(Refleksi Hari Ibu, 22 Desember 2025)
Oleh: Ekklesia Hulahi
_________________
“Peradaban yang kuat selalu berakar pada peran ibu, karena dari sanalah lahir manusia yang beretika, berbudaya, dan berpengetahuan”. (Durkheim, 1912)
IBU menempati posisi sentral dalam pembentukan peradaban manusia. Berbagai diskursus tentang ibu dalam masyarakat modern kerap terjebak dalam narasi normatif yang memuliakan peran keibuan, namun pada saat yang sama menutup relasi kuasa, ketimpangan gender, dan beban struktural yang menyertainya. Ibu sering diposisikan sebagai fondasi moral dan budaya tanpa diiringi pengakuan atas kerja reproduktif dan afektif yang bersifat tidak dibayar, tidak terlihat, dan kurang dihargai dalam sistem ekonomi dan kebijakan publik. Perspektif feminis mengkritisi kecenderungan ini dengan menegaskan bahwa peran ibu bukanlah kodrat biologis semata, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk oleh relasi kuasa patriarkal dan struktur ekonomi politik ( Federici, 2012).
Teori feminisme radikal dan sosialis menunjukkan bahwa domestifikasi peran ibu berfungsi sebagai mekanisme reproduksi ketimpangan gender. Kerja pengasuhan, pendidikan moral, dan pelestarian budaya. Meskipun menjadi fondasi keberlanjutan masyarakat sering direduksi sebagai tugas alami perempuan, sehingga dikeluarkan dari ranah pengakuan ekonomi dan politik (Delphy, 1984). Dalam konteks ini, ibu tidak hanya menjadi agen pembentuk moral dan pendidikan, tetapi sekaligus menjadi kelompok yang paling tereksploitasi secara struktural. Feminisme menuntut pembacaan ulang terhadap peran ibu sebagai kerja sosial yang bernilai ekonomi dan memiliki implikasi langsung terhadap pembangunan manusia.
Feminisme kultural dan poststruktural menyoroti bagaimana narasi keibuan diproduksi dan direproduksi melalui bahasa, kebijakan, dan institusi pendidikan. Konsep ibu ideal sering kali menjadi alat disipliner yang mengontrol tubuh, waktu, dan pilihan hidup perempuan, sekaligus membebaskan negara dan pasar dari tanggung jawab sosialnya. Dalam kerangka ini, ibu diposisikan sebagai penyangga terakhir krisis sosial mulai dari kemiskinan, degradasi moral, hingga kegagalan sistem pendidikan tanpa disertai redistribusi sumber daya yang adil.
Namun demikian, pendekatan feminis tidak menafikan peran strategis ibu dalam pembentukan moral, budaya, dan pendidikan. Sebaliknya, feminisme berupaya merekonstruksi makna keibuan sebagai praktik sosial yang politis dan transformatif. Nancy Fraser (2013) menegaskan bahwa keadilan gender hanya dapat dicapai melalui pengakuan (recognition), redistribusi (redistribution), dan representasi (representation). Dalam konteks ini, peran ibu harus dipahami sebagai kerja sosial bernilai tinggi yang menuntut dukungan kebijakan, pengakuan institusional, dan partisipasi setara dalam ruang publik.
Dalam masyarakat berkembang, termasuk Indonesia, pendekatan feminis menjadi semakin relevan ketika peran ibu dihadapkan pada tekanan ganda: tuntutan ekonomi pasar dan ekspektasi domestik yang rigid. Globalisasi dan neoliberalisme sering kali memanfaatkan peran keibuan sebagai jaring pengaman sosial informal, sementara negara menarik diri dari tanggung jawab kesejahteraan (Federici, 2012). Kondisi ini menunjukkan bahwa membicarakan ibu sebagai fondasi moral, budaya, dan pendidikan tanpa analisis feminis berisiko melanggengkan ketidakadilan struktural.
