Opini  

Orang-Orang Kampus

Oleh: Basri Amin

 

Mereka adalah para pengabdi pengetahuan. Mereka sadar bahwa pendidikan adalah invensi yang tak kenal henti. Mereka yang selalu memekarkan ide-ide dan perlintasan penemuan. Di kampus, tak ada kompromi bagi plagiasi dan manipulasi –dalam bentuk apa pun! Di kampus, kebenaran harus ditegakkan marwahnya setiap saat. Karena itu, Kampus terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada seorang rektor, pemilik jabatan, dan kapital.

Jangan sampai, kita tak menemukan cahaya ilmu dan obor moral di puncak ketinggian universitas…Jangan sampai!

Beberapa waktu lalu saya menemukan kembali dokumen lama di Lib.of Hale-Hepu, sebuah penggalan notes dan copy-an artikel (17/6/1975) di harian Kompas oleh intelektual terkemuka Indonesia, Dr. Daniel Dhakidae (alm). Judulnya: Hitamnya Toga Sarjana dalam Selimut Kabut Realitas – Kenanganku Beruniversitas.

Artikel ini ditulis tak lama setelah diwisuda sarjana dari UGM, Yogyakarta, 7 Mei 1975. Di sini saya kutipkan beberapa baris saja dari dua halaman artikel bang Daniel tersebut –yang rasanya masih relevan sampai hari ini–: “kemampuan untuk mempersoalkan sesuatu juga menuntut suatu pengetahuan lainnya yang semestinya senantiasa dipupuk dan dibiasakan dalam setiap policy pendidikan dalam Universitas, yaitu  sistem pengetahuan yang integral dan komprehensif”.

Tak lama berselang, saya juga menemukan dokumen penting yang lain: sebuah Pidato Ilmiah seorang mahaguru pada 24 September 1998 di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado. Beliau adalah Prof.J.W.P Mandagi. Lulusan Univ. of Minnesota, USA. Saya masih ingat bagaimana ikut antri di auditorium di hari itu dan amat bahagia karena beroleh kopian pidato dan menyimak orasi ilmiahnya yang berwibawa, dengan judul: Perilaku Petani Subsisten: Kepekaan Terhadap Inovasi Teknologi dan Ketahanannya Terhadap Goncangan Ekonomi.

Tentu saya tak paham seluruh pidatonya, tapi ada dua baris kalimat yang amat tegas dalam pidato Prof. Mandagi. Kata beliau: “…banyak orang yang hanya mencintai jabatan tetapi tidak menyintai pekerjaan dalam jabatan itu”.

Ilmu yang jernih, pemimpin yang otentik dan orang pintar yang benar, tak lahir setiap saat dan hadir di setiap tempat. Kini ledakan data dan informasi di sumber-sumber online sangat jelas memaksa dunia pendidikan tinggi menentukan otoritasnya yang tepat. Bahwa apa yang yang selama ini aman-aman saja dalam genggamannya kini semakin goyah. Masyarakat bisa menemukan “informasi” dan “ilmu” di mana saja. Dunia maya juga sukses menampilkan “guru” yang tak terkira jumlahnya. Kini begitu mudah menemukan artikel dan lecture terbaik di dunia, di Youtube, dst.

Virtualitas mengepung kita. Homo Academicus menjadi bukan siapa-siapa, jika hanya diukur dengan pola lama. Mereka tak lebih daripada pekerja yang tanggung atau yang tengah “menunggu” untuk disebut pengangguran yang sibuk. Mereka hanya bisa bertahan di ruang-ruang kelas karena memang ada jadwal ‘mengajar’ yang sifatnya rutin. Tetapi daya tahan mereka semakin hari terasa semakin rentan. Tak jarang, ada semacam ‘perlombaan’ antara guru dan murid karena begitu cepat dan meluasnya (akses) pengetahuan yang tersedia.

