Oleh: Syafrijal Sibua
Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam, IAIN Ternate
_____________________
ARTIFICIAL Intelligence (AI) kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Di tengah derasnya arus modernisasi, kita dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana AI mendampingi hampir setiap lini kehidupan manusia, khususnya di bidang teknologi.
Dalam ranah pekerjaan fisik, AI telah diadopsi di sektor konstruksi, otomotif, kesehatan, pertanian, hingga perkantoran. Beragam perangkat cerdas membantu mengangkat beban berat, memantau mutu bangunan, atau mengotomatiskan proses produksi. Sementara itu, pada ranah non-fisik, AI berperan penting dalam penyusunan karya tulis ilmiah beserta referensinya, penyuntingan video, foto, serta audio. Perkembangan terbaru bahkan menghadirkan teknologi seperti VEO 3 yang mampu menghasilkan video dengan visual dan suara sangat realistis sesuai perintah pengguna.
Keunggulan AI jelas terlihat pada kemampuannya mempercepat dan mempermudah pekerjaan, menjadikannya alat yang efisien untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tugas-tugas yang dahulu memakan waktu dan tenaga kini dapat diselesaikan secara instan dengan presisi tinggi.
Meski demikian, berbagai penelitian mengingatkan kita akan sisi gelap pemanfaatan AI. Jurnal yang ditulis Muhammad Faisal, misalnya, meneliti pengaruh AI terhadap pola pikir mahasiswa di Pontianak. Ia menemukan bahwa kemudahan yang ditawarkan AI memicu ketergantungan: banyak mahasiswa enggan berpikir kritis saat menerima tugas dan lebih memilih menyerahkannya pada mesin. Akibatnya, motivasi belajar, minat membaca, semangat berdiskusi, serta kemampuan berpikir kritis menurun drastis.
Hal senada diungkapkan Berliana dan Cahya. Menurut mereka, ketergantungan berlebihan terhadap AI menurunkan keterampilan sosial, khususnya kerja sama. Diskusi luring yang semestinya menjadi wahana bertukar gagasan tergeser oleh jawaban instan dari AI, memicu melemahnya kolaborasi dan meningkatnya risiko plagiarisme karena kecenderungan menyalin teks apa adanya.
Penggunaan AI juga merambah ruang pribadi. Banyak orang kini “bercurhat” kepada chatbot karena sifatnya yang privat dan responsnya yang rasional. Namun, Handoko dalam artikelnya “Jangan Sering Curhat dengan AI! Ini Efek Psikologi, Sosial, dan Teknologi yang Ditimbulkan” menegaskan bahwa kebiasaan tersebut dapat mengikis kemampuan menjalin kedekatan emosional dengan sesama manusia. AI tetaplah program tanpa empati sejati; ia tak mampu menggantikan kebutuhan dasar seperti pelukan, tatapan penuh simpati, atau telinga yang benar-benar mendengarkan.
Fenomena “Dokter AI” tak kalah mengkhawatirkan. Banyak orang mencari diagnosis dan rekomendasi pengobatan lewat AI, padahal akurasinya belum terjamin. Yurdiansya, dalam tulisannya “Bahaya Mengintai, Tipu Daya ‘Dokter AI’ Viral di Media Sosial,” menuturkan kisah Ratnawati (65), penderita diabetes tipe 2, yang nyaris terjebak video deepfake berisi klaim obat mujarab. Video manipulatif itu memadukan wajah publik figur dan pernyataan palsu hingga seolah otentik. Jika informasi seperti ini dipercaya mentah-mentah, keselamatan pasien bisa terancam—terutama mereka yang kurang literasi digital.
Pada akhirnya, AI hanyalah produk kemajuan teknologi yang mustahil dihindari. Kehadirannya menawarkan kenyamanan dan efisiensi luar biasa. Namun, penggunaan tanpa kendali berpotensi mereduksi daya pikir kritis, kreativitas, kesehatan mental, relasi sosial, bahkan keselamatan fisik. Kesadaran dan kedewasaan dalam memanfaatkan AI sangat diperlukan agar teknologi ini tetap menjadi pendukung, bukan pengganti, bagi kehidupan manusia. (*)