Opini  

Kao Raya: Solusi Untuk Pemerataan Pembangunan

Oleh: Isman Baharuddin
Pegiat Sosial

_______________

DALAM pengambilan satu keputusan jelas memiliki nilai positif maupun negatif, dua hal tersebut tidak bisa dilepas-pisahkan dari kehidupan manusia. Hanya saja, yang dipertimbangkan terkait langkah yang diambil nilai mana yang memiliki potensi besar dan kecil. Jika kecil dari sisi positif pastinya besar pada sisi yang lain, begitu juga sebaliknya. Seperti halnya suatu wilayah yang masyarakatnya menginginkan untuk diusulkan menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB), demikian juga memiliki nilai positif maupun negatif yang penting untuk dikaji, dinilai, sebelum diputuskan.

Untuk melepas satu daerah dari induknya perlu pengkajian yang dalam. Jika wilayah yang dipandang layak harus segera dilepaskan, demi memudahkan akses masyarakat yang jauh secara wilayah kepada pemerintahan, adanya keterlibatan langsung masyarakat dari pembangunan, pemerataan dari sisi ekonomi, dan masih banyak lagi manfaat lainnya. Seperti yang dijelaskan Muqayyidin (2013) bahwasanya pemekaran daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pemerintah pada masyarakat dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi daerah, peningkatan  keamanan dan ketertiban untuk mewujudkan keserasian pembangunan antara pusat dan daerah.

Pekan lalu kelompok pemuda pada lima kecamatan yang diketuai Fanverend Karapeo, melakukan pertemuan dengan komisi I DPRD Halut untuk membahas terkait pengusulan Kao Raya sebagai DOB untuk terpisah dari Kabupaten Halmahera Utara (Halut) sebagai kabupaten induk. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan ketua DPD Gerindra Maluku utara, Sahril Thahir, yang bakal mengawal pengusulan yang telah lama diimpikan masyarakat di Kecamatan Kao, Malifut, Kao Utara, Kao Barat, dan Kao Teluk. Langkah ini menjadi angin segar, karena dengan adanya relasi istana yang cukup baik semakin meyakinkan keinginan masyarakat di lima kecamatan yang lama sengaja dikubur dapat diwujudkan.

Memiliki relasi istana menambah kepercayaan diri masyarakat bakal terwujudnya DOB Kao Raya, seperti halnya Kabupaten Pulau Taliabu dan Pulau Mangoli yang telah dan sedang dalam tahap pemekaran. Jika kita lihat dari sisi kesiapan fisik wilayah, Kao Raya lebih siap secara infrastruktur. Akses jalan darat, laut serta udara yang siap dipakai. Akan tetapi dua kabupaten yang telah dan sedang disiapkan pemekaran mendapat dukungan selain dari masyarakat tingkat desa juga pemerintah daerah serta peran DPRD setempat, hal tersebut belum ditemukan di Kao Raya. Menjadi pertanyaan yang tak kunjung menuai jawaban, kenapa Halut takut melepas Kao Raya?

Sebagai bentuk kritik dari masyarakat, mereka melontarkan kalimat lucu sekaligus menyinggung “Dong (pemerintah daerah) tara mau lepas karena dong pe dapur ada di sini (NHM)”. Kalimat tersebut bisa saja tidak benar, akan tetapi jika kita lihat potensi alam yang dihasilkan pada wilayah-wilayah lain (termasuk Malifut-Kao) dan pembangunan yang hanya terfokus pada sekitaran Tobelo sebagai induk pemerintahan, menjadi alasan wilayah lain ‘cemburu’. Banyak gedung tidak terpakai yang didirikan lalu menunggu dimakan rayap. Misalnya, pembangunan monumen taman ‘Tobelo Terang’ di tengah taman ‘Monumen Air Nusantara’ yang terbengkalai dan cenderung tidak terawat juga sebagai bentuk pembangunan yang keliru.

Pembangunan monumen baru jelas harus digelontorkan anggaran yang lebih banyak ketimbang anggaran perbaikan monumen lama. Tindakan tersebut tidak mencerminkan efisiensi anggaran untuk daerah yang banyak utang. Harusnya anggaran pembangunan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah pendidikan maupun kesehatan terkait tunjangan honorer yang belum dibayar sehingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat pada beberapa bulan belakangan.

Permintaan untuk melepaskan diri dari kabupaten induk bukan hanya karena alasan tidak diperhatikan, alasan lain juga agar memberikan keringanan pada Pemda Halut supaya lebih fokus pada wilayah pembangunan tanpa harus memikirkan wilayah yang jauh dari pusat kota. Langkah ini juga sebagai upaya dapat memudahkan 54.935 ribu jiwa dari 81 desa (BPS, 2024)  yang harus membutuhkan lebih dari satu hari untuk melakukan perjalanan serta mengurus keperluan di kantor pemerintahan.

Berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kao Raya telah masuk kategori layak dengan memiliki lima kecamatan yang berdiri sejak 2003 lalu bersamaan dengan penetapan Bupati definitif Halmahera Utara kala itu. Wilayah bekas kebun tentara Jepang ini memiliki luas pemukiman 1.328,17 km2 (Luas wilayah pemukiman belum termasuk lahan perkebunan dan hutan produksi), memiliki lahan tidur yang sangat luas untuk kepentingan pembangunan.

Kembali lagi, dilihat dari sisi usia, infrastruktur, serta persyaratan lain pemekaran daerah Kao Raya telah memenuhi syarat untuk dimekarkan. Pemekaran dilakukan agar supaya masyarakat dapat menikmati hasil dari potensi yang ada di wilayah tempat tinggal, memiliki kontribusi membangun daerah serta dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Di Malifut potensi yang telah diproduksi seperti emas ada juga nikel dan juga batu bara. Semoga saja ini tidak dijadikan alasan untuk memperlambat pemekaran Kao Raya karena ingin dijadikan ‘Dapur?’.

Potensi Sumber Daya Alam (SDA)

Seperti pada wilayah lain yang ada di Maluku Utara, potensi alam kelautan dan perikanan sangat melimpah di daratan Malifut maupun Kao yang termasuk dalam wilayah Kao Raya. Selain dari sisi kelautan dan perikanan, tanaman milik petani, melimpah juga hasil hutan bukan kayu (HHBK) di daratan Malifut-Kao. Daratan yang dipenuhi emas, nikel, serta batu bara ini juga memiliki tumbuhan liar yang memiliki potensi tapi kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah sehingga tidak dikembangkan.

Salah satunya pohon enau, sebagai bahan dasar pembuatan gula aren (air yang dihasilkan dari tandan bunga), sapu (daun), tali (ijuk pohon), serta kolang-kaling (dari buahnya) merupakan tumbuhan liar yang memiliki potensi untuk memberdayakan masyarakat namun tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat. Akhirnya, pohon tersebut dianggap tumbuhan liar biasa, hanya ada beberapa masyarakat memproduksinya secara mandiri untuk dijadikan minuman beralkohol yang kemudian dijual secara ilegal.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa, bukan berarti tidak ada kesadaran masyarakat terkait potensi alam yang dimiliki di tempat tinggal mereka, hanya saja tidak ada campur tangan dari pemerintah untuk membina masyarakatnya. Salah satu yang menjadi alasan karena luas wilayah pemerintahan yang terlalu besar, untuk itu pemekaran Kao Raya sebagai kabupaten baru merupakan solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan. Sekian! (*)