Opini  

Refleksi Milad Kohati: Menghapus Batas, Menemukan Arah Baru

Siti Sakinah Kasturian. (Istimewa)

Oleh: Siti Sakinah Kasturian

Formateur Ketua Umum Kohati Cabang Ternate

___________________

MILAD Kohati bukan sekadar perayaan usia organisasi; ia adalah waktu refleksi dan evaluasi perjalanan panjang kader-kader perempuan yang telah berkontribusi dalam pendidikan, pemberdayaan, dan perjuangan keadilan gender di lingkungan kampus. Setiap program, keputusan, dan langkah strategis yang diambil selama puluhan tahun menyiratkan satu pesan mendasar: Kohati hadir bukan hanya untuk menegaskan eksistensi perempuan di HMI, tetapi untuk menghapus batas-batas yang membatasi partisipasi dan peran perempuan dalam setiap lini organisasi.

“Menghapus Batas, Menemukan Arah Baru” mengundang kita untuk meninjau peran Kohati dari kacamata sosial. Kohati, sebagai sub-struktur dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), merupakan entitas yang keberadaannya secara historis merefleksikan dinamika kekuasaan dan negosiasi peran perempuan dalam ruang publik.

Sejak berdirinya Kohati pada 2 Jumadil Akhir 1386 H bertepatan dengan tanggal 17 September 1966, Kohati telah berperan dalam mengedukasi kader perempuan untuk tidak hanya aktif dalam ranah organisasi, tetapi juga kritis terhadap persoalan sosial. Kohati hadir dengan membawa empat isu utama (Main Issues) yang menjadi landasan wacana gerakan yakni: Ke-Islaman, Ke-Intelektualan, Ke-Perempuanan, dan Ke-Indonesiaan, yang saling berkelindan membentuk identitas dan arah strategis organisasi. Program pelatihan kader, diskusi ilmiah, dan pengembangan kapasitas kepemimpinan menjadi bagian dari strategi Kohati untuk memastikan perempuan tidak hanya menjadi objek perubahan, tetapi juga subjek yang mampu merancang dan memimpin perubahan.

Perjuangan kesetaraan tidak dapat hanya berhenti pada level internal organisasi. Ia menekankan pentingnya pengarusutamaan gender (gender mainstreaming), sebuah konsep yang ia artikan sebagai upaya sistematis untuk memastikan perspektif gender terintegrasi dalam seluruh kebijakan, program, dan aktivitas. Dalam konteks Kohati, ini berarti perjuangan perempuan tidak hanya fokus pada isu “domestik” atau terbatas pada “masalah Keperempuanan” saja, tetapi harus menjadi bagian integral dari seluruh agenda HMI.

Di sisi lain, partisipasi kader laki-laki dalam mendukung isu gender menjadi langkah penting dalam menghapus batas-batas tradisional. Keterlibatan laki-laki bukan hanya soal solidaritas simbolik, tetapi kontribusi nyata untuk menciptakan ekosistem organisasi yang menghargai kesetaraan dan inklusivitas. Misalnya, dalam program-program bersama HMI, keterlibatan laki-laki dalam mentoring, diskusi, dan advokasi isu perempuan membuka ruang dialog yang konstruktif. Ini sekaligus menjadi pendidikan politik dan sosial bagi laki-laki, agar mereka memahami bahwa perjuangan keadilan gender bukan “perkara perempuan semata,” melainkan tanggung jawab bersama.

Refleksi Tantangan dan Batas yang Masih Ada

Refleksi Milad saat ini menuntut kita untuk melakukan dekonstruksi terhadap peran tradisional Kohati. “Menghapus Batas” dapat diartikan sebagai upaya untuk memecah dikotomi gender yang memisahkan ranah perjuangan laki-laki dan perempuan. Kohati harus mampu mengarusutamakan isu-isu gender ke dalam setiap agenda perjuangan HMI, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hingga keilmuan. Dengan demikian, isu gender menjadi bagian integral dari perjuangan HMI secara keseluruhan, bukan sekadar agenda terpisah.

Stereotip gender masih mempengaruhi pembagian peran dan persepsi terhadap kapasitas kader perempuan. Meskipun perempuan telah menunjukkan kepemimpinan yang kompeten, masih terdapat resistensi budaya yang membatasi ruang gerak mereka. Selain itu norma sosial masih mempertahankan pandangan tradisional tentang peran perempuan terlihat jelas pada pemisahan agenda perempuan dan laki-laki. Tantangan ini membuka persepsi baru bahwa penerapan prinsip inklusivitas penting untuk diterapkan

“Menemukan Arah Baru”

Menempatkan Kohati sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) yang proaktif. Dalam konteks sosiologis, ini berarti Kohati harus mengidentifikasi dan merespons tantangan-tantangan sosial kontemporer yang relevan dengan gender, seperti ketidaksetaraan upah, kekerasan siber berbasis gender, dan partisipasi perempuan di sektor teknologi. Arah baru ini menuntut Kohati untuk berinteraksi dengan berbagai struktur sosial dan jaringan aktor di luar HMI, baik itu lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, maupun komunitas-komunitas lainnya.

Sejalan dengan teori interseksionalitas, yang mengakui bahwa pengalaman perempuan tidaklah tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor identitas lain seperti kelas sosial, etnis, dan agama. Oleh karena itu, perjuangan Kohati harus inklusif dan peka terhadap berbagai bentuk marginalisasi. Milad ini menjadi momen untuk mengkaji ulang bagaimana Kohati dapat menjadi motor penggerak yang tidak hanya memperjuangkan kesetaraan gender di internal HMI, tetapi juga berkontribusi secara signifikan pada pembentukan masyarakat yang lebih adil dan setara. (*)