Oleh: Basri Amin
____
WARGA Gorontalo hari-hari ini tengah menyatukan aspirasinya di tingkat nasional bahwa Prof (Dokter) Saboe sangat layak menjadi Pahlawan Nasional tahun 2021. Jangan ragu, fakta pencapaian dan integritas kejuangan nasional beliau untuk Gorontalo dan negeri ini luar biasa.
Pemilu 1955 mengantarkan Dokter Aloei Saboe untuk (kembali) berkiprah di panggung nasional. Ia terpilih menjadi Anggota Konstituante R.I, sebagai wakil Partai Nasional Indonesia (PNI) dari Gorontalo (Sulawesi Utara). Sebelumnya, dokter Saboe terpilih sebagai ketua PNI Gorontalo tahun 1950. Aloei Saboe dilantik sebagai Anggota Konstituante pada tanggal 20 Mei 1957 di Bandung dengan nomor anggota: 453.
Sejak itulah tugas-tugas kenegaraannya dijalankan, termasuk untuk satu urusan yang amat pelik –dan ini yang terberat dalam karier politiknya sebagai pejuang Nasional–, yakni ketika Dokter Saboe harus aktif memberi “jalan keluar” terhadap pergolakan daerah di Sulawesi dan berkecamuk di kampung halamannya, yaitu Permesta. Sebagai Anggota Konstituante,R.I, Dokter Saboe ikut hadir dan memberi kontribusi pada Musyawarah Nasional (Munas) pada 16 September 1957 di Jakarta dengan maksud menemukan solusi nasional menyangkut pergolakan daerah.
Pada pergolakan Permesta akhir tahun 1957 s.d akhir 1958, Aloei Saboe (kembali) berada di Gorontalo. Beliau tengah bekerja keras membesarkan SDM kesehatan di Gorontalo, menata Rumah Sakit Daerah dan melanjutkan membina Rumah Sakit “Kulit” Toto, Kabila. Tibalah pada bulan Mei 1958. Ketika pasukan pusat (APRI) tiba di pusat kota Gorontalo, Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin Mayor Inf. Agoes Pramono, pada 19 Mei 1958, rumah pribadi Dokter Aloei Saboe berfungsi sebagai markas pertama dan benteng pertahanan pasukan Brawijaya tersebut, dengan Komandan Kompi I 512 (Letnan Saleh).
Di sepanjang Mei 1958, deru tembakan yang mengarah ke rumah Dokter Saboe setiap saat mendesing. Beragam ancaman dan teror kepada keluarganya nyaris setiap hari. Bagaimana pun, rumah pribadi dokter Saboe (kini bernama “Hotel Plaza” Kota Gorontalo) adalah “dapur umum” bagi pasukan APRI, Mayor Agoes Pramono. Sebagai Dokter, bersama perawat-perawatnya, Dokter Saboe selalu berusaha maksimal membantu dan memberi obat untuk pasukan (pusat) Brawijaya, terutama ketika itu terjadi beberapa serangan malaria. Juga pasukan yang terluka karena tembakan dan membutuhkan beberapa jenis operasi.
Ketika itu, “kota Gorontalo” sangat mencekam, penduduk tak bisa ke mana-mana karena jam malam berlaku. Sementara Dokter Saboe sendiri harus tetap aktif (dengan pengawalan tentara) untuk bekerja di Rumah Sakit Gorontalo, lokasinya sekitar 1 kilo dari rumah pribadinya. Di rumah sakit inilah ia pernah diberondong tembakan peluru oleh orang yang tak dikenal. Hampir dokter Saboe ‘menemui ajalnya’ –kalau bukan karena pertolongan stafnya (perawat, Ibu Monu) yang spontan melompat dan memukul tangan orang bersenjata itu. Peluru menembus atap dan plafond rumah sakit dan dokter Saboe pun selamat (Saboe, 2006).
Pada tahun 1958, dalam tekanan yang luar biasa, Aloei Saboe harus mengambil keputusan penting untuk daerah dan bangsanya. Apa yang dikerjakannnya di sektor kesehatan, terutama pengembangan layanan kesehatan di rumah sakit Kulit Toto, Rumah Sakit Bersalin dan beberapa klinik partikuler di Kota Gorontalo, termasuk di rumah sakit di Tilamuta (kini di Kab. Boalemo), telah berjalan memadai. Tenaga kesehatan, fasilitas dasar, jumlah pegawai, pengalaman dan komitmen kerja mereka sudah relatif memadai melayani masyarakat pada waktu itu.
