Opini  

Demokrasi dalam Teror Neoliberal

Oleh: Dr. Muammil Sun’an, SE., M.P., M.AP

______

SECARA harfiah istilah demokrasi biasanya didefenisikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Berarti dalam konteks demokrasi, pemerintah yang berkuasa atau kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat, oleh karena itu pelaksanaan pemeritahan harus mengacu pada kehendak rakyat. Namun dalam perkembangannya istilah demokrasi ini dianggap tidak dapat lagi menjelaskan kondisi kehidupan sosial dan politik yang berkembang di masyarakat dikarenakan persoalan politik penguasa pemerintahan yang selalu menggunakan istilah demokrasi yang dalam prakteknya diplintir untuk kepentingan penguasa semata.

Demokrasi merupakan sebuah paham yang menginginkan adanya mekanisme pengawasan yang ketat dengan sanksi politik yang jelas bagi penguasa politik (pemerintah). Konsep rezim demokratis (democratic regim) dipakai untuk membedakan sistem politik yang satu dari sistem-sistem yang lain. Sistem politik demokratis menawarkan pengakuan dan perlindungan yang lebih besar terhadap hak asasi manusia, sekaligus menjadikan hak asasi itu sebagai bagian dari prosedur atau ciri demokrasi. Upaya penciptaan dan peningkatan kemakmuran biasanya paling besar dibandingkan dengan sistem-sistem politik lainnya. Berbagai ciri demokrasi di atas tidak berbeda secara prinsipil dan setiap butir saling melengkapi. Ciri demokrasi yang bermacam-macam itu didasarkan atas 3 (tiga) konsep dasar dalam demokrasi, yaitu kebebasan (freedom), persamaan (equity) dan kedaulatan (sovereignity). Konsep kebebasan menekankan pada kebebasan berbicara, berkumpul dan hak suara dalam pemilu. Konsep persamaan semua individu dalam politik, hukum, ekonomi dan budaya. Sedangkan konsep kedaulatan menekankan pada kekuasaan rakyat dalam penyelenggaraan negara.

Model persamaan (equity) berpendapat, semakin demokratis suatu kepolitikan atau sistem politik, akan semakin besar persamaan atau pemerataan distribusi pendapatannya (Lenski, 1966). Sementara itu model pertumbuhan ekonomi (economic growth model) mengemukakan, semakin demokratis suatu kepolitikan, akan semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonominya. Sementara itu model “negara lunak” (soft state model) yang termasuk ke dalam jenis  model ini, menyatakan bahwa semakin otoriter suatu rezim, akan semakin cepat pertumbuhan ekonominya (Myrdal, 1968).

Yang terpenting di sini adalah bahwa apa yang disebut sebagai teori kesejahteraan tentang demokrasi (welfare theory of democracy) masih bisa dipertanyakan (Erik Lane & Ersson, 2002). Pertama, pernyataannya bahwa tingkat kelimpahan itu menentukan jenis-jenis rezim yang akan dianut oleh negara yang bersangkutan ternyata tidak berlaku. Tidak ada hubungan kausalitas yang cukup signifikan antara tingkat kelimpahan dan kemunculan rezim demokratis, meskipun diantara keduanya terdapat asosiasi statistik. Kedua, tidak tersedia cukup data yang menunjang keberlakuan hipotesis yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan salah satu faktor penentu tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Neoliberalisme dan Demokrasi

Para penganut paham ekonomi neoliberalisme, percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari ”kompetisi bebas.” kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa ”pasar bebas” adalah lebih efisien dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumber daya telah habis atau masih banyak. Itulah alasan mengapa ekonomi neoliberal tidak menginginkan campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Serahkan saja semua urusan pada mekanisme dan hukum pasar yang akan mendapat bimbingan dari ”invisible hand” sehingga masyarakat akan mendapat berkah dari ribuan keputusan individual tersebut. Dan pada akhirnya kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang tersebut akan ”menetes ke bawah” (trickle down) kepada anggota masyarakat yang lain (Fakih, 2003).

Secara lebih spesifik, pokok-pokok pendirian neoliberal meliputi: pertama, bebaskan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang perburuhan, investasi, harga serta biarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendiri. Kedua, hentikan subsidi negara kepada rakyat karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip jauhkan campur tangan pemerintah juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas serta persaingan bebas. Ketiga, penghapusan ideologi ”kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat tradisional.

