tindakan curang seperti menyontek masih marak terjadi, dengan 98% pelajar mengakui pernah melakukannya, bahkan di tingkat perguruan tinggi (DetikEdu, 2025). Laporan KPK mengenai integritas pendidikan tahun 2024 mengindikasikan bahwa praktik-praktik koruptif masih berlangsung dan tingkat integritas dalam dunia pendidikan cenderung menurun (Kompas Nasional, 24 April 2025). Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa generasi muda saat ini seakan tidak lagi menganggap penting nilai kejujuran. Mereka lebih fokus pada hasil, bukan proses.

Beginilah potret sistem pendidikan saat ini yang lahir dari rahim kapitalisme. Bersifat materialistik, kompetitif, dan jauh dari nilai-nilai spiritual. Dalam sistem kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai sarana untuk meraih kesuksesan duniawi semata seperti gelar, pekerjaan, dan penghasilan tinggi. Tolak ukur keberhasilan pun bergeser, tidak lagi bertumpu pada moralitas atau spiritualitas, melainkan pada pencapaian angka seperti nilai ujian, peringkat, IPK, dan titel akademik .

Akibatnya, tak sedikit pelajar dan mahasiswa terdorong untuk menghalalkan segala cara demi meraih hasil yang diinginkan, termasuk melalui kecurangan. Orientasi hidup pun mengalami perubahan, kebahagiaan dan kesuksesan kini diukur tidak lagi berdasarkan keridhaan Allah, melainkan pada kepemilikan materi semata.
Batas antara halal dan haram menjadi kabur, bahkan tidak lagi dipedulikan. Budaya “yang penting lulus”, “asal dapat kerja”, dan “yang penting sukses” semakin mengakar dalam pola pikir generasi muda saat ini. Semua ini merupakan dampak dari diterapkannya sistem pendidikan kapitalisme yang sekuler dan tidak berlandaskan nilai-nilai moral.

Dalam sistem kapitalisme, pendidikan tidak diarahkan untuk mencetak individu yang bertakwa, melainkan untuk menghasilkan manusia produktif sesuai kebutuhan industri. Proses belajar pun kehilangan orientasi moral dan sosial, berubah menjadi sarana mencetak pekerja demi memenuhi tuntutan pasar.

Kurikulum disusun mengikuti tuntutan pasar, bukan berdasarkan kebutuhan hakiki manusia untuk mengenal Allah SWT dan menjalani hidup dalam ketaatan. Peran guru terbatas pada pengajar materi, bukan sebagai pembimbing spiritual. Sekolah dan perguruan tinggi pun berubah menjadi tempat persaingan nilai dan gengsi sosial, alih-alih menjadi pusat peradaban yang membentuk akhlak dan kepribadian.

Sebaliknya, Islam memandang pendidikan sebagai proses membentuk manusia paripurna. Hakikatnya pendidikan dalam Islam bertujuan mencerdaskan dan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah islamiah), yaitu pola pikir dan pola sikap yang bersumber dari akidah Islam. Dalam sistem pendidikan Islam, proses belajar tidak hanya membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter taat kepada syariat. Dengan demikian, terbentuklah sosok pribadi seorang muslim sejati yang berbekal ilmu dalam segala aspek kehidupan. Rasulullah SAW juga membina kaum Muslim di Makkah dan Madinah dengan tujuan membentuk pribadi Muslim yang utuh, yang tercermin dalam cara berpikir dan bersikap yang sesuai dengan ajaran Islam.

Pembentukan pola pikir peserta didik berkaitan dengan pemahamannya terhadap hukum-hukum syariah, baik yang mengatur perbuatan (seperti wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) maupun yang berkaitan dengan objek seperti makanan dan minuman. Sementara itu, pembentukan pola sikap menyangkut perilaku peserta didik yang selaras dengan ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupannya. Pola pikir islami mencerminkan kecerdasan peserta didik melalui kesadaran akan keterikatannya kepada Allah (idrâk shilah bilLâh), sedangkan pola sikap islami berhubungan dengan adab serta akhlak yang mulia.

Negara Islam atau Khilafah akan menjamin bahwa sistem pendidikan dijalankan dan dibangun atas asas akidah Islam. Setiap jenjang pendidikan difokuskan untuk menumbuhkan keimanan, membentuk akhlak mulia, dan membekali peserta didik dengan keterampilan hidup yang bermanfaat. Kurikulum dirancang bukan untuk memenuhi tuntunan pasar kapitalis, melainkan untuk menyiapkan generasi yang mampu menjalankan peran sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi.

Islam memandang kebahagiaan bukan sekadar untuk pencapaian materi, tetapi ridha Allah sebagai tujuan tertinggi. Ketika suatu generasi dibina berlandaskan keimanan dan ketaatan, maka mereka tidak akan tergoda untuk melakukan kecurangan demi nilai ujian. Bahkan dalam kondisi kesulitan sekalipun, mereka tetap memilih jalan yang halal dan diridhai-Nya. Dengan kepribadian Islam yang kuat, kemajuan teknologi tidak akan disalahgunakan, tapi diarahkan untuk kemaslahatan umat dan meninggikan kalimat Allah.

Sistem pendidikan Islam telah terbukti keberhasilannya dalam sejarah. Generasi emas Islam seperti para sahabat, tabi’in, hingga ilmuwan muslim yang ahli di berbagai bidang yang lahir dari sistem ini. Mereka tidak hanya cerdas dalam sains, tapi juga unggul dalam akhlak dan kontribusi terhadap umat. Mereka menjadi penggerak peradaban Islam yang memimpin dunia selama berabad-abad. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mencampakkan sistem pendidikan kapitalisme yang telah gagal dan merusak. Contohnya adalah Al-Khawarizmi, seorang ahli matematika yang dikenal di dunia Barat sebagai pelopor konsep algebra atau aljabar. Melalui kecerdasannya, ia memperkenalkan penggunaan angka nol, yang mempermudah perhitungan matematika, sementara saat itu peradaban Romawi masih menggunakan angka Romawi yang rumit.

Selain itu, terdapat pula Jabir Ibnu Hayyan, ahli kimia yang dikenal di Barat sebagai Ibnu Geber. Formulasi ilmunya menjadi fondasi penting bagi perkembangan ilmu kimia di Barat. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dan lainnya menunjukkan bahwa para ulama pada masa keemasan peradaban Islam tidak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga menguasai berbagai bidang ilmu umum, sains, dan teknologi.

Umat Islam memerlukan perubahan menyeluruh dalam dunia pendidikan, tidak hanya sebatas revisi kurikulum, tetapi juga pada sistem dan arah utamanya. Hanya dengan mengembalikan pendidikan pada sistem Islam yang utuh dan ditegakkan oleh negara yang menjalankan syariat secara total, generasi yang unggul dan peradaban yang agung dapat diwujudkan.

Kita harus menyadari bahwa pembinaan generasi tidak bisa dibebankan kepada individu saja. Diperlukan dukungan sistem yang kuat, negara yang bertanggung jawab, serta visi yang terarah. Islam telah menyediakan semua itu. Maka, mengapa masih ragu menjadikan Islam sebagai solusi utama dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan? (*)