Oleh: Basri Amin
Lembaga Kajian Sekolah & Masyarakat (LekSEMA)
___________________
KITA sering lupa bahwa dari bumi Halmahera dan dari pulau-pulau sekitarnyalah sehingga naturalis Inggris paling ternama, Alfred Russel Wallace (1823–1913), kemudian berhasil menulis satu tulisan dan surat panjang “Ternate Paper” yang dikirimkannya ke Charles Darwin di London pada Februari 1858.
Tulisan panjang tentang “seleksi alam” (natural selection) tersebut dikerjakannya di Jailolo, Halmahera. Selama delapan tahun (1854–1862) Wallace berkelana di kepulauan Nusantara dan dari Malukulah pula ia memberikan kontribusi pengetahuan penting kepada dunia sains hayati (Berry, 2002).
Maluku adalah sebuah “dunia” tersendiri. Demikian Professor Leonard Andaya dalam bukunya The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (1993). Tidak heran kalau sepanjang abad 16 dan 18, menurut Professor Andaya, perjumpaan Eropa dan dunia Maluku sangat intensif dan masing-masing terbelah karena eksisnya konsep “pusat” dan “pinggiran”, baik dalam benak orang Eropa maupun di dalam sejarah dan tradisi orang-orang Maluku sendiri.
Pada periode ini, rekaman kegiatan orang Eropa di kepulauan ini, termasuk di dalamnya tentang adat-kebiasaan dan kekayaan alam Maluku, terekam sangat baik dengan kerincian yang lumayan memadai. Tapi, ini semua tak bisa lepas dari asumsi, persepsi dan dan kepentingan sepihak mereka.
Menemukan (kembali) kebesaran dunia Maluku seperti yang terdapat dalam teks sejarah akan selamanya menantang dan memberi perspektif beragam. Dan yang unik adalah karena keragaman (persaingan dan pergolakan) itu juga bisa dibaca secara artefaktual. Lanskap negeri Maluku saat ini masih memperlihatkan sebagiannya, bahkan cukup mudah menyaksikan jejak-jejak kolonial itu pada ruang kota-kotanya.
Kini, sisa-sisa benteng yang pernah dibangun oleh Spanyol, Portugis, dan Belanda masih banyak berdiri kekar di Pulau Ternate, demikian juga sebagiannya di Tidore. Semua itu menjadi saksi tentang pergolakan yang pernah terjadi di kepulauan ini. Di balik itu semua, pluralitas masyarakat Maluku berkembang sejajar dengan persaingan-persaingan ekonomi dengan bangsa Eropa.
Sehingga pelapisan-pelapisan masyarakat Maluku terbelah dengan pola lama yang berkarakter “pedalaman” dan merupakan penduduk asli dan perkembangan baru yang lebih dinamis di “pesisir”. Meski demikian, di berbagai tempat di Maluku, lokalitas budaya dan pelapisan masyarakatnya terbentuk secara otonom, seperti terjadi di Ambon dan Banda –dengan sebutan Uli Lima dan Uli Siwa; atau dalam bentuk lain (baca: konfederasi) seperti pernah dicapai oleh Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan dalam “Perjanjian Moti” (1322).
Perjanjian demi perjanjian, juga beberapa kontrak dan kesepakatan-kesepakatan lintas kerajaan atau antara otoritas kolonial dengan raja-raja setempat di Maluku adalah mekanisme yang terus berulang dilakukan. Kadang sukses dalam jangka waktu tertentu, tapi kemudian menjadi masalah baru pada periode berikutnya. Di banyak buku kita temukan keterangan tentang pergantian raja atau kekecewaan antar kerajaan dan sikap-sikap dominan dari aparatur kolonial dalam hal penguasaan wilayah adalah faktor-faktor menentukan terjadinya konflik.
Semuanya dengan tujuan yang sangat praktis: mengamankan kepentingan ekonomi dan/atau menguatkan otoritas masing-masing. Dan tampaknya, para penguasa pribumi adalah yang paling berkepentingan untuk menjaga “kekuasaan” mereka, sementara bangsa-bangsa pendatang lebih menampilkan sebuah “organisasi kerja” yang hanya tunduk pada kepentingan monopolinya sendiri.
