Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
_____________________
NEGERI Aceh sudah melahirkan banyak Gubernur hebat. Ia yang selalu menemukan kebesaran Aceh dengan “keringat dan adab-budi-bicara” serta “penghayatan”nya yang membumi dari zaman ke zaman. Ia terpandu dengan kemuliaan nasehat, bergerak dengan ilmu, nilai dasar amanah, dan wawasan (peradaban) dunia dalam kerja-kerja progresif kebudayaan.
Dengan itulah semua mengapa Aceh selalu beda dan membedakan pencapaian peradabannya. Predikatnya yang abadi adalah “Serambi Makkah!” Gelar “Serambi Makkah” bagi negeri Aceh bukanlah ungkapan biasa. Ia bukan obsesi dan harapan pemantik (rasa) bangga yang palsu di acara-acara; bukan pula sebagai jargon kuasa dan imajinasi sejarah yang hambar makna dan dangkal pencapaian.
Gubenur Aceh itu bahkan menulis buku hebat berjudul “59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (1977). Hebat betul Gubernur ini karena ia berhasil menemukan simpul pembaruan dalam jejak-jejak kebesaran Aceh bersama masa lalu dan titian masa depannya. Ia menghasilkan resolusi (kemajuan) Aceh di bidang kebudayaan, pendidikan, tata kota, arsitek keagamaan, artefak sejarah, lembaga pengkajian, jaringan ekonomi, relasi pusat dan daerah, penyiapan generasi, dst.
Gubernur Aceh yang hebat itu adalah Ali Hasjmy (1914-1998).
Marwah “Serambi Makkah” adalah fakta!. Untuk jangka waktu lama, hampir semua muslim Nusantara harus mampir di Aceh sebelum berlayar jauh berbulan-bulan ke tanah suci, Makkah, untuk menunaikan ibadah Haji. Di periode yang sama, banyak orang yang datang ke Aceh menuntut ilmu agama (Lombard, 1991). Aceh dilewati sebuah sungai terkenal dan membangun permukiman Kota yang makmur bernama “Kuta Raja” (Lombard, 1991). Aceh adalah kota benteng, sebagai tanda sistem pertahanan mereka menghadapi gempuran bangsa-bangsa asing. Kekuatan militer Aceh adalah pasukan gajah-nya yang tangguh.
Penulis Portugis bernama Tome Pires menulis catatan perjalanannya (Suma Oriental) tahun 1520 di Malaka dan dialah yang menyebut-nyebut nama “Aceh” dengan tegas untuk pertama kalinya secara tertulis, bersamaan dengan penggunaan kata “Sumatera” (Samudera!).
Masjid sejak awal adalah pusat peradaban Aceh, selain pasar dan pelabuhan. Masjid terkenal di Banda Aceh hingga kini, masjid Baiturrahman, adalah masjid kerajaan yang dibangun tahun 1614 dengan gaya yang agung dan indah pada masa Sultan Iskandar Muda. Masjid ini pernah terbakar dan dihancurkan di masa Sultanah Nur ul-Alam (1675-1678, dibangun lagi dan kemudian digempur kembali akibat serangan Belanda.
Pada awalnya, masjid kesultanan di Aceh sangat khas, bentuknya empat persegi, dikelilingi tembok dengan atas susun empat dan bubungan yang langsing. Ketika itu, menara –-dengan tradisi Turki—- belum ada. Masjid di Aceh pada awalnya mengikuti pola arsitektur mereka sendiri (berdiri tahun 1292, di masa Sultan Mahmud Syah).
Setelah terbakar, masjid Baiturrahman dibangun kembali dengan Kubah (hitam) tunggal. Kubah ini terus bertambah (pada awalnya dengan satu kubah pada tahun 1874?), tapi berturut-turut bertambah 2 kubah pada tahun 1932 dan akhirnya bertambah 3 kubah (1957) sehingga seluruhnya menjadi 5 kubah (Hasjmy, 1977).
