Oleh: Tirta Wowotubun
Pengurus BEM FISIP UNNU
________________
“Seorang pendidik yang baik tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga memberi contoh nilai-nilai moral dan etika.” — Nelson Mandela
DOSEN adalah sebuah entitas yang maha benar jauh dari kesalahan, dosen yang dimaksud bukanlah dalam lingkup general, namun pada konteks yang lebih istimewa karena secara implisit saya tidak ingin terjebak dalam fallacy of dramatic instance.
Dalam surah Al-Ahzad (33:21), menyatakan bahwa “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik bagimu”, surah ini kemudian menegaskan bahwa Rasulullah adalah manusia yang sempurna atau uswatun hasanah (contoh yang baik), lantas bagaimana dengan dosen yang menjelma menjadi Al-Haq (Kebenaran), siapa yang mereka jadikan sebagai suri tauladan.
Namun pembahasan dalam tulisan ini akan lebih spesifik pada dosen yang maha benar sehingga apa yang mereka sampaikan dan lakukan adalah hanif (benar) semata-mata guna mendeskreditkan bahwa mahasiswa penuh dengan kesalahan.
Dalam beberapa studi kasus, ditemukan bahwa dosen sering kali dipandang sebagai entitas yang tidak pernah berbuat salah atau dalam istilah Islam disebut ma’sum. Pertanyaannya adalah, mengapa persepsi ini muncul? Ketika mata kuliah dilaksanakan sesuai dengan waktu yang tertera dalam kontrak kuliah, dan sejumlah mahasiswa terlambat hadir, dosen cenderung menyalahkan mahasiswa. Hal ini menciptakan kesan bahwa dosen selalu benar, tanpa mempertimbangkan sesuatu hal lebih komprehensif yang dapat memengaruhi kehadiran mahasiswa.
Namun, bagaimana jika situasinya terbalik? Di mana dosenlah yang terlambat, dalam konteks ini, dosen juga tidak dapat disalahkan, karena mereka tetap dianggap sebagai ma’sum. Hal inilah yang kemudian melekat menjadi sebuah kebiasaan dan berkembang menjadi kebodohan yang membudaya. Tidak hanya dalam konteks keterlambatan, namun jika kita telaah secara mendalam, terdapat sebuah cacat kognitif yang terbungkus dalam sikap keangkuhan dan disematkan dengan label “maha benar.” Hal ini terlihat ketika ketidakhadiran dosen pada mata kuliah tersebut dianggap sebagai hal yang lumrah oleh pihak dosen itu sendiri. Lebih mengkhawatirkan lagi, tidak ada evaluasi atau upaya perbaikan terhadap tindakan yang telah dilakukan, seolah-olah mereka berada dalam posisi kesempurnaan.
Pada studi kasus berikut adalah tentang bentuk penilaian dari dosen yang maha benar kepada mahasiswanya yang tak sempurna, situasi yang dimaksud terjadi ketika dosen menganggap mahasiswa yang menunjukkan sikap kritis sebagai parasit dalam ekosistem kampus. Penolakan yang dimaksud muncul ketika mahasiswa mulai berpikir kritis, sehingga aktivitas produktif di lingkungan kampus, seperti lapak baca dan kelompok diskusi, dianggap sebagai ancaman oleh otoritas kampus.
Situasi ini menciptakan masalah yang mendalam, karena intervensi kampus terhadap mekanisme pemikiran mahasiswa mengakibatkan banyak mahasiswa bertransformasi menjadi “kupu-kupu,” yang ditandai dengan sifat pragmatis dan apatis. Dampak tersebut menunjukkan bahwa kebebasan berpikir mahasiswa terhambat, sehingga mengurangi potensi mereka untuk berpikir kritis dan berkontribusi secara produktif dalam lingkungan akademik serta masyarakat.
