Oleh: Basri Amin
____
SAAT ini, manusia cenderung “banyak bicara, tapi tak mampu bercakap yang baik dan benar”. Pesan ini tidak main-main, sebuah peringatan klasik yang saya cuplik dari Samuel Johnson (1752) yang disegarkan kembali oleh Sherry Turkle (2015), seseorang yang menerima medali Harvard Centennial dan fellow di American Academy of Arts and Sciences. Catatan ini hanya mencoba memaknainya dengan pencermatan kekinian kita.
Perhatikanlah! Kini semua bisa tergantikan dengan satu simbol kecil, namanya emoticon. Ia unik, berwarna-warni dan ratusan jumlahnya, tapi ia hanya mencoba mewakili (posisi/keadaan) kita. Melalui itulah percakapan yang melebar, berisi, saling menyimak, cair, dan saling memerkaya dan memastikan sesuatu menjadi sempit dan, pada beberapa kasus, bahkan hilang begitu saja. Ia digulung oleh lipatan-lipatan gambar, terusan-terusan pesan dan terpaan-terpaan ekspresi pribadi yang tak kenal henti. Kita memamah serbuan informasi yang berbasis individu, kejadian, dan kelompok. Adakah yang salah? Terserah Anda!
Informasi tak lagi beroleh ruang media sosial dan menjumpai proses edukasional yang cukup agar warga dunia di setiap lokalitasnya bisa produktif kemanusiaannya. Di sisi ini, proponen yang memihak kepada pencerdasan yang bermakna dengan mudah dilindas oleh teknikalisasi pekerjaan, pengetahuan dan penghidupan. Yang membesar adalah “presentasi diri, bukan refleksi-diri (Turkle, 2015: 81).
Penanda utama dari kemanusiaan kita adalah kapasitas kita dalam “bercakap”. Kenikmatan hidup yang sangat bernilai adalah ketika kita menikmati percakapan. Setiap tatap-muka menyuguhkan kebenaran tertentu: sebuah kebenaran yang tampak dan keyakinan yang terdengar. Sejalan dengan ungkapan lama bahwa “raut muka” tak mungkin bisa dibohongi.
Meski tak mudah memastikan kebohongan hanya dengan menatap-sepintas wajah seseorang, tetapi “wajah” itu sendiri memang mewadahi hadirnya banyak hal; tak hanya kesukacitaan dan kedukanestapaan. Hanya melalui wajah kitalah tawa-bahagia merekah seperti uraian air mata ketika kesedihan mengalir, dst.
Emoticon di media sosial membenarkan variasi dari “kegiatan”, “relasi bendawi” dan “wajah” manusia yang dicoba dipantulkan (ekspresi dan kondisinya) oleh piranti-piranti teknologi komunikasi. Dengan itulah pula teknologi hendak mewakili fakta paling akurat dari apa yang kita rasakan, baik menyangkut orang lain maupun ketika kita menyikapi sesuatu (keadaan atau benda-benda, dst).
Tak jarang, penyikapan yang kita lakukan mengharuskan kita memaksakan sesuatu. Itu sebabnya, di media sosial terutama, keterpaksaan untuk tampil dan penyikapan yang menutupi kebenaran, dengan mudah menjamur dan menjangkiti. Di sisi lain, media sosial juga dipercaya bisa menjadi perpanjangan dari (semua) body-language yang memungkinkan kita mengutarakan kebenaran dan kesalahan. Singkatnya, kita bisa memaksa teknologi seperti ia setiap saat bisa pula memaksa kita. Belum begitu jelas siapakah yang sungguh-sungguh akan menang dalam pertarungan ini. Yang jelas, teknologi (informasi) sudah menyesaki ruang-ruang hidup kita.
Perluasan jaringan (komunikasi) yang tak bertepi membuat kita takluk di hadapan pasar (informasi) yang tak mungkin lagi kita kuasai. Bukan karena semua perkara menjadi “murah” di ujung jemari kita, melainkan karena kita sendiri, barangkali, tak lagi sadar apa arti keuntungan dan kerugian di tengah-tengah gelombang zaman yang memukau ini. Takaran terhadap “harga hidup” bahkan ditentukan oleh (kebebasan) individual yang kita miliki. Tak penting lagi sebuah percakapan langsung dan segar –misalnya melalui percakapan tatap-muka–, karena media sendiri adalah samudera percakapan yang mahaluas di mana Anda bisa menunda, memodifikasi dan mengisi percakapan sesuka Anda.
