Opini  

Nasionalisme dan Negara Bangsa: Akar Penghalang Pembebasan Palestina

Oleh: Hirawati

_________________

KONVOI kemanusiaan Global March to Gaza (GMTG) yang direncanakan pada 15 Juni 2025 menjadi simbol nyata dari kemarahan dan keprihatinan masyarakat dunia terhadap blokade brutal Israel atas Jalur Gaza. Ribuan aktivis dari berbagai benua berkumpul di Kairo, Mesir, dengan satu tekad: menembus penghalang dan menyampaikan pesan solidaritas kepada rakyat Palestina.

Namun, kenyataan pahit kembali menyapa. Puluhan aktivis dideportasi secara sepihak oleh otoritas Mesir, tanpa pelanggaran hukum dan tanpa penjelasan yang masuk akal. Pemerintah Mesir berdalih tindakan itu dilakukan karena para aktivis “tidak mengantongi izin yang diperlukan”, alasan administratif yang justru semakin terlihat, bagaimana persatuan kemanusiaan hari ini dibungkam oleh kepentingan politik nasional.

Lebih dari 10.000 orang dari 50 negara, termasuk dari Indonesia, Eropa, Amerika, hingga Afrika Utara, ikut dalam GMTG. Mereka tidak membawa mandat politik atau protokol kenegaraan, melainkan datang sebagai perawat, dokter, jurnalis, aktivis HAM, hingga anak-anak muda biasa. Mereka tidak membawa bendera negara, melainkan menggenggam nurani dan kepedulian terhadap penderitaan rakyat Gaza.

Gerakan GMTG ini menjadi simbol bahwa masyarakat dunia telah kehilangan harapan terhadap lembaga-lembaga internasional dan para penguasa saat ini, yang selama ini hanya mampu mengeluarkan pernyataan kosong tanpa tindakan nyata. Ketika lembaga seperti PBB, OKI, dan Liga Arab hanya mampu menyerukan gencatan senjata dan mengutuk agresi, GMTG hadir sebagai bentuk diplomasi kemanusiaan yang melampaui podium, protokol, dan kepentingan nasional.

GMTG adalah dorongan nurani kemanusiaan karena hukum internasional tidak lagi menegakan keadilan, tetapi justru menjadi pelindung untuk menjaga agresi militer Amerika dan status quo di wilayah Timur Tengah. Dengan adanya gerakan ini membuktikan bahwa gerakan kemanusiaan global masih hidup, bahkan melampaui batas negara, identitas, dan ideologi politik. Namun tertahannya para aktivis di perbatasan Rafah menyadarkan kita bahwa ada penghalang yang lebih besar daripada tembok beton atau izin administratif, yakni nasionalisme dan konsep negara bangsa yang membelenggu dunia Islam hari ini.

Konsep nasionalisme dan negara bangsa bukanlah nilai yang lahir dari Islam, melainkan warisan kolonialisme Barat yang telah berhasil meruntuhkan institusi pemersatu umat: Khilafah Utsmaniyah. Sejak keruntuhan itu, umat Islam terpecah ke dalam entitas politik yang sempit, dibingkai oleh batas-batas buatan dan kepentingan nasional. Nasionalisme telah menumpulkan ikatan ukhuwah Islamiyah. Ketika saudara-saudara kita di Gaza dibantai, para penguasa negeri-negeri Muslim justru menutup perbatasan dan menghalangi bantuan masuk. Bukannya menjadi pembela umat, tentara-tentara Muslim justru menjaga kepentingan penjajah demi menjamin stabilitas politik dan ekonomi yang bersandar pada dukungan asing.

Lebih parah lagi, nasionalisme telah mengubah orientasi para pemimpin negeri Muslim. Mereka lebih memilih menjaga hubungan diplomatik dan ekonomi dengan penjajah serta sekutunya, daripada membela kehormatan dan darah saudaranya sendiri. Padahal Rasulullah ﷺ telah mengingatkan: “Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh. Bila satu bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan sakit”. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Realitas ini seharusnya menyadarkan umat Islam bahwa penderitaan Palestina tidak akan berakhir hanya dengan aksi kemanusiaan, donasi, atau doa. Meskipun langkah-langkah tersebut penting, mereka bukanlah solusi hakiki. Karena inti dari konflik Palestina adalah konflik politik, maka penyelesaiannya pun harus bersifat politik.

Krisis Gaza juga menunjukkan betapa lemahnya umat tanpa pelindung sejati. Lembaga-lembaga seperti PBB, OKI, dan Liga Arab terbukti tidak mampu menghentikan kebrutalan zionis Yahudi, yang terus dilindungi oleh Amerika Serikat dan sejumlah negara besar Eropa. Bantuan finansial dan persenjataan terus mengalir ke Israel membuat rezim zionis semakin congkak dan brutal, sementara rakyat Gaza makin terpuruk.

Dalam kondisi seperti ini, umat sangat membutuhkan perisai politik yang sejati—kekuasaan yang mampu melindungi umat dari penjajahan dan kebrutalan musuh. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya”. (HR Muslim)

Namun, sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah, perisai itu tidak lagi ada. Umat dibiarkan tercerai-berai, dilemahkan oleh sekat negara bangsa, dan menghadapi musuh dalam keadaan terpecah. Oleh karena itu, seruan untuk mengembalikan kepemimpinan politik Islam global bukanlah utopia, melainkan keniscayaan yang harus diperjuangkan jika umat ingin keluar dari siklus kehinaan dan penjajahan.

GMTG adalah simbol bahwa nurani dunia belum mati. Namun, nurani itu harus disalurkan pada perjuangan yang lebih mendasar dan terarah, yakni perjuangan politik untuk mengakhiri dominasi imperialisme global dan menegakkan sistem Islam secara kaffah.

Palestina bukan hanya isu kemanusiaan, tapi cermin keterpurukan umat, akibat dari paham nasionalisme. Maka, selama umat belum bangkit dan bersatu di bawah satu kepemimpinan politik Islam, tragedi Gaza akan terus berulang, dan penderitaan rakyat Palestina akan terus diperpanjang.

Gerbang Rafah mungkin tertutup, tetapi hati nurani umat tidak bisa dibungkam. Kini saatnya kita membuka gerbang perlawanan yang sejati yakni perlawanan pemikiran, spiritual, dan politik untuk menghapus batas-batas buatan yang melemahkan umat, dan menegakkan kembali izzah Islam melalui persatuan politik Islam ideologis di bawah sistem Islam yang menyeluruh. (*)