Selain Masjid Baiturrahman, dibangun lagi masjid kedua oleh Iskandar Muda tahun 1607 yang tepat berada di dalam kompleks istana sultan, namanya Masjid Baiturrahim, fungsinya selain mempercantik kompleks istana Kuta Alam, masjid ini terutama berfungsi sebagai “pusat ilmu pengetahuan di bidang tata negara dan hukum pemerintahan”.
Masjid kesultanan Aceh, Baiturrahman, juga dikenal dengan nama “Universitas Baiturahman” (Madjid, 2014). Di masjid inilah para maha guru dan sarjana (Syekh) mengajar murid-muridnya. Salah satu murid terpandang pada masa itu adalah putri Sultan Iskandar Muda, sang putri bernama Safiatuddin –-yang di kemudian hari menjadi Ratu pertama kesultanan Aceh dengan nama Ratu Tajul Alam Safiatuddin–. Sang putri berhasil menguasai banyak ilmu agama, filsafat, tata negara, sejarah, mantiq, sastra, dll, termasuk ia menguasai bahasa-bahasa penting dunia: Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu.
Dalam faktanya, ulama-ulama Aceh dan karya-karyanya berhasil menjadi “poros utama jaringan keilmuan Islam di dunia Melayu-Nusantara dengan Makkah dan Madinah pada abad ke-17” (Azra, 1994).
Sejarah besar Aceh diwarnai oleh sejarah (tentang) marwah dan kehebatan pemimpin Perempuan yang hebat. Di Aceh, tercatat beberapa Sultanah (Ratu) yang pernah memimpin negeri itu, sepanjang 59 tahun lamanya, antara lain yang terkenal adalah Ratu Syafiatuddin Syah, Ratu Nur Ilah, Ratu Nahrasiyah, Ratu Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Di luar itu, di periode selanjutnya terkenal pula Laksamana Keumalahayati dan Cut Nyak Dhien, dst (Hasjmy, 1977; Lombard, 1991; Sofyan, dkk, 1994; Madjid, 2014).
Sejak abad ke-15, negeri Aceh sudah terkenal di dunia Timur maupun Barat. Posisinya yang berada di ujung pulau Sumatera telah menempatkan Aceh dalam sentrum pergolakan dunia untuk beberapa abad lamanya. Bahwa ada kejatuhan, itu adalah fakta. Hal mana dialami oleh semua bangsa-bangsa besar.
Kejatuhan Aceh jelas bukan karena mentalitasnya, dan apalagi etos peradabannya. Kejatuhannya semata-mata karena “hukum sejarah” yang memenangkan teknologi peperangan dan monopoli dagang dengan cara-cara militer. Sebagai dampaknya, Perang Aceh berkobar gigih (1873–1904). Ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah melawan kolonialisme di Nusantara.
Memuliakan ilmu adalah ciri lain dari bangsa Aceh. Lambang Aceh meletakkan dengan jelas: Kubah Masjid, Kitab dan Kalam, sebagai simbol jati-diri Aceh, selain keadilan (Dacing), Kepahlawanan (Rencong), Padi-Lada-Kapas (Kemakmuran). Tak heran, jika kita membaca misalnya, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar (2010), kita akan merasakan dengan sangat bagaimana suburnya ilmu-ilmu agama sekian abad di negeri Aceh. Di sebuah lembaga pendidikan tradisional (zawiyah dalam bahasa Arab) berkembang pesat di Aceh, dengan nama Dayah. Perannya sama dengan pesantren di Jawa.
Banyak Dayah di Aceh yang mengoleksi ribuan naskah tulisan tangan (manuskrip, salinan) dan juga ratusan karya-karya besar ulama Aceh, Patani atau Palembang. Di Dayah, semua kitab-kitab itu dipelajari dengan tekun dengan sistem pembelajaran ala Aceh sendiri dengan ikatan keulamaannya yang kuat hingga ke Timur Tengah (Fathurrahman, 2010).