Teman bercakap terkesan abstrak karena “semua bisa digantikan” oleh teman-teman virtual yang (mampu) memerankan hal serupa dengan teman-teman yang riil. Lagipula, begitu banyak tema yang dengan mudah “dijawab” dan dibahasakan dengan lugas di media maya, tanpa harus janjian dan saling traktir di lokasi tertentu. Karena Anda dan media yang Anda pilih adalah “lokasi” yang membebaskan. Semua adalah riil, pada akhirnya. Tergantung persepsi dan intensi Anda sendiri.
Meski demikian, kita bisa bertanya: benarkah yang kini banyak terjadi di media sosial adalah sebuah “percakapan” yang sesungguhnya? Sebagian mengiyakan, sebagian lagi meragukan. Di antara sebab dari perbedaan ini adalah soal “kehadiran” yang nyata, plus fungsi-fungsi dari tatap muka antar manusia itu sendiri yang tampaknya tidak mudah diantarai oleh media. Di balik itu adalah setumpuk reaksi fisikal dan emosional yang (dirasakan) lebih otentik dan tersaksikan. Tak perlu heran mengapa konser musik dan tabligh akbar tetap laku dan berdampak, padahal artis dan tokohnya dengan mudah didengar dan ditatap di internet. Di sini, aspek jarak, batas, kelangsungan (real-time), ruang terbuka-fisik dan pengakuan, hadir mendasari pemaknaannya.
Intimasi dan pengakuan (defenitif) di antara kita tak mungkin dipungkiri. Terkesan sisi-sisi kecepatan dan kepercayaan dari “diri” kita tak tergantikan oleh wajah-wajah kita di layar-layar media, komputer, dan ponsel. Meski saya tahu bahwa kehadiran teknis bisa dijembatani oleh teknologi –misalnya sistem presensi di kantor-kantor– tetapi tidak dengan “kejujuran kerja” kita sendiri yang sebenarnya. Hadir di sistem tak otomatis hadir-eksis dan berperan di wilayah nyata di mana reaksi yang asli bisa diukur dengan intensitas riil tanpa (berpotensi) tercemar, dilemahkan dan hilang karena (pulsa) data, jaringan internet, listrik, ukuran ‘layar’ dan/atau karena kesibukan WAG dan FB yang bersusun-susun.
Ada sesuatu yang memaksa kita. Bahwa semua urusan dikoneksi oleh teknologi, tampak membantu di permukaan, tapi ia diam-diam “menyedot” banyak energi percakapan kita yang hangat karena desakan informasi. Ada tekanan komunikasi yang melemaskan afeksi kita kepada orang-orang terdekat kita. Dengan sadar, kita semakin terbiasa bahwa kita punya banyak “orang dekat”.
Dalam konteks kontrol waktu, lihatlah bahwa atasan dan kolega Anda begitu dekat setiap saat, sampai-sampai percakapan dan relasi dengan mereka begitu intens dan terbukti berhasil ‘merebut’ banyak ruang dan waktu keseharian Anda. Tidak terkecuali untuk perkara sehari-hari. Kini seseorang cenderung terbiasa memegang dua buah telpon seluler, hal itu merupakan simbol yang diciptakannya sendiri bahwa ada “akses ganda” atas dirinya. Entah karena membelah yang privat/informal dan yang publik/formal, atau karena alasan lain, yang jelas di situ terkandung kehendak “membatasi” arus-arus komunikasi yang melingkupi dirinya. Jika demikian, setiap orang sesungguhnya –secara naluriah– membutuhkan pengaturan dan menikmati pembatasan.
Anda tahu bahwa ada yang berbeda antara “diri Anda” dan “diri (di) Facebook Anda”. Tapi, kata Sherry Turkle dari MIT, “perbedaan yang Anda tahu itu sangat kabur dan semakin sulit menjaga batasnya”…Dengan itu, Anda seperti menyampaikan kebohongan yang sangat kecil dan halus sepanjang waktu. Anda lupa kebenaran karena ia sangat-sangat dekat dengan kebohongan”. Menarik menyaksikannya di alam nyata. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Pos-el: basriamin@gmail.com