Opini  

Pemimpin “Perahu” di Sulawesi

Oleh: Basri Amin

____

KEJAYAAN Sulawesi sekian abad antara lain karena berhasil melahirkan perluasan niaga, perjumpaan kuasa dan perlintasan manusia, pengetahuan, praktik hidup, dan komoditi antar pulau. Tak hanya di Nusantara, tapi juga meluas sampai di Asia Tenggara. Gejala sukses ini merupakan fondasi bagi lahirnya tradisi “Kapitan Perahu” (Kleden, 2001:46-47).

Karakter pokok “pemimpin perahu” adalah wujud kepemimpinan yang “tidak ditentukan dari atas…” Ia harus benar-benar teruji kemampuannya seiring waktu mengingat resiko yang dihadapi demikian besar. Ia juga harus sangat adaptif dan bersedia mengoreksi setiap keputusan di waktu yang tepat, tanpa bimbang dan berunding lama-lama –karena gelombang dan topan berubah dan datang setiap saat–.

Ia juga harus berpengalaman membaca tanda-tanda musim/alam dan kondisi/kapasitas awak-anak buahnya. Prinsip tanggung jawab dan “sumpah Jabatan” amatlah utama. Dalam kondisi bahaya, pegangannya adalah: “ia tetap setia berada di perahunya sampai penumpang dan awak perahunya yang terakhir telah beroleh kesempatan menyelamatkan diri…”

Kepemimpinan “perahu” terbukti sukses melahirkan narasi besar negeri ini. Jaringan niaga di Kawasan Timur Indonesia adalah bagian dari simpul-simpul perubahan besar yang menghubungkan Asia Tenggara dan Eropa di satu sisi, sementara kelompok niaga yang lain yang berasal dari China, Arab, dan India di sisi lain juga melangsungkan hubungan-hubungan intensif dengan kerajaan-kerajaan utama di Nusantara sejak abad ke-17, bahkan jaringan niaga itu sudah terjadi berabad-abad sebelumnya di beberapa kota pelabuhan di Nusantara (Hall, 1975; Reid, 1992; Clarence-Smith, 1998; Amal, 2002; Wirawan, 2013).

Ketika Belanda berkuasa, kontrol terhadap niaga laut membesar. Perhatian pemerintah kolonial di kawasan Teluk Tomini misalnya makin terlihat sejak tahun 1893. Pengawasan dilangsungkan lebih intensif. Ini berlaku sejak dari Moutong sampai di Tojo. Sejumlah penguasaan usaha-usaha dagang dilakukan untuk mengontrol sirkulasi komoditi di kawasan ini. Secara internal, sejumlah kerajaan kecil di Teluk Tomini kemudian membentuk “federasi” di mana posisi Moutong menjadi pusatnya. Di masa itu, posisi penguasaan pelaut-peniaga Mandar sangat fenomenal di Teluk Tomini. Mereka bahkan mempunyai koloni sendiri yang cukup luas. Karena itulah maka di tahun yang sama (1893), didirikan pula pos pengawas (polisi) yang ditempatkan di Parigi (DeKlreck, 1975: 460).

Di awal abad ke-20, sampai tahun 1940an, tercatat tiga belas pelabuhan aktif yang menopang ekonomi kopra dan mobilitas penduduk di kawasan ini, yaitu: Manado, Amurang, Inobonto, Tagulandang, Ulu-Siau, Tahuna, Tamako, Petta, Gorontalo, Kwandang, Poso, Toli-Toli, Donggala dan Palu. Meski demikian, terdapat sejumlah pelabuhan rakyat yang juga aktif beroperasi di pesisir selatan (Teluk Tomini). Di wilayah Gorontalo, tercatat misalnya pelabuhan di Bumbulan (Paguat) dan Tilamuta.

Peran pelabuhan pengumpul sangat sentral adanya dan melalui kekuatan pelabuhan tersebutlah arus pengapalan dan volume ekspor dari wilayah utara Sulawesi berkembang pesat. Di setiap pelabuhan ini, pergudangan kopra memainkan fungsinya yang sangat krusial, agar kualitas kopra terjaga baik. Beberapa gudang kopra terkenal, antara lain beroperasi di: Tahuna, Manado, Bitung, Kema, Kotabunan, Amurang, Inobonto, Kwandang, Gorontalo, Toli-Toli, Donggala dan Poso.