Dalam katalog besar tersebut, diterangkan oleh Professor Henri Chamber-Loir (2010), bahwa pada katalog 1983 saja misalnya, ditemukan sekitar 700 naskah yang terdiri dari 580 bahasa Arab dan 120 berbahasa Melayu atau Melayu-Arab. Sepanjang sekian abad, para penulis dan cendekiawan Aceh telah menggunakan kertas buatan Italia yang populer di abad ke-19.
Di puncak kejayaannya di abad ke-16 dan ke-17, terutama ketika zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan Sultanah (Ratu) Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675), Aceh benar-benar menempati peran internasionalnya yang hebat dalam jaringan niaga dunia dan sejalan dengan itu di dalam kota Aceh Darussalam sendiri dan wilayah-wilayah sekitarnya di negeri Melayu, Aceh adalah “payung” yang menaungi banyak pertumbuhan dinamis di bidang ekonomi, militer, budaya dan agama Islam.
Hebatnya lagi karena hubungan antar bangsa di dunia Timur dan Barat (Arab, China, India dan Eropa) berlangsung damai dan menempatkan Aceh sebagai simpul perjumpaannya di Asia Tenggara. Kekuasaan Aceh yang luas sangat dikenal di dunia niaga karena menghasilkan sutra bermutu tinggi, lada, emas, dll.
Tradisi tulis-menulis dan perguruan amat luas perkembangannya di Aceh. Banyak orang dari berbagai belahan dunia datang belajar di Aceh dan menikmati perkembangan kosmopolitanisme Aceh. Lahirlah ulama-ulama besar dan karyanya, seperti Syekh Nuruddin al-Raniniri dan Syekh Abdurrauf al-Fansuri as- Singkili (Syah Kuala), Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatra’i, dll.
Ketika Tsunami besar menimpa Aceh, 26 Desember 2004, bukan hanya harta dan jiwa yang hilang, manuskrip Aceh pun banyak yang hancur dan hilang. Tapi karena reputasi sejarah Aceh yang demikian penting, perhatian dunia internasional pun, terutama untuk urusan konservasi ilmu pengetahuan terus mengalir. Adalah Tokyo University yang ikut mengambil peran penting dalam katalogisasi naskah-naskah Aceh sebagai suatu warisan budaya dunia. Bersamaan dengan itu, naskah Palembang dan Minangkabau juga berhasil dikatalogisasi (2005).
Sangat unik karena Aceh pernah memiliki Gubenur hebat, Ali Hasjmy, yang terkenal sebagai budayawan, pejuang, cendekiawan, pecinta buku, dan tokoh pendidikan ternama. Beliau juga rupanya adalah pemilik dan pecinta naskah/manuskrip (kebudayaan) Aceh yang banyak. Tersebutlah bahwa di sebuah Dayah di Tanoh Abee, ternyata mempunyai naskah yang sangat besar, bahkan dikatakan oleh Prof. Aotama Toru dari Jepang sebagai tempat koleksi terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Dayah ini sekaligus menegaskan bukti-bukti bahwa Aceh mempunyai ratusan ribu naskah, baik yang masih bisa ditemukan di negeri Aceh sendiri maupun di luar Aceh (Fathurrahman, 2010).
Sebagai kesimpulan, Aceh menjadi “Serambi Makkah” karena tradisi berkekuasaan dan kepemimpinan yang dilandasi oleh agama yang kukuh, hukum, kecintaan kepada ilmu dan pengetahuan. Inilah karakter utama peradaban Aceh dan Islam Nusantara. Hal ini dibuktikan melalui ekspansi pengaruhnya sejak abad ke-13, ketika bahasa Melayu meluas di hampir semua wilayah di Nusantara. (*)
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Pos-el: basriamin@gmail.com