Yang tersisa adalah karakter dan kompetensi. Dengan itulah, “ruang belajar” yang otentik tidak punah dan perjumpaan antara Guru dan Murid tetap dibutuhkan dalam peradaban manusia. Selalu ada perihal yang “tersembunyi” yang ditemukan oleh Guru sejati. Begitupula selalu muncul beragam potensi dan intensi yang “terungkap” dari diri murid sejati. Keduanya terikat dalam ikatan moral yang sama: setia meyakini daya cipta manusia sebagai makhluk belajar. Di baliknya, berdenyut keras pencarian hal-hal baru. Etos menjelajah batas-batas akhir peradaban manusia dirayakan.

Antara Guru dan Murid, keduanya terlibat dalam kehangatan yang penuh tensi karena memuliakan imajinasi manusia yang melintasi kelampauan dan kekinian. Keduanya juga kokoh pendirian bergumul dengan partikularitas tertentu demi pencarian kebaruan dalam beragam formulasi dan solusi. Mereka gigih membela abstraksi di tengah-tengah konflik dan kontradiksi di setiap bidang ilmu masing-masing. Tegasnya, ada “kemerdekaan” yang mekar-bertumpu pada kejujuran akal budi dan persistensi moral dalam meraih sesuatu: menjawab pertanyaan, menguji praduga dan pengembangan, menemukan sintesa dan pola-pola percobaan, dan memastikan prototipe, dst.

Tata-kelola pendidikan tinggi akan mengalami goncangan serius, terutama ketika praktik birokrasi pendidikan (makin) berpusat kepada administrasi dan bukan kepada aspirasi. Sebagai akibatnya, kita tidak mempunyai deteksi dini yang gesit dan tolok ukur yang terbuka dalam pergumulan akademis yang sebenarnya di mana jalur-jalur komunikasi yang terbentuk berupa pembahasan kritis yang teruji.

Dengan begitu, di setiap tingkatan, karakter leadership yang terbangun bukan berupa pengelompokan jabatan dan/atau penunggalan tema –-atas nama jargon dan program— tetapi lebih kepada perwujudan misi besar kita “memuliakan ilmu pengetahuan” di tengah-tengah masyarakat dan  demi “mencerdaskan kehidupan” bangsa. Sudah tentu, penekanan yang sifatnya saintifik dibutuhkan di setiap kawasan, institusi dan disiplin, tetapi itu semua bukan berupa propaganda periodik yang dirancang untuk ‘mengharumkan’ seseorang dan jabatannya.

Tradisi pendidikan tinggi di negeri kita belum sekokoh bangsa-bangsa lain. Tetapi, mari jangan dengan enteng mencontoh Barat. Di Asia Tenggara saja, kita pun masih harus bercermin banyak dengan tetangga. Tapi kita patut bersyukur bahwa negeri ini selalu memiliki teladan-teladan tangguh di bidangnya masing-masing. Selalu ada institusi yang konsisten bertaruh demi masa depan. Kita adalah bangsa bermanusia unggul, bukan sebuah negeri umbul-umbul yang heroik di permukaan tapi mudah sobek dan putus dengan hembusan angin.

Kecendekiaan dan marwah keilmuan dijaga oleh academicus. Meski mereka tetap tak bisa menghindari pembelahan-pembelahan yang men-strukturisasi diri mereka sendiri (karier, reputasi, kapital dan kuasa, otoritas dan obsesi struktural, dst) tapi mereka terikat dalam amanah yang satu: mengembangkan pengetahuan ilmiah; membangun kewargaan dunia yang humanis dan berkelanjutan. Di titik itulah komitmennya senantiasa diuji dan dedikasi kariernya dipertaruhkan.

Bagi yang bekerja di perguruan tinggi, jejak akademis mereka dengan mudah kita telaah dan uji otentisitasnya. Gelar-gelar (akademis) adalah deretan “huruf” yang (mencoba) memantulkan kapasitas tertentu, tetapi ia bukan susunan “kasta” yang otomatis bertahan, terakui dan terbawa (kepantasannya) sepanjang hayat kita. Demikian pula jejak (pencapaian) akademis tak hanya tampak melalui kajian-kajian tertulis para academicus sepanjang mereka berkarier di pelbagai ruang akademis, tetapi juga di forum-forum dan media publik, dan tentu saja –ini bahkan yang utama–: di ruang-ruang kelas dan di hadapan murid-murid dewasanya. Di ruang itulah semua, keterhandalan gagasan dan kelurusan argumentasi bisa dipastikan konsistensinya.

