Opini  

Rezim Pembatasan Hak Berekspresi ‘Suka Baperan’

Nurunnisa Hafel

Nurunnisa Hafel

(Kader HMI Komisariat Ibnu Sina Cabang Ternate)

 

HAM (Hak Asasi Manusia) – Human Rights adalah Hak yang melekat pada setiap individu yang sudah ada sejak lahir dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun berlaku dimana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja karena sifatnya adalah universal. Dilansir oleh Wikipedia HAM adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia, sehingga prinsip dasar HAM tidak dapat dicabut oleh siapapun. Kalo kata John Locke Hak Asasi Manusia ialah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan pada tiap-tiap manusia.

Salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, Hak Asasi Manusia pun di atur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan harusnya menjadi jaminan yang kuat bahwa hak berekspresi itu dijaga dan dilindungi dengan dasar yang kuat. Kita semua menggetahui bahwa, Indonesia dibangun dengan latar belakang yang unik berbagai macam suku, adat, dan budaya. Sehingga logis jika kita mengatakan bahwa Indonesia dengan jumlah jiwa mencapai ± 271.349.889 jiwa pun akan memiliki pola pikir dan pola ekspresi yang berbeda-beda, berbagai macam pola kreatif dan inovatif yang lahir bukan tanpa alasan namun, punya alasan.

Seperti contohnya beberapa kasus yang dikutip dalam kanal Akun Instagram @indonesiafeminis ada lebih dari 10 kasus yang didalamnya berisi orang-orang yang terjerat pasal Karet UU ITE. Dimulai dari seorang aktor dan komika Muhadkly Acho yang menjadii tersangka kasus pencemaran nama baik karena mengkritik pengembangan apartemen Green Pramuka City melalui blog dan Twitter, mediasi di Unit Cyber Polda Metro Jaya menghasilkan kesepakatan bahwa laporan pencemaran nama baik dicabut; yang kedua M.Arsyad seorang aktivis anti korupsi yang mengkritik kandidat wali kota di makassar dan menjadi terdakwa atas kasus pencemaran nama baik, “pasal ini yang kami dapati selama ini hanyya kerap digunakan oleh aparat, pemilik modal, dan penguasa” ujar M.Arsyad; yang ketiga menjerat seorang pemandu wisata Furqan Ermansyah/Rudy Lombok yang dituduh mencemarkan nama baik BPBD NTB karena mengkritik kinerja yang tidak maksimal. Rudy yang hanya memposting video studi banding lembaga tersebut di dubai ke facebook, “saya mengkritik kinerja pejabat pemerintah tanpa niat mencemarkan nama baik. Satu hal yang saya tau dari dua kali pemeriksaan adalah saya dan penyidik sama awamnya soal UU ITE”; yang terakhir terjadi pada seorang Guru Piano dan MC Vivi Nathalia perihal hutang piutang dengan kakak iparnya, Vivi yang merupakan guru piano yang di dakwah pasal pencemaran nama baik karena menagih utang kepada kakak iparnya di media sosial selanjutnya Pengadilan negeri Jakarta barat memutuskan vivi bersalah dan harus menjalani dua tahun hukuman percobaan, dengan utang sebesar 450 juta. “waktu kecil saya beranggapan orang jahat itu Cuma ada di film. Hari ini saya harus berbesar hati menghadapi kenyataan bahwa orang yang kita toloong pun, berutang 450 juta, bisa mencelakakan saya pakai UU ITE,” ujar vivi.

Apalagi kasus yang menimpa M.Asrul (Jurnalis), yang ditahan karena memberitakan kasus korupsi. Pada bulan Mei tahun 2019 lalu, asrul yang melakukan investigasi dan menyebutkan di artikelnya bahwa seorang anggota keluarga pejabat Palopo diduga terlibat dalam praktik korupsi proyek. Karena tulisanya, Asrul dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik di UU ITE, “Saya menganggap ini sebuah tragedi, karena saya tidak percaya seorang wartawan bisa dipidanakan dengan UU ITE, seharusnya wartawan bisa menulis leluasa secara kritis dan dilindungi Undang-undang Pers” – Diananta Putra Sumedi (Jurnalis), dalam kasus Diananta dewan pers mendorong kasus diselesaikan lewat UU Pers secara perdata, namun diabaikkan oleh Polisi dan memilih memakai pasal pidana UU ITE.

Dan masih banyak lagi polemik Pasal Karet yang menjaring orang-orang yang seharusnya berekpresi adalah hak, kini pun harus berhati-hati. Bahkan dilansir oleh komnasham.go.id KOMNAS HAM REPUBLIK INDONESIA “dalam prinsip HAM, kebebasan berekspresi itu ada pembatasan, tidak sebebas-bebasnya. Jadi, salah jika ada orang yang mengatakan bahwa kebebasan berekspresi itu tidak ada batasnya. Hanya pembatasan itu juga harus ketat untuk memastikan bahwa tidak ada yang terlanggar haknya.” Begitu ujar Beka Ulung Hapsara Komisioner pendidikan dan penyuluh Komnas HAM saat menjadi pemateri acara Online Paralegal Studies For Churches oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bethel Indonesia, pada jumat 11 juni 2021.

Hal ini berarti bahwa kebebasan berpendapat berkaitan erat dengan bagaimana seseorang mengeluarkan pikiran dan yang dimiliki untuk membuka kembali suatu ide atau pandangan baru, terkait dengan hal tersebut Negara dituntut untuk menahan diri (belajar bersabar) dari campur tangan Negara terhadap kebebasan berpendapat dan tentunya ada pertimbangan yang paling penting untuk di kaji dan di analisis lebih dalam untuk dilihat apa yang seharusnya menjadi batasannya. Selanjutnya adalah terkait dengan pembatasan hak untuk berekspresi, harus diatur berdasarkan hukum yang sesuai baik yang melibatkan lembaga eksekutif, legislatif, ataupun rakyatnya. UU ITE perlu dilakukan Revisi total dan dilihat kembali pasal-pasal karet yang seharusnya dikaji di tingkat yang paling fundamental.

Kalo sekarang, ketika ingin berekspresi harus mikir dulu, karena salah langkah atau salah perspektif alih-alih membuat dan membuka suatu pandangan baru “Eh malah kena pasal karet UU ITE”. Jadi, Rezim (Pemerintah) sekarang sudah suka Baper  dan tidak bisa atau bahkan tidak mampu membedakan mana yang saran, kritik, dan teguran semuanya dibantai (terkena pidana)  oleh UU ITE, “apalagi serangan melalui sartire dan sarkas pemerintah sudah kebakaran jenggot”. Hal ini juga menjadi dasar Pola komunikasi pemerintah yang buruk yang menyebabkan hancurnya Public Trust (Kepercayaan Publik).

Akhir dari saya “Cukup baperin pacar aja, jangan pemerintah nanti hadiahnya UU ITE” – Sekian Terima Kasih.