Periode 1957-1959 (pergolakan Permesta) sangat mengguncang banyak hal. Dokter Saboe terlibat dan bersikap tegas dalam guncangan hebat ini. Di sana-sini di Sulawesi Bagian Utara, termasuk di Gorontalo “perang saudara” terjadi di banyak lokasi. Bagi tokoh-tokoh nasionalis seperti Aloei Saboe, Nani Wartabone, dll, mereka sungguh-sungguh memahami pergolakan seperti ini. Apalagi rakyat Gorontalo menjadi “korban kekerasan” besar-besaran yang tidak berkesudahan. Alhamdulillah, dengan kedatangan Batalyon 512 Brawijaya pada akhirnya sukses mengendalikan situasi sepanjang bulan Mei 1958.
Sebelum pasukan Pusat tiba di Gorontalo, Dokter Saboe sudah menyiapkan Rumah Sakit Kulit Toto sebagai markas alternatif dalam menopang pasukan Brigade Mataram. Sejumlah kebutuhan domestik, kebutuhan penanganan situasi dan “perang kota” di Gorontalo ditampung di Rumah Sakit tersebut beberapa bulan sebelumnya, secara rahasia dan dibantu oleh dua orang perawat terpercayanya. Tidak kurang 6 kwintal beras, 8 drum benzin, makanan dan minuman kaleng, rokok, obat-obatan antibiotika, obat-obatan dan peralatan operasi.
Juga beberapa truk, bus, 1 landrover dan jeep, sudah disiapkan oleh Dokter Saboe di RSK Toto, Kabila guna mendukung kebutuhan operasi Pasukan Pusat dalam rangka mengendalikan situasi di Gorontalo di masa Permesta. Sejarah mencatat bahwa pada “20 Mei 1958” penumpasan dinyatakan “tuntas” di Gorontalo (Tibdy S, 1959) Peristiwa Hantjurnya Permesta (Malang: TB ‘Tjang’).
Dengan perjuangan seperti itulah sehingga pada suatu waktu dokter Saboe pernah meminta perhatian khusus pemerintah agar rumah sakit ini direhabilitasi mengingat kontribusinya dalam membantu pemerintah pusat Republik Indonesia di masa penumpasan Permesta di Gorontalo (1958-1959).
Pada September 1958, secara “mendadak dan rahasia” –karena tak satupun keluarga besarnya yang tahu— Dokter Aloei Saboe meninggalkan Gorontalo menuju Bandung. Ia terbang –dengan pesawat AURI– bersama istri, tiga orang anaknya dan tentu saja bersama awak pesawat yang bolak-balik ke Sulawesi Utara. Tapi ia sudah menyiapkan dan memastikan semua bantuan kepada Batalyon 512 Brawijaya guna pengendalian situasi Gorontalo.
Sebagai intelektual dan politisi angkatan pra-Kemerdekaan yang sudah makan asam-garam perjuangan fisik, dokter Saboe –yang lebih sering disapa Om Dok di Gorontalo– sangat tahu situasi politik regional dan nasional di masa itu. Di masa Permesta 1957/1958, putra-putra terbaik bangsa di Sulawesi bertikai dengan Pusat –-padahal Kemerdekaan dan persatuan R.I butuh lebih kokoh dibina agar segera bermanfaat bagi kemakmuran rakyat. Sikap dokter Saboe tegas:…cita-cita luhur Kemerdekaan R.I tidak bisa diselesaikan dengan pemberontakan dan perang saudara. Ini harus diakhiri! Meski demikian, cara-cara militer adalah pilihan terakhir dan ia tahu persis bahwa “waktunya akan segera tiba!” di mana situasi dikuasai Pusat.
Sebagai Anggota Konstituante, R.I (1956-1959), dokter Saboe sudah sangat familiar dengan Bandung. Di kota ini juga terdapat beberapa keluarga dekat dari pihak istrinya yang mobile Jakarta-Bandung. Di kota ini juga beberapa sejawat dokter (alumni NIAS) tengah berjuang membangun pendidikan kesehatan yang berdampak nasional.
Dokter Saboe dan keluarga besarnya sangat konsisten di bidang pendidikan dan pengabdian publik di sektor keadilan kesehatan. Ia mewujudkan “nasionalisme kesehatan” di sepanjang kariernya, setara dengan tekadnya “mencerdaskan semua lapisan masyarakat” dan “layanan SDM kesehatan yang merata” di seluruh Indonesia. Tema itulah yang beliau kerjakan sejak awal 1960an sampai akhir hayatnya (Senin, 31 Agustus 1987), plus diperkaya dengan produktivitasnya pada kajian-kajian keilmuan dan penulisan ilmiah di bidang kesehatan dan kajian keIslaman. Teladan kejuangan bagi generasi masa kini!***
Penulis adalah Anggota TP2GD Provinsi Gorontalo;
Peneliti Utama di Pusat Studi Dokumentasi (PSD) H.B. Jassin – Gorontalo.
Surel: basriamin@gmail.com