Begitulah proses-panjang ujian ke-sarjana-an yang sebenarnya; sebuah wisuda yang “tidak selesai” di detik-detik penyerahan ijazah di hadapan para ‘pejabat kampus’ yang berjejer, terus berlanjut berfose di depan rak buku-buku artifisial. Sebuah wisuda sejati adalah pertaruhan kompetensi dengan visi keilmuan “Toga yang longgar” (bersikap lapang-terbuka; outward-looking), dengan “topi bulat/bersegi” (inteleksi yang multi perspektif; bulat-utuh dalam ketinggian penalaran dan persistensi etik dan sikap), dst.

Di negeri kita, etos kesarjanaan yang kokoh-bertaruh dengan kebenaran masih sering rontok oleh konsesi jabatan, fasilitas dan komposisi suara di arena pemilihan. Yang banyak terjadi adalah penunggalan dan penokohan kepada figur. Tak heran kalau masih sering terasa bagaimana kedangkalan akademis dibungkus sedemikian rupa dengan selebrasi acara dan publikasi foto-foto. Jubah-jubah kesarjanaan yang hipokrit lebih sering menutupi cahaya ilmu karena asesori-asesori kuasa dan dandanan aparatusnya. Tak heran kalau mimbar-mimbar pendidikan kita –yang dibiayai mahal atas nama perayaan “sukses” bersekolah tinggi— lebih sering dipakai sebagai ajang “nasehat”: satu telunjuk kepada audiens tetapi empat jari lainnya justru (kepada) diri sendiri.

Kita tak perlu membaca rinci karya seminal Homo Academicus-nya Pierre Bourdieu (1988) agar paham bagaimana reproduksi kapital yang beragam dan pola-pola (akumulasi) status dan prestise yang terjadi di kalangan akademikus di Perancis, terutama pembelahan-pembelahan yang mereka alami sepanjang sejarahnya (antara Ecole Normale dan Collége de France, dll). Kita cukup membaca esai-esai panjang dalam Studim Generale-nya Prof. Fuad Hasan (1999), pasti akan beroleh gambaran tentang situasi Indonesia pada umumnya. Atau melalui Prof. T. Jacob (Rektor UGM, 1981-1986) dalam kumpulan esainya Beginilah Kondisi Manusia (1995) menyangkut perangai kita “meniru Barat”, antara lain puncaknya ketika kita ber-Toga tanpa dasar penyesuaian dan pemahaman yang cukup. Tak heran kalau murid TK pun ikut-ikutan ber-toga wisuda di negeri ini. Semua adalah gejala “industri kebanggaan” (Jacob, 1995:215).

Adalah penting bagi pejabat-pejabat kampus memaknai posisi etis-akademisnya. Dengan tidak menjaga “disiplin membaca” yang intens, kampus bisa jadi hanya sejenis displai rak-rak literatur tapi kosong tradisi literer. Yang dominan tampak adalah prosedur-prosedur administratif serta parade sambutan dan pidato dari acara ke acara, tapi dengan inspirasi dan vision yang kering dan tak membumi. Yang membumbung adalah daftar nasehat dan puji diri, plus bahasa klise yang ditambal dengan jargon dan istilah hampa makna.

Dengan kepapaan kepada abstraksi dan argumentasi yang teruji-terpelihara, segudang teknologi canggih hanya akan menjadi etalase barang-barang pengadaan “pihak ketiga” atau donasi-donasi pihak luar yang tak menempa daya cipta dan sikap syukur yang mengakar dalam jiwa anak-anak didik kita. Gedung-gedung tinggi yang besar-besar hanya akan mewadahi kepongahan foto-foto, sebaran baliho dan umbul-umbul, jika tak segera diisi dengan rujukan-rujukan berbobot dan percakapan yang memerdekakan cita-cita generasi baru dan kejujuran dalam berilmu pengetahuan. ***

 

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;

Surel: basriamin@gmail.com