Opini  

Maluku Utara Lumbung Ikan, UMKM Sektor Perikanan ‘Merana’ di Tengah Euforia Industrialisasi Tambang IWIP

Oleh: Hamka Karepesina, S.Pi., M.Si

Ketua DPD HNSI Maluku Utara dan Direktur NetraNusa Maluku Utara

____________________

DI tengah euforia industrialisasi pertambangan Maluku Utara, ada hal yang tidak diketahui publik bahwa suplai kebutuhan ikan ke area industri mulai menimbulkan masalah bagi UMKM perikanan lokal Maluku Utara.

Maluku Utara memiliki sumber daya ikan yang melimpah, seharusnya menjadi lumbung ikan yang berdaya saing tinggi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di area pertambangan.

Namun, kondisi ini tidak lagi kondusif bagi UMKM sektor perikanan di wilayah ini. Hal ini disebabkan indikasi ketidakberpihakan terhadap UMKM perikanan lokal. Penyebab utamanya adalah disparitas harga yang rendah dari PT CPM (Cahaya Pangan Makmur) terhadap nilai jual ikan Maluku Utara, juga menjadi faktor yang memperburuk nasib UMKM perikanan.

Kebijakan PT CPM seringkali menawarkan harga yang tidak adil, yang tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan untuk membeli ikan yang dihasilkan oleh nelayan lokal. Hal ini membuat banyak kerugian bagi nelayan yang hasil tangkapannya tidak bisa diserap atau dibeli oleh UMKM lokal karena mandeknya negosiasi yang dilakukan antara PT CPM dan UMKM perikanan lokal.

Ada indikasi kebutuhan ikan untuk lingkup tambang yang disuplai dari Jawa menambah kompleksitas masalah ini. Sementara permintaan ikan untuk industri tambang meningkat, kebutuhan tersebut dipenuhi dari luar daerah, yang semakin menggerogoti potensi pasar bagi UMKM perikanan lokal.

Ketergantungan pada pasokan dari Jawa tidak hanya mengurangi pendapatan nelayan lokal, tetapi juga mengancam keberlangsungan usaha perikanan yang sudah ada. Dengan demikian, pentingnya Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos, yang memiliki konektivitas yang sangat kuat dengan kementerian lembaga dalam pemerintahan Prabowo Gibran saat ini, dapat dimanfaatkan untuk memikirkan kebijakan yang lebih berpihak kepada UMKM perikanan di Maluku Utara.

Hal ini termasuk peningkatan akses ke pasar, regulasi harga yang adil, serta dukungan dalam hal teknologi dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas produk. Jika tidak, potensi besar Maluku Utara sebagai lumbung ikan akan terus terabaikan, dan dampaknya akan dirasakan oleh nelayan lokal yang bergantung pada sektor perikanan untuk kehidupan mereka.

Pengiriman ikan yang langsung dikirim dari luar Maluku Utara melalui dermaga pelabuhan di IWIP akan menjadi masalah tersendiri bagi UMKM perikanan lokal. Dikarenakan proses ini tidak hanya berdampak pada pasar lokal, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai keterlibatan pihak-pihak terkait, seperti otoritas karantina dan regulasi yang mengatur pengiriman produk perikanan.

Salah satu tantangan utama adalah bagaimana pengiriman ikan dari luar daerah dapat mempengaruhi harga dan kualitas produk ikan lokal. Jika ikan yang masuk dari luar mendapatkan harga lebih kompetitif, nelayan lokal akan semakin tertekan dan kesulitan untuk bersaing.

Jika dihitung kebutuhan konsumsi ikan di industri IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park) yang mencapai 5-700 ton per bulan seharusnya dapat diakomodir dengan baik oleh pasokan dari UMKM lokal di Maluku Utara. Dalam konteks ini, terdapat potensi besar untuk membangun ekosistem usaha yang saling menguntungkan antara industri dan nelayan lokal.

Dengan memanfaatkan sumber daya ikan yang melimpah di perairan Maluku Utara, industri IWIP dapat mengurangi ketergantungan pada pasokan ikan dari luar daerah, terutama dari Jawa. Selain itu, hal ini juga akan memberikan insentif kepada nelayan lokal untuk meningkatkan produksi dan kualitas ikan yang dihasilkan.

Harapannya, Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM dapat mengakomodasi kebutuhan konsumsi ikan di industri IWIP melalui pasokan dari UMKM lokal. Maluku Utara tidak hanya dapat menjamin keberlangsungan hidup nelayan, tetapi juga menciptakan ekosistem usaha yang saling menguntungkan, yang berpotensi mengangkat ekonomi daerah secara keseluruhan.

Jika langkah-langkah ini diimplementasikan dengan baik, kondisi ekosistem perikanan di Maluku Utara dapat diperkuat, dan UMKM lokal akan memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian daerah perikanan, seperti koperasi nelayan, saat ini menghadapi tantangan serius akibat pola kerja sama yang diterapkan oleh PT CPM sebagai sub kontraktor yang mengkoordinir suplai kebutuhan pangan di area pertambangan.

Salah satu masalah utama adalah penawaran harga ikan yang sangat murah dari PT CPM, yang tidak sebanding dengan biaya produksi dan upaya yang dikeluarkan oleh nelayan lokal. Akibatnya, banyak UMKM, termasuk koperasi, mengalami kesulitan dalam memasok kebutuhan ikan ke PT CPM, bahkan beberapa di antaranya sudah hampir tiga bulan tidak dapat melakukan pengiriman.

Kondisi ini sangat disayangkan karena menimbulkan dampak yang signifikan bagi keberlangsungan usaha nelayan lokal. Ketidakpastian dalam pendapatan membuat banyak nelayan terpaksa menjual hasil tangkapan mereka di pasar lokal dengan harga yang lebih rendah, sehingga merugikan mereka secara finansial. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan dialog terbuka antara PT CPM dan UMKM perikanan.

Pihak PT CPM perlu mempertimbangkan penyesuaian harga yang lebih adil, serta menciptakan mekanisme kerja sama yang lebih transparan dan berkelanjutan. Selain itu, Pemerintah Provinsi Maluku Utara juga harus berperan aktif dalam menjembatani komunikasi antara industri dan pelaku UMKM lokal, serta memberikan dukungan yang diperlukan agar UMKM perikanan dapat beradaptasi dan bersaing dengan lebih efektif.

Dengan perhatian dan dukungan yang tepat dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Gubernur Sherly Laos dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe,  diharapkan UMKM perikanan dapat berkembang dan berkontribusi secara positif terhadap perekonomian Maluku Utara.

Keberlanjutan usaha perikanan di Maluku Utara adalah kunci untuk menjaga kesejahteraan nelayan serta melindungi sumber daya laut yang merupakan warisan berharga bagi masyarakat setempat. (*)