Oleh: Isgandi Lifu*
______
Strategi Perang Suku Gamkonora
SECARA etimologi dodengo berasal dari bahasa Gamkonora dari kata dengo-dengo yang berarti sendiri-sendiri. Sedangkan terminologinya, dodengo merujuk pada strategi perang antara satu lawan satu di era peperangan dahulu. Hal demikian, dilakukan pada saat sayembara Kapita yang dibuat Sangaji Gamkonora untuk mencari laki-laki terkuat Gamkonora guna memimpin pasukan Gamkonora membantu Kesultanan Ternate. Sebab Sangaji Gamkonora adalah vassal dari kesultanan Ternate. (Ninuk Kleden dan Imelda: 2016).
Konon dodengo pertama kali dibawakan dan diperkenalkan oleh penyiar Islam Syekh Ishak Waliullah asal Bagdad, Irak. Masyarakat Gamkonora pada masa itu masih sering aduh jotos, dan bagi siapa yang lebih kuat dialah pemenangnya. Maka dodengo menjadi salah satu cara yang dipakai oleh Syekh Ishak sebagai bentuk ikhtiar diri untuk membendung terjadinya perkelahian dan pembunahan di wilayah yang tersebut.
Selain itu dodengo juga memiliki nama lain yakni, Tarekat Ar-Rizal yang berarti perjalanan laki-laki. Sebelum para kapita atau laki-laki suku Gamkonora melakukan cangal (perjalanan atau pengembaraan), mereka diuji ilmu dan langkas Ar-Rizalnya (strategi bertahan dan menyerang dalam pertempuran). Pengujian tidak hanya lewat sayembara yang dibuat Sangaji Gamkonora. Namun biasanya para lelaki Gamkonora ketika berangkat mengembara mereka mempelajarinya sebagai ilmu mengenal diri, Tuhan dan mengatahui jalan pulang menuju kematian. Sedangkan langkasnya, menguasai strategi bertahan dan menyerang.
Langkas Ar-Rijal yang berarti cara bertahan dan menyerang lawan memiliki makna kajian Islam yang dalam. Seperti gerakan menyerang yang dikenal masyarakat suku Gamkonora dengan sebutan Goto lata (potong empat), melambangkan simbol Islam yang berarti meminta Ridho kepada Allah SWT saat melepaskan nyawa musuh. Masyarakat suku Gamkonora meyakini bahwa strategi perang ini merupakan strategi perang Sayyidina Ali Bin Abi Thalib yang dibawakan dan diajarkan oleh Syekh Ishak Waliullah.
Pengujian akan penguasaan tarekat Ar-Rizal oleh para Joguru (Guru spiritual) bermaksud mengetahui kemampuan para pendekar Gamkonora yang nantinya pergi meninggalkan kampung halaman. Menguasai tarekat Ar-Rizal menjadi bekal yang dibawa setiap lelaki Gamkonora ketika menghadapi perang yang berujung pada hidup atau mati. Selain itu terdapat nilai yang menjadi pegangan untuk diperjuangkan mati-matian seperti kemenangan demi menjaga harkat dan martabat pendekar dan Sangaji Gamkonora. Jika dalam peperangan sang pendekar kalah bertarung maka ia lebih baik mati di medan perang dibandingkan pulang dengan menaggung rasa malu.
Pergeseran Ruang dan Waktu
Setelah kemerdekaan Indonesia, dodengo pun berubah dari segi ruang dan waktu. Dodengo tidak lagi menjadi strategi dan alat perang. Dodengo lebih dikenal sebagai permainan yang dapat ditonton oleh sumua orang. Ada pun alat perang seperti pedang sungguhan digantikan dengan pelepah daun sagu atau disebut masyarakat suku Gamkonora go’ole sebagai alat untuk memotong (memukul) lawan tanding. Cara memotong yang berbahaya dalam goto lata pun dilarang dan diperagakan. Misalnya potongan dari perut sampai bagian leher terbawah.