Cukup mudah menyatakan bahwa melalui bentangan cerita tentang pengepungan, penyerangan, peperangan dan pembunuhan, seperti diutarakan di banyak literatur, semakin jelas bahwa tidak pernah ada suatu “masa indah” –secara ekonomi dan politik– yang dialami kepulauan Maluku pada masa kolonial. Yang terjadi adalah gelombang-gelombang pergolakan. Kita cukup sulit membayangkan bagaimana kepulauan Maluku demikian dipecah-belah “kesatuan kosmologi” dan “ordinat ekonomi”nya –yang sekian lama sebenarnya menyatukan mereka–.
Sehingga, meski berulang dikesankan bahwa Maluku mempunyai ikatan teritorial tertentu bahkan sebagiannya mempunyai ikatan geneologis dan “kontrak kultural”, misalnya dengan sebutan “Moluku Kie Raha” (empat kerajaan yang menyatu) di Maluku Utara, tapi melalui rekaman sejarah kawasan ini pula kita kemudian mengetahui bahwa fragmentasi teritori dan memori serta bentuk-bentuk akomodasi masih terus berlangsung, misalnya kalau merujuk data historis bahwa Ternate ditempatkan posisinya sebagai “pusat” yang (selalu) berpengaruh.
Setelah melewati masa sejarah di mana perjumpaan kultural dan kepentingan regional di Nusantara Timur berjalan demikian dinamis, Maluku memasuki periode pertarungan yang lebih dominan berhubungan dengan kompetisi politik dan penguasaan ekonomi rempah-rempah, baik dengan kekuatan-kekuatan di wilayah Maluku sendiri, dan tentu saja terutama ketika kekuatan luar datang bertubi-tubi untuk “menguasai” Maluku, yakni Spanyol dan Portugis, kemudian Belanda dan Inggris. Dengan modal kapal-kapal dan teknologi pelayaran, uang dan personil, plus persenjataan, mereka membawa “semangat imperial” Eropa ke kepulauan Maluku.
Dalam faktanya, penguasaan tunggal di Maluku memang tidak pernah sepenuhnya berhasil karena demikian banyaknya persaingan-persaingan dan pertempuran-pertempuran lokal di antara kerajaan-kerajaan di Maluku sendiri, terutama di wilayah Maluku Utara. Tetapi, dilihat dari sisi luarnya, apa yang terjadi pada masa itu adalah suatu percaturan besar karena memang kekuatan-kekuatan (ekonomi) dunia menjadikan Nusantara sebagai sasaran utama perdagangan rempah-rempah.
Inilah sebuah masa (1450-1680) yang disebut oleh Professor Anthony Reid (1992) sebagai “kurun niaga” (age of commerce) yang menempatkan kawasan Asia Tenggara semakin eksepsional dalam sejarah dunia, terutama karena sebelum kedatangan bangsa Eropa, percaturan ekonomi kawasan ini sudah berlangsung dinamis dan damai, termasuk ketika hubungan-hubungan budaya dan “jaringan niaga” dengan India dan China terbuka sejak abad ke-14.
Sejak 2008, saya mengunjungi Maluku Utara dengan intensif. Sekian lama tak pernah mengira akan bertemu dengan satu kawasan (kepulauan) yang luar biasa kaya dan indahnya. Bukan hanya kaya dalam arti kebudayaan, sejarah dan sumber daya alam, tapi lebih dari itu Maluku Utara mempunyai kekayaan “bahan mentah” ilmu pengetahuan dunia yang tak terkira luasnya. Karya besar Alfred Wallace adalah pintu pasuk untuk menegaskan visi masa depan ini. Dengan pengalaman panjang itu pula, kita mestinya segera sadar bahwa kini yang Indonesa butuhkan adalah strategi “geosains”, bukan sekadar geopolitik dan geostrategis sebagaimana sudah lama kita tahu. Dengan ilmu pengetahuan, negeri ini akan abadi menjadi bangsa besar yang menyejahterahkan rakyatnya. (*)
Penulis adalah penulis yang
bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
E-mail: basriamin@gmail.com