Ibu sebagai Fondasi Moral
Ibu berperan sebagai aktor utama dalam tahap awal ketika individu pertama kali belajar tentang norma, nilai, dan perilaku yang diterima dalam masyarakat (Berger & Luckmann, 1966). Melalui praktik pengasuhan sehari-hari, ibu menanamkan nilai kejujuran, empati, tanggung jawab, dan disiplin yang menjadi dasar moral individu. Etika kepedulian yang diperkenalkan oleh Gilligan (1982) menegaskan bahwa relasi emosional yang dibangun ibu dengan anak membentuk orientasi moral berbasis empati dan tanggung jawab sosial, berbeda dari pendekatan moral yang semata-mata rasional dan legalistik. Kelekatan yang aman antara ibu dan anak berkontribusi signifikan terhadap perkembangan moral dan kontrol diri anak di kemudian hari. Dengan demikian, peran ibu dalam membangun fondasi moral bukanlah proses alamiah semata, melainkan praktik sosial yang memiliki implikasi struktural bagi ketertiban dan kohesi sosial.
Ibu sebagai Penjaga dan Pewaris Budaya
Selain moral, ibu berfungsi sebagai penjaga dan pewaris budaya (cultural transmitter). Melalui bahasa, tradisi, cerita rakyat, praktik keagamaan, dan kebiasaan sehari-hari, ibu mentransmisikan identitas budaya kepada generasi berikutnya. Dalam antropologi budaya, proses ini dipahami sebagai enkulturasi yaitu internalisasi nilai dan symbol budaya ke dalam diri diri individu sejak usia dini (Geertz, 1973). Ibu memainkan peran penting dalam menjaga keberlanjutan nilai-nilai adat, etika komunal, dan kearifan lokal. Praktik ini sering kali berlangsung secara informal, namun memiliki kekuatan ideologis yang besar dalam membentuk identitas kolektif dan resistensi budaya terhadap homogenisasi global (Bourdieu,1990). Dengan demikian, ibu tidak hanya mereproduksi budaya, tetapi juga menjadi aktor strategis dalam mempertahankan keberagaman dan keberlanjutan peradaban.
Ibu sebagai Fondasi Pendidikan
Dalam ranah pendidikan, ibu merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak. Konsep pendidikan sepanjang hayat menempatkan keluarga sebagai institusi pendidikan paling awal dan fundamental, di mana ibu berperan dominan dalam membangun minat belajar, kebiasaan membaca, serta sikap terhadap pengetahuan (UNESCO, 2015). Hal ini menegaskan bahwa modal sosial dalam keluarga, termasuk keterlibatan ibu dalam pendidikan anak, berpengaruh langsung terhadap prestasi akademik dan mobilitas sosial.
Pendekatan ekologi perkembangan manusia menunjukkan bahwa kualitas interaksi ibu dan anak dalam mikrosistem keluarga memengaruhi kemampuan kognitif, afektif, dan sosial anak. Ibu yang memiliki literasi pendidikan dan kesadaran pedagogis cenderung menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang pada gilirannya berkontribusi pada pembentukan generasi yang kritis dan berdaya saing. Meskipun peran ibu sangat fundamental, realitas sosial menunjukkan adanya beban ganda dan ketimpangan struktural yang dihadapi ibu, terutama dalam konteks modern dan pembangunan ekonomi. Feminist political economy menyoroti bahwa kerja perawatan yang dilakukan ibu sering kali tidak diakui secara ekonomi dan kebijakan, meskipun kontribusinya sangat besar terhadap reproduksi sosial dan pembangunan manusia (Folbre, 2001). Kondisi ini berpotensi melemahkan kapasitas ibu dalam menjalankan peran moral, budaya, dan pendidikan secara optimal.
Namun, melalui peran sebagai agen sosialisasi primer, pewaris budaya, dan pendidik pertama, ibu membentuk karakter individu sekaligus struktur sosial dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pengakuan terhadap peran ibu tidak cukup berhenti pada ranah simbolik, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan publik, sistem pendidikan, dan tata kelola sosial yang mendukung kesejahteraan serta pemberdayaan ibu. Investasi pada ibu pada hakikatnya adalah investasi pada masa depan peradaban. (*)