Ketika konsolidasi ekonomi kopra menempatkan Sulawesi sebagai pusat keunggulan ekspornya sampai akhir 1950an, perusahaan-perusahaan perkapalan menyebar di sejumlah wilayah, termasuk di antaranya berupa pengembangan usaha ekspedisi yang digerakkan oleh pengusaha pribumi atau gabungan pengusaha yang berpengaruh. Sebagiannya juga merupakan perusahaan perkapalan yang sudah berdiri sejak akhir 1940an tapi kemudian menambah armada-armadanya dengan pola ekspansi yang terus meluas sampai ke Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Meski demikian, “sejarah kopra” pada akhirnya bersentuhan dengan politik regional dan formasi kekuasaan negara dan relasinya dengan pergolakan daerah di Sulawesi (Harvey, 1984; Asba, 2007).

Industri kapal juga penting dicatat. Bagaimanapun, industri pembuatan kapal tradisional yang sekian abad menopang mobilitas pelaut-peniaga di kawasan Sulawesi mengalami penyempitan ruang ekonomi sejak pertengahan abad ke-20. Hal ini terjadi karena ketersediaan material (kayu) yang semakin terbatas dan perluasan industri perkapalan yang dominan menggunakan material fiber yang berkembang di kota-kota pelabuhan besar di Indonesia (Makassar, Surabaya, dst). Di Gorontalo sendiri, kayu-kayu utama pembuatan kapal (Kayu) kebanyakan diperoleh dari Kepulauan Togean. Sampai akhir 1990an ketersediaan kayu yang kuat dijadikan “Mama Perahu” masih bisa dibeli setiap saat, terutama kayu berjenis Deho, Cempaka, dan Gopasa. Kayu kelas terbaik untuk perahu adalah kayu Gopasa. Biasanya bisa diperoleh di Katambuan (Togean).

Sebenarnya, reputasi industri perkapalan (perahu) di Indonesia Timur mempunyai jejak sejarah yang panjang, setidaknya sampai tahun 1850an, terutama di wilayah Makassar. Tantangan besar terjadi sejak KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) mulai beroperasi tahun 1891 dan intensif mengendalikan pelayaran di luar Jawa (the Outer Islands). Sejajar dengan reputasi ini, jaringan usaha perkapalan di Surabaya dan Jakarta (Sunda Kelapa) sangat besar pengaruhnya terhadap jaringan perniagaan di wilayah Timur Indonesia hal mana meliputi Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Maluku, Flores, Timor, dan Sumbawa.

Laporan Belanda mencatat sampai tahun 1935 jumlah perahu sebanyak 5.020 hal mana lebih 60% terdaftar di Sulawesi, Jawa Timur dan Madura. Angka ini masih mengalami peningkatan sampai pertengahan 1950an sebanyak 7.610 perahu. Keterlibatan kelompok etnis memang tampak pada lima komunitas yang terkenal sebagai “pelaut-peniaga”, yaitu Bugis, Makassar, Mandar, Buton dan Madura (Dick, 1975; 1987).

Meski demikian, reputasi pelau-pelaut Makassar dan Bugis memang tercatat sejak awal, terutama karena ekspansi niaga dan jaringan etnis mereka di banyak lokasi di Nusantara. Untuk masa yang cukup lama, perdagangan kayu dikuasai oleh mereka, dengan jangkauan niaga yang luas (jalur Surabaya-Makassar dan Surabaya-Banjarmasin). Meski demikian, pada akhir abad ke-18, kekuatan maritim Makassar sempat merosot tapi kemudian digantikan oleh pelaut-peniaga Bugis, dimana kekuatan mereka terkonsolidasi dari Teluk Bone, demikian juga untuk perahu-perahu sedang dan kecil lebih banyak beroperasi dari pelabuhan Pare-Pare dan Teluk Mandar. Dalam konteks ini, pelaut-peniaga dari Mandar tercatat sangat signifikan (menguasai) jalur-jalur perdagangan di laut Sulawesi dan di Teluk Tomini. Penguasaannya pada musim niaga tertentu bahkan menjangkau pantai Barat Sumatera, Maluku, dan Singapore. Reputasi Mandar mengalami kemunduran signifikan sejak 1930an, bersamaan dengan ekspansi kapal uap (buatan) Eropa dan Jepang (Dick, 1975). Dengan demikian, jiwa-jiwa perahu dan peniaga-pelaut tetaplah mengajarkan kita tentang pasang-surut sebuah kejayaan. Dengan itulah pula negeri ini sewajarnya menapaki jiwa merdekanya dengan otentik.***

* Penulis adalah Ketua Bidang SDM dan Budaya Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Gorontalo.

* Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo. Pos-El: basriamin@gmail.com