Oleh: Dr. Muammil Sun’an.,SE.,M.P.,M.AP
IMPLEMENTASI otonomi daerah akan berpengaruh kepada pengelolaan keuangan daerah. Desentralisasi fiskal merupakan bentuk dari otonomi keuangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adanya transfer dana bagi pemerintah daerah merupakan pendanaan dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan dan melaksanakan fungsi kewenangan sedangkan sumber pendapatan diharapkan dari pendapatan asli daerah. Namun pada kenyataanya, transfer fiskal menjadi sumber utama bagi pemerintah daerah untuk membiayai belanja daerah. Desentralisasi fiskal yang berlangsung merupakan suatu refleksi dalam proses kehidupan berbangsa terutama di negara-negara berkembang telah mewarnai perubahan dan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah karena dianggap lebih dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal merupakan suatu alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara. Tujuan tersebut adalah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat yang berada di daerah dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dana perimbangan yang begitu besar disalurkan kepada pemerintah kabupaten/kota yang ada di hampir seluruh Provinsi di Indonesia berfungsi mengisi fiscal gap antara kebutuhan fiskal dengan kemampuan fiskal dari kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Besaran dana perimbangan inilah yang menjadi sumber utama hampir di seluruh kabupaten/ kota untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Sumber-sumber pokok keuangan daerah yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) akan berimplikasi pada struktur dan proporsi pengeluaran dan penerimaan pada APBD. Berkaitan dengan pengelolaan PAD dan pengeluaran daerah, Kuncoro (2004) menyimpulkan bahwa PAD hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling besar 20%. Fakta inilah yang menimbulkan perilaku asimetris pada pemerintah daerah yang terlihat dari indikasi inefisiensi pada dana transfer tersebut, dan terlihat dari respons pengeluaran pemerintah yang lebih dikenal dengan flypaper effect.
Flypaper effect adalah suatu kondisi yang terjadi pada saat pemerintah daerah merespons (belanja daerah) lebih banyak/lebih boros dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diberikan oleh pemerintah pusat dan dihitung dengan dana perimbangan dari pada menggunakan kemampuan daerah itu sendiri, kemampuan daerah diproksikan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Flypaper effect secara definisi dapat dijelaskan sebagai ketidaksamaan pengaruh pengeluaran publik dari bantuan pemerintah pusat dan peningkatan pendapatan dengan jumlah yang sama. Berapa pun bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus memberikan pengaruh yang sama. Bila hal ini tidak terjadi maka ada kecenderungan bahwa pengaruh pengeluaran publik dalam bentuk bantuan pemerintah pusat tidak memberikan pengaruh yang sama besarnya maka hal ini yang disebut dengan flypaper effect. Dalam bahasa sederhana, dapat didefinisikan bahwa flypaper effect sebagai perilaku menyimpang di mana transfer pemerintah pusat dianggap sebagai suatu tambahan pendapatan bagi masyarakat di daerah. Lebih lanjut G, Legrenzi dan Milas (2001) mendefinisikan flypaper effect sebagai suatu anomali dalam perilaku rasional jika transfer harus dianggap sebagai tambahan pendapatan pemerintah daerah (seperti halnya pajak daerah), sehingga semestinya dihabiskan atau dibelanjakan dengan jumlah yang sama pula. Pemerintah daerah secara konsisten meningkatkan belanja akibat terjadi peningkatan transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kondisi seperti yang disebutkan di atas yang dimaksud dengan kondisi terjadinya flypaper effect pada belanja pemerintah daerah.
Berkaitan dengan keleluasan pemerintah daerah dalam menggunakan dana perimbangan yang meliputi DAU, DAK dan DBH, maka pemerintah daerah harus mampu menjalankan fungsi dan perannya secara efisien, serta anggaran daerah harus mampu menampung dan mengakomodir berbagai aspirasi dan inisiatif masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih lemahnya perencanaan pengeluaran yang dapat memunculkan kemungkinan under financing atau over financing, yang kesemuanya memengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja pemerintah daerah. Masalah ini tentunya dijumpai pula pada daerah Kabupaten dan Kota, yang