Dodengo sebagai permainan diselenggarakan setahun sekali setelah Idhul Fitri di kampung besar Gamkonora. Dari Gamkonora ini sebagian masyarakat kemudian berpindah dan membentuk tiga perkampungan; Gamsungi, Talaga dan Tahafo. Setelah ketiga kampung tersebut terbentuk, dodengo dipraktekkan disetiap kampung secara bergiliran, dan terakhir dodengo terpusat di desa Talaga dan beberapa tahun yang lalu juga dibuat di desa Tahafo. Laga adu ketangkasan satu lawan satu ini berlangsung selama Tiga sampai Empat hari setelah idhul fitri.
Tahun 1970-1990an dodengo masih diperagakan dengan ketangkasannya yang sulit nan lincah. Seperti menunjukan strategi bertahan, menyerang, dan melumpuhkan lawan dari kedua pemain yang sedang beradu. Hal demikian saat ditonton, terasa menegangkan dan mengasyikan. Seperti gerak badan saat memukul lawan, memindahkan kuda-kuda kaki, memancing lawan dengan strateginya masing-masing yang disertai gerakan tubuh yang mengikuti irama musik yang didendangkan melalui bunyi beduk dan gong. Sebab dalam permainan dodengo, hati pemain harus ditenangkan, tenaga disiapkan, pikiran dan mata ditujukan pada gerak lawan, dan telinga diarahkan pada bunyi pukulan beduk dan gong.
Kemenangan menjadi hal penting yang harus diperbutkan dalam setiap laga permainan dodengo. Apa lagi lawan tandingnya berbeda kampung. Sebab kemenangan dapat mengangkat harkat dan martabat dan menjadi harga diri para petarung dan masyarakat di mana desa yang ia tinggali. Maka harus diperjuangkan mati-matian. Dalam pertarung tersebut, dukungan dan ketegangan bercampur aduk pada raut wajah dan teriakan pendukung di antara desa. Teriakan yel-yel itu berbunyi “sengen upa dai ngolot” (mati dibuang ke laut). Sebab kekalahan akan menjadi bahan ejekan yang memalukan selama setahun (tibanya Idhul fitri tahun depan) bagi pendekar dan masyarakat kampung yang diwakili. Kekalahan tersebut jika tidak terbayar pada empat hari berjalan, maka menunggu sampai satu tahun kedepan.
Nilai kemenangan yang paling tertinggi adalah menjatuhkan lawan dan lawan tersebut tergelatak di atas tanah. Karena di era perang, jika lawannya sudah tergeletak, itu artinya tidak bisa lagi berdaya untuk mempertahankan dirinya. Walau pun di antara mereka yang bertarung saling memukul, menjatuhkan, berdarah, dan ada yang cedera fisik, namun ketika selesai pertarungan mereka saling memberi maaf.
Transformasi Sosial Budaya
Perubahan sosial-budaya kian melaju dari waktu ke waktu, namun tradisi dodengo masih tetap berjalan setelah Idhul Fitri. Ini disebabkan karena telah terbentuknya apa yang dikonsepkan Durkheim (baca: Doyle Paul Johnson, 1988: 183) sebagai solidaritas mekanik pada masyarakat suku Gamkonora. Proses pembentukan itu didasarkan pada suatu ”kesadaran kolektif” (collective consciousness/conscience), yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan” bahwa dodengo merupakan sejarah, identitas, dan peninggalan yang dimiliki secara bersama masyarakat suku Gamkonora sehingga melahirkan sentimen bersama seperti rasa kerinduan bersama pada dodengo ketika menjelang bulan Ramadhan sampai pada Idhul Fitri. Keinginan bahu-membahu bersama menyiapkan kelengkapan dari alat sampai lapangan tanding dodengo serta berbondong-bindong ikut serta dalam menonton dan mengadu ketangkasan.
