Oleh: Basri Amin
ENTAH di kota (pulau) Ternate atau di Maracana, Rio de Janeiro, fanatisme akan selalu ada. Ia adalah sebuah pengidolaan yang mengikat. Melalui itulah legenda dan karakter para bintang dipercakapkan. Kegirangan bersama atas kemenangan adalah sesembahan musiman. Taktik demi taktik dipelajari secanggih mungkin. Reputasi klub dan negara dielukan. Kemegahan stadion menjadi penanda (martabat) kota dan bangsa. Harga pemain menjadi taruhan. Brutalisme sesekali menyertai sejarahnya. Begitulah dunia bola merasuki kultur masyarakat manusia. Argentina memenangkan Copa Amerika (Ahad, 11/7/21) sementara Inggris dan Italia bertarung meraih supremasi Euro 2020/2021 di Wembley (12/7/21).
Di Italia, “bola adalah agama”. Ia berfungsi sejenis “agama sipil” yang terterima secara nasional. Kendati dirasa berlebihan bagi bangsa-bangsa lain, tapi sejak 1960an kebesaran sebuah tim bola di Italia diagung-agungkan. Klub sebesar Inter misalnya, di awal kehebatannya, disebut-sebut sebagai klub yang “disentuh dengan tangan Tuhan”. Tak heran kalau perkembangan bahasa bola Italia pun berkembang sedemikian rupa dengan terma-terma agama, semisal “penyelamatan” (la salvezza), atau “keajaiban” (miracolo), atau fanatisme penonton/fans (la fede).
Kehadiran media pendukung pun tak kalah hebatnya. Bisa dibayangkan klub terbesar Italia, AC Milan, mempunyai banyak media di beberapa kota, antara lain di Milan sendiri dengan Gazzetta dello Sport atau di Roma dengan Corriera dello Sport, juga didukung oleh Tuttosport di Turin. Sebaran tabloid-tabloid ini sejak dulu bisa ditemukan di kantor-kantor pemerintah, di bar-bar dan di tempat-tempat gunting rambut di lorong-lorong kecil di Catania. Pembacanya jutaan di seluruh Italia. Selain itu, kehadiran Radio (Tutto il Calcio) juga tak kalah sengitnya menyiarkan setiap menit perkembangan bola Italia, terutama di musim Liga. Cerita demi cerita bola sedemikian rupa didramatisasi kepada publik.
Tapi, di balik ini semua adalah tentang “akar bola” yang tumbuh-bergerak dari dalam keseharian masyarakat Italia itu sendiri. Kebesaran klub Juventus misalnya, tak lepas dari kepemilikan dan penyelenggaraan awal dari sebuah keluarga kaya Agnelli sejak pertengahan 1930an. Juventus kemudian terus membesar di era 1950an dan jatuh-bangun sejarahnya terus-menerus hingga hari ini. Berkembangnya industri di Turin dan meluasnya kelas pekerja yang datang dari berbagai kota, termasuk dari kepulauan Sicily dan Sardinia, kemudian membesarkan Juventus sebagai klub yang “menyatukan” kelas-kelas sosial yang mentransformasi dan membesarkan kota Turin hingga akhirnya Juventus menjadi kebanggaan (nasional) Italia. Di kemudian hari, karakter Juventus semakin nyata: “bermain sederhana, serius, tenang”.
Tak lama setelah itu, di periode 1960an, di kota Milan –kota yang dikenal sebagai ‘pusat moral’-nya Italia–, juga berkat perkembangan industrinya, akhirnya Milan berubah menjadi nama klub (kota) bola yang besar. Mereka pun menempa karakternya sendiri yang berhasil memadu seni bermain dengan kemampuan teknik-defensif yang hebat (catenaccio). Bagi kita di Indonesia, adalah cukup mudah menyaksikan bagaimana kedua klub bola Italia ini (Milan dan Juventus) membentuk fans fanatiknya di Indonesia. Logo Juve dan Milan cukup sering terlihat di kendaraan, di rumah-rumah, atau di ruang-ruang lain yang menegaskan koneksi (emosi) perbolaan itu.