Pada dasarnya, mayoritas negara-negara yang mengalami tidak hanya menghadapi krisis legitimasi politik tetapi secara bersamaan juga sedang diterpa resesi ekonomi. Karena itu, persoalan dalam masa transisi tidak melulu dengan melakukan liberalisasi sistem politik otoritarian yang menjamin penghargaan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara, tetapi sekaligus dituntut untuk secepat mungkin memulihkan problem resesi ekonomi. Saling imbang dan saling tunjang antara ekonomi dan politik ini, menentukan jatuh bangunnya sebuah rejim transisi (Husain Pontoh, 2005). Menurut Przeworski (1996) kemakmuran hanya akan dicapai jika membebaskan pasar dari intervensi negara sehingga tercipta kompetisi yang akan menghasilkan efisiensi dan produktivitas ekonomi yang tinggi; menciptakan sebuah masyarakat yang lebih terdiferensiasi; dan perluasan ke arah pluralisme politik. Oleh sebab itu, persamaan kebebasan ekonomi setara dengan kebebasan politik. Dengan kata lain, kebebasan dan pluralisme politik hanya mungkin eksis dalam sistem ekonomi pasar bebas. Inilah yang disebut Przeworski sebagai transisi yang mengambil strategi ”Modernization via Internationalization.” Menurut strategi ini, demokrasi menjadi stabil jika negara-negara yang sedang mengalami transisi mengintegrasikan diri ke dalam sistem ekonomi dunia, yang dikombinasikan dengan peniruan ekonomi, politik, dan pola budaya di negara-negara kapitalis maju.

Masalahnya adalah sejauh mana kebenaran dari tesis bahwa demokrasi bisa awet jika bersanding dengan kebijakan neoliberal? Kalau kita melihat secara post factum (setelah kejadian berlangsung), maka hampir seluruh negara yang diteliti Thomas Carothers (2002), adalah negara-negara yang menjalani strategi Modernization via Internationalization. Kebijakan neoliberal yang dijalankan secara agresif, ternyata justru menjerumuskan ekonomi negara-negara yang mengalami transisi ke tingkat yang rendah. Dengan demikian, politik liberal yang coba dijalankan gagal karena mengidap borok bawaan yaitu kemiskinan, kemelaratan, dan kesenjangan sosial yang tajam.

Demokrasi adalah konsep yang value loaded, sehingga sistem nilai kita mempengaruhi persepsi kita terhadapnya. Ciri demokrasi bermuara pada terbukanya partisipasi politik bagi masyarakat umum. Dalam partisipasi politik terbuka kesempatan bagi berbagai kelompok masyarakat yang berbeda keadaan sosial-ekonomi dan etnik-budayanya, mengungkapkan kepentingan-kepentingannya melalui kelembagaan politik yang tersedia untuk bisa mempengaruhi perumusan kebijakan nasional yang bakal mempengaruhinya. Hakikatnya, proses demokratisasi adalah persebaran kekuasaan pengambilan keputusan pada seluas mungkin pelaku.

Karena itu, perdebatan bukan pada masalah demokrasi versus otoriterisme, tetapi demokrasi model apa dan untuk kepentingan siapa? Dengan memakai analisa Carothers (2002), gagalnya transisi menuju demokrasi disebabkan oleh dogma domain politik dan domain ekonomi berdiri terpisah. Kesempatan yang adil merata (equal opprtunity) harus diciptakan agar semua warga negara memperoleh akses pada kekuasaan pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Untuk itu maka proses pembangunan ekonomi harus berjalan seiring dengan proses pembangunan politik.

Dalam konteks ini setidaknya dapat dikemukakan beberapa kritikan terhadap demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarkhi dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan finansial? Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Kekuatan modal dan faktor internasional justru merupakan faktor dominan yang menyebabkan masa transisi berbelok arah.

Dengan demikian, bukan transisi menuju demokrasi, melainkan transisi menuju neoliberalisme, atau yang disebutnya sebagai transition via internatinalization. Sebuah model transisi yang dipandu oleh negara-negara maju, sebuah gaya transisi yang juga disokong oleh lembaga keuangan internasional semacam IMF dan World Bank. Intinya adalah sebuah transisi yang mengajak sebuah bangsa untuk menuju neoliberalisme.[]