Opini  

Korupsi Politik

Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

_____

LORD Acton pernah mengatakan sebuah kalimat yang saya kira akan selalu relevan sampai kapanpun itu. Lord Acton mengatakan bahwa power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely. Maknanya, bahwa kekuasaan itu cenderung merusak, sedangkan kekuasaan yang mutlak (otoritarianisme) sudah pasti merusak.

Oleh karena itu, setiap kekuasaan itu harus diatur dan dibatasi oleh hukum. Itu artinya, pembatasan kekuasaan pada hakikatnya adalah bertujuan untuk mewujudkan tata kelola yang baik dalam sebuah institusi. Di Indonesia, (kecuali kekuasaan legislatif) semua cabang kekuasaan ada masa batasnya. Meskipun demikian, praktik-praktik merusak, khususnya korupsi masih saja merajalela.

Terbaru, KPK menangkap Bupati Probolinggo berinisial PTS dan suaminya yang berinisial HA, yang juga menjadi anggota DPR RI, dan perlu diketahui, sebelum menjadi anggota DPR RI, suami dari Bupati Probolinggo tersebut adalah mantan bupati Probolinggo 2 periode sebelumnya. Artinya selama 4 masa periodesasi kepemimpinan Probolinggo, hanya dikuasai oleh pasangan suami istri.

PTS dan HA sendiri ditangkap oleh KPK atas dugaan kasus suap (korupsi) dalam kasus jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan kabupaten Probolinggo. Fenomena ini menggambarkan realitas dari terjadinya praktik dinasti politik yang kemudian menjelma menjadi praktik korupsi politik. Dinasti politik hampir pasti akan melahirkan korupsi politik, tetapi korupsi politik memang tidak hanya disebabkan oleh praktik dinasti politik. Akarnya adalah pada ongkos politik.

Korupsi politik sendiri merupakan praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik yang dipilih melalui kontestasi politik. Maka dari itu, korupsi politik pada praktiknya seringkali berafiliasi dengan proses kontestasi politik baik terkait dengan kontestasi politik sebelumnya maupun kontestasi politik kedepannya. Praksisnya, adalah dengan melakukan jual-beli jabatan maupun suap proyek.

Praktik korupsi politik pada dasarnya merupakan sarana untuk memobilisasi uang guna mengganti amunisi material yang telah digunakan saat mengikuti kontestasi politik (balik modal) maupun untuk menyiapkan amunisi material guna menghadapi kontestasi politik di depan.

Mahalnya ongkos politik tentu menjadi faktor strategis yang menyebabkan terjadinya korupsi politik. Ongkos politik yang mahal sendiri disebabkan oleh lemahnya peran pendidikan politik dari partai politik, pragmatisme partai politik, lemahnya penegakan hukum dalam kontestasi politik, dan rakyat yang minim edukasi politik.

Ekses Korupsi Politik

Pertama, memperlebar praktik korupsi. Jabatan publik yang didapat dari praktik membeli jabatan (korupsi politik) kemudian akan menjadi causa bagi praktik korupsi turunannya. Misalnya seseorang yang menjadi kepala dinas karena memberi suap kepada bupati. Maka secara logis, si kepala dinas yang minim integritas tersebut saat menjabat akan melakukan usaha-usaha praktik-praktik koruptif dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Kedua, menurunkan kualitas birokrasi. Jika pemilihan pejabat birokrasi tidak didasarkan pada faktor kapasitas, integritas, dan pengalaman, tetapi ditentukan oleh faktor material (suap), maka otomatis pengelolaan birokrasi akan menurun kualitasnya. Karena bukan dikelola oleh orang yang tepat.

Ketiga, menurunkan kepercayaan publik. Praktik korupsi politik seperti jual-beli jabatan di lingkungan ASN akan berimbas pada menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan birokrasi. Hal ini pada titik yang ekstrem dapat menjadi pemicu timbulnya pembangkangan sosial (social disobdiance).***