Sejarah bola bisa ditemukan jauh ke belakang, di abad lampau di era Dinasti Han di Tiongkok. Dikenal dengan permainan CuJu. Di Jepang, sejak abad ke-12 dikenal permainan Kemari. Popularitas Kemari berlangsung sangat lama sampai di periode Tokugawa (1868). Di masyarakat Melayu, Sepak Raga adalah permainan yang terkenal di banyak komunitas Melayu di Sulawesi atau di Sumatera. Di kemudian hari, pengaruh bahasa Thai melengkapi penamaannya: Sepak Takraw. Di Eropa sendiri, di Inggris terutama, sejak pertengahan abad ke-19, sepak bola (football/soccer) adalah permainan yang secara formal masuk di kurikulum sekolah. Di Perancis, sejak Abad Pertengahan, mereka mengenal permainan bola, Soule. Demikian pula di Amerika Tengah, bola merupakan bagian dari ritual. Di Florence (Italia), permainan bola dikenal dengan nama Calcio. Masyarakat Skotlandia dan Inggris memainkan bola di desa-desa. Adapun bola modern yang mengenal asosiasi dan aturan-aturan khusus nanti diperkenalkan di Inggris sejak akhir abad ke-19, bermula dari Cambridge dan Harrovian pada tahun 1863 (Amstrong & Giulianotti, 1999; Goldblatt, 2006).
Sampai akhir abad ke-19, permainan bola lebih banyak menyedot perhatian dan heroisme di kawasan-kawasan urban di Inggris di mana “kelas pekerja” (working class) secara dominan membutuhkan bola sebagai “penyatu identitas” mereka. Di balik heroisme permainan bola tertanam sebuah kebanggaan komunitas dan etos kerja (bersama) yang mewadahi kolektivitas kelas-pekerja yang intens menegaskan politik-komunitasnya di setiap kota yang berkembang industrinya. Dengan itulah klub-klub bola membesar di Inggris, sebagai wadah kebanggaan lokal di setiap kotanya. Lama kelamaan menjadi sesuatu yang melembaga, berbasis bisnis, kepemilikan dan organisasi klub, bahkan melahirkan elitisme (bisnis) baru di antara pemain ternama dan keriangan-permainan-tontonan yang dipicu oleh kebanggaan klub, organisasi fans, kemegahan stadion dan media.
Saya membaca semua keterangan ini melalui karya-karya akademis ilmuan Barat. Mereka rupanya telah lama menjadikan bola sebagai subject matter keilmuan yang menantang. Karya populer di bidang ini, seperti kajian David Goldblatt (2006), The Ball is Round: A Global History of Football, adalah bacaan utama saya. Buku setebal 991 halaman ini membahas demikian luas tentang bola di dunia. Kebetulan saja saya menemukannya pada 28 Maret 2009 seharga 25 Euro di toko buku De Slegte di Den Haag.
Ketika bola mencapai globalitasnya seperti saat ini, hampir semua negara menjadikan bola sebagai simbolisme (baru) bagi kebangsaannya di panggung dunia. Kendati ada pengecualian bagi Australia, Amerika, India, dan beberapa negara lain. Dari sisi estetika, gaya permainan, talenta pemain, dan taktik bola akan terus berkembang. Yang menang dan yang kalah pun pasti saling-melawan di setiap musim. Yang tidak pernah berubah adalah “bentuk” dari bola itu sendiri. Ia punya ke-abadi-annya sendiri. Ia adalah “pusat” dari permainan. Dengan itulah manusia menegaskan diri kolektifnya sebagai “makhluk bermain” (Homo Ludens), menurut karya seminal pemikir Belanda, Johan Huizinga (1949 [1970]). Makanya, marilah terus bermain dan mempermainkan sesuatu.***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
E-mail: basriamin@gmail.com