Beberapa tahun belakangan pertunjukan ketangkasaan dodengo tidak lagi menunjukan seni ketangkasan dalam membangun serangan, bertahan dan melumpuhkan lawan pada pertarungan sebagaimana generasi dahulu. Sehingga nilai-nilai seperti harga diri seorang lelaki Gamkonora dan masyarakat desa yang diwakili tidak lagi terlihat pada wajah dan terdengar suara yang keluar dari penonton untuk membela dan memberikan dukungan pada ayam jagonya yang bertarung. Teriakan ”sengen upa dai ngolot” pun hampir tak terdengar. Penonton suku Gamkonora di empat desa seolah merasa biasa-biasa saja ketika anak kampung menang atau kalah dalam pertarungan, begitu juga dengan pemain yang beradu.
Hal demikian tidak lepas dari konstruksi (pembentukan) pengetahuan sehari-hari anak muda suku Gamkonora terhadap perkembangan teknologi, gaya hidup dan pergaulan kota saat ini. Konstruksi tersebut telah menjadi cerita baru bagi anak muda suku Gamkonora di saat bulan ramadhan sampai lebaran tiba di kampung halaman. Cerita tentang dodengo hanya terlintas pada kerinduan dan kesadaran menyiapkan alat kelengkapan dodengo. Selebihnya dodengo tidak lagi menjadi pengalaman keseharian anak muda suku Gamkonora.
Berbeda dengan generasi muda pada tahun 1970-90an. Saat bulan suci Ramahdhan, tepat pada pertengahan puasa atau hari ke duapuluh setelah sholat tarawih, anak muda berbondong-bondong mendatangi guru dodengo untuk belajar strategi dan ketangkasan sebagai bentuk pengatahuan dan keahlian permainan demi menjaga harkat dan martabat seorang petarung dan desa ia dibesarkan. Proses transformasi pengetahuan ini sangat didukung oleh kuatnya legitimasi dari tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat pada umumnya dalam memberikan penjelasan dan pembenaran yang bersifat normatif dan rasional tentang dodengo pada anak muda. Selain itu para petarung memiliki rasa tanggung-jawab yang besar akan kemenangan dan rasa malu yang mendalam jika dikalahkan. Sehingga bulan Ramadhan menjadi momen untuk mempelajari seni ketangkasan dan ajaran tentang nilai-nilai dodengo.
Hemat saya, ada hal yang diabaikan atau dilupakan anak muda saat ini sebagai seorang yang berasal dari suku Gamkonora. Bentuk pengabaian itu berupa proses konstruksi (pembentukan) pengatahuan tentang nilai-nilai dodengo dan keahlian ketangkasan permainan sebagaimana generasi dahulu. Sehingga melemahnya pegangan nilai harga diri dodengo pada seorang petarung dalam pertarungan.
Menjaga keutuhan dan mengembangkan dodengo tidak hanya bermodal kesadaran dan semangat bersama dalam menyiapkan perlengkapan dodengo dan menonton sebagai bekal pengatahuan dan dilanjutkan dengan cerita-cerita singkat seputar permainan seperti dahulu. Jika tidak menyelami sejarahnya secara mendalam, maka pengetahuan akan nlai-nilai dodengo terputus dan hilang ditelan zaman.
Dodengo merupakan tradisi dari leluhur Gamkonora yang harus dijaga, dirawat dan dipertahankan bersamaan dengan lajunya modernisme. Sebab di dalam dodengo terdapat identitas, nilai kultural dan spiritual yang bermakna bagi masyarakat suku Gamkonora. Menjaga, merawat dan mempertahankan bukan sekedar bermodal semangat saat menyongsong Idhul Fitri. Namun diperlukan kesadaran dan tindakan nyata dari semua lapisan sosial masyarakat Gamkonora untuk saling memberikan legitimasi akan nilai-nilai dodengo yang terancam punah. Tak pelak sosialisasi sebagai bentuk transmisi pengatahuan antar generasi tentang nilai-nilai dodengo dibutuhkan sebagai bentuk cadangan pengetahuan (stock of knowledge) yang disebut Peter L. Berger.[]
* Penulis adalah Direktur Pilas Institut dan Mahasiswa Sosiologi FISIP UMMU