Selanjutnya, kita memasuki konteks penilaian dalam proses pembelajaran. Karena label kesempurnaan yang dimiliki dosen, mereka cenderung memberikan penilaian yang tidak objektif dan kurang komprehensif. Mengapa demikian? penilaian yang seragam diberikan kepada seluruh mahasiswa, tanpa mempertimbangkan individualitas dan kontribusi masing-masing. Akibatnya, mahasiswa kehilangan kesempatan untuk mendapatkan apresiasi yang seharusnya berasal dari dosen yang “maha benar.”
Fenomena ini muncul sebagai dampak dari anggapan dosen yang melihat diri mereka sebagai puncak dari struktur pendidikan tinggi, sesuai dengan teori sosial yang membahas tentang Struktur Fungsionalisme. Dalam pandangan ini, dosen menganggap memiliki peran dan tanggung jawab untuk bertindak secara dominan, sehingga menciptakan kontradiksi dengan pemikiran Ibrahim Datuk Tan Malaka.
“Tujuan dari pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan”. Tan Malaka
Oleh karena itu, pendidikan berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai kemerdekaan, membebaskan masyarakat dari keterbelakangan dan penindasan. Peran pendidikan tidak hanya terletak pada transfer pengetahuan, tetapi juga dalam pemberdayaan individu dan kolektivitas untuk mengatasi struktur sosial yang menindas, sehingga menciptakan kondisi yang lebih egaliter dan berkeadilan.
Selain itu Paulo Freire mengemukakan bahwa tenaga pengajar tidak semata berfungsi sebagai penyampai informasi, melainkan juga sebagai fasilitator yang berperan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dan meningkatkan kesadaran mereka terhadap kondisi sosial yang melingkupi mereka. Dalam konteks ini, sering kali terdapat pola pikir di kalangan sebagian dosen yang menganggap diri mereka sebagai “maha benar,” suatu sikap yang menghambat proses dialogis dalam pendidikan.
Maka dosen perlu mengubah pola pikir dari “maha benar” menjadi pendidik yang lebih inklusif dan reflektif. Pelatihan dan workshop tentang pedagogik yang dialogis dapat membantu mereka memahami pentingnya keterbukaan terhadap kritik dan masukan dari mahasiswa.
Selanjutnya, penting untuk mendorong keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Menciptakan lingkungan yang aman bagi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat dan kritik dapat dilakukan melalui forum diskusi dan sesi umpan balik. Dengan demikian, mahasiswa merasa dihargai dan termotivasi untuk berpartisipasi aktif. Selain itu, evaluasi diri dosen secara berkala perlu dilakukan untuk mengenali kesalahan atau kekurangan dalam pengajaran mereka. Hal ini dapat meliputi survei kepada mahasiswa mengenai pengalaman pembelajaran dan metode pengajaran yang digunakan.
Metode penilaian juga memerlukan penyesuaian agar lebih holistik dan individual. Dosen harus mempertimbangkan konteks dan kontribusi masing-masing mahasiswa, bukan hanya memberikan penilaian yang seragam. Ini akan menciptakan rasa keadilan dan penghargaan terhadap usaha mahasiswa. Institusi pendidikan juga harus membangun kebudayaan akademik yang menghargai pemikiran kritis dan inovatif, termasuk mendukung inisiatif mahasiswa, seperti kelompok diskusi dan proyek penelitian independen.
Selain itu, integrasi nilai-nilai moral dan etika dalam kurikulum pendidikan sangat penting. Mahasiswa tidak hanya perlu belajar pengetahuan akademis, tetapi juga keterampilan sosial dan etika yang diperlukan dalam kehidupan nyata. Pendekatan pendidikan yang berbasis dialog, sebagaimana diajarkan oleh Paulo Freire, harus diadopsi, di mana interaksi antara dosen dan mahasiswa berlangsung secara aktif dan saling membangun. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, diharapkan akan terjadi perubahan positif dalam dinamika pendidikan. (*)