Opini  

Bicoli; Desa di Ujung Pesisir Timur Halmahera 

[Catatan Gemilang Bicoli Tempo Dulu]

Oleh: M Azrul Marsaoly

_________________

BICOLI, sebuah desa kecil di Timur Halmahera. Desa yang ketika pagi, sepasang mata menyaksikan langsung terangnya sinar mentari di saat terbit, tanpa penghalang: pulau maupun gunung. Desa ini adalah salah satu dari sekian banyak desa di Hal-Tim yang memiliki ikatan-sejarah masa lalu dengan Kesultanan Tidore.

Sebuah negeri yang tak kalah penting dalam penggung sejarah lokal. Sejak dulu, tak berlebihan, jika desa kecil ini dikatakan telah mengalami pergaulan dan membangun percakapan secara global. Dalam kurun waktu 1817, disebutkan Bicoli muncul sebagai pelabuhan. Leirissa (1996: 67), mengungkapkan di Selatan Timur Halmahera ada sebuah negeri bernama Bicole, negeri pesisir yang paling aman untuk berlabuh, sehingga disebut sebagai pelabuhan utama di Halmahera Timur. Ini terkonfirmasi juga ketika berselang 3 (tiga) tahun, tepat di tahun 1820-an Hindia Belanda menempatkan seorang perwakilan [gecommitteerde] di Bicoli untuk mengurus perihal perdagangan pala. Namun, aktivitas perdagangan itu relatif singkat, karena penguasaan Hindia Belanda yang tidak bertahan lama.

Selain negeri Maba yang dianggap penting oleh VOC, karena sebagai induk distrik bernama Maba. Menurut suatu dokumen di abad 17, terdapat pula berbagai negeri penting lainnya, seperti: Bicole, Panga, Gotowasi, Waianli, Ingli, Buli, Samofo, Waci, Lolobata, Luipi, Ses, dan Seun. Selain itu, dalam sebuah keterangan seorang penguasa Maba menyebutkan ada 23 pemukiman, di antaranya: Kucame, Geet, Binhinjan, Seise, Ose (Woso), Waci, Gotowasi, Wailo, Terbil, Air, Kapitan Laut, Air Sangaji, Gaw, Seli, Wasile, Waisarli, Mabunglang, Akelamo, Bicole, Waya, Belolo, Air Masing, Tolowaisali, dan Geruwe Leirissa (1996: 66). Catatan pemukiman ini, di paroh kedua abad 19 hanya tersisa empat negeri dengan 13 pemukiman, dan yang terbesar di sekitar Bicole Leirissa (Campen, 1883: 292-301).

Woso, Sentral Perlawanan

Seperti yang diungkapkan diawal. Bicoli dan umumnya Halmahera Timur memiliki hubungan history dengan Kesultanan Tidore. Jalinan interaksi Halmahera Timur dan Kedaton Tidore semakin meningkat setelah sepeninggal Sultan Nuku. Bermula dari Kaicili Zainalabidin, adik tiri Nuku ini menjadikan sebagian distrik Maba sebagai pusat kekuasaanya untuk merebut takhta Tidore dari genggaman penguasaan Belanda pada tahun 1806. Leirissa (1996:173), mencatat Kaicili Zainalabidin menggantikan posisi Sultan Nuku kurang lebih pada tahun 1805, tetapi kemudian mendapat serangan dan terdesak oleh Belanda setelah setahun memimpin. Soasiu digempur dan dibakar oleh Belanda. Kaicili Zainalabidin pun bersama beberapa kelompok bangsawan dan pengikutnya mengamankan diri di Halmahera Timur dan meneruskan perjalanan ke Kepulauan Raja Ampat.

Sultan Zainalabidin kemungkinan besar tiba di Maba dan berdiam diri di Woso sejak Februari 1808 Leirissa (1996: 182), setelah dijemput oleh beberapa bobato bersama dengan Grieve (pimpinan captain) menggunakan kapal Inggris Lord Minto ke Pulau Gebe. Dalam sebuah catatan kaki, oleh Kapten Herder pemimpin ekspedisi Militer di Maba antara Januari sampai Mei 1808, bahwa pada tanggal 23 Februari Sangaji Lakone dari Woso berangkat ke Pulau Gebe bersama sebuah kapal Inggris untuk menjemput 25 buah kora-kora dan dua kapal penangkap ikan Inggris, bersamaan dengan itu Zainalabidin pun dijemput yang sebelumnya berada di Misool. Mulanya Zainalabidin di Woso untuk berdagang dan bertahan terhadap serangan-serangan Belanda.

Perihal kapan tepatnya Woso dijadikan sebagai pusat kekuasaan oleh Zainalabidin tidak diketahui dengan pasti. Disebutkan kemungkinan besar terjadi pada awal bulan pertama tahun 1808 Leirissa (1996: 183). Woso, sejak dulu pada awal tahun 1808 ketika munculnya Grieve, kampung Woso di distrik Maba oleh Zainalabidin diwajibkan agar melaksanakan monopoli kerajaan atas rempah-rempah di Halmahera Timur. Sekalipun saat itu di paroh pertama tahun 1808 Belanda juga mengadakan ekspedisi ke Maba. Tetapi, Woso tetap berdagang dengan Grieve melalui pelabuhan Bicole.

Sekitar pertengahan tahun 1808, negeri Woso amat penting kedudukannya. Woso letaknya agak sedikit tinggi di perbukitan yang berdekatan dengan Bicoli. Dikisahkan, ketika itu Ternate dan Belanda mulai menyerang Zainalabidin, atas serangkaian serangan itu, sehingga kemudian dibangun suatu sistem perbentengan untuk bertahan dan memperkuat negeri dari serangan lawan. Serangan tersebut dipimpin oleh Letnan Herder. Leirissa (1996: 184), menyebutkan sistem pertahanan benteng tradisional yang dibangun berupa tembok lurus dengan kisaran setinggi dada (1,0 m) yang bahannya dari batu karang dan dilapisi perekat yang terbuat dari kapur hasil bakaran kerang. Tidak hanya di pegunungan, di arah utara pun terdapat tiga benteng yang serupa, dan sebuah benteng lagi di arah laut.

Sistem pertahanan berupa benteng yang dibuat mampu menahan serbuan-serbuan pasukan Ternate yang diperkuat dengan pasukan Belanda. Herder pemimpin pertempuran menyerang Woso sebanyak empat kali tanpa berhasil dan akhirnya pasukan yang dipimpinnya terpaksa mundur Leirissa (1996: 185). Begitupun dengan ekspedisi kedua dalam tahun 1808 dengan pimpinan pasukan oleh Kapten Heyes yang berada di Maba selama beberapa bulan, pun terpaksa mundur juga pada bulan Oktober karena kontingen/pasukannya menolak meneruskan perang.

Pertahanan di negeri Woso-Bicole pada kurun waktu akhir tahun 1808 pernah mengalami kemunduran, karena wabah penyakit cacar yang mengakibatkan banyak orang meninggal. Tidak hanya itu, krisis pangan pun terjadi, karena berkurangnya beras dan jagung oleh karena selama peperangan penduduk setempat tidak lagi mengurusi kebun-kebun yang dimiliki. Namun, di kemudian hari kondisi kembali pulih-normal. Saat itu pula ekspedisi keempat yang dikirim tepat pada bulan Maret 1809 kembali berakhir dengan hasil yang sama, yaitu tidak berhasil mengalahkan Woso. Ekspedisi ini kemudian gagal dan ditarik kembali pada Juni, karena kontingen dan pasukan yang dipimpin beralasan karena Woso terlalu kuat.

Negeri Woso dengan sistem pertahanannya yang kuat itu berfungsi sebagai pusat kekuasaan Zainalabidin di Halmahera Timur untuk memperjuangkan kedudukannya di kerajaan Tidore Leirissa (1996: 186). Peran dan keterlibatan penuh, dan suasana pertempuran yang berlangsung secara terus menerus, sehingga, kemungkinan dapat dikatakan menjadi cikal-bakal ditulislah sebuah catatan, surat para bobato negeri Woso tertanggal 16 Februari 1809, yang isi pesannya “Negeri Tidore ada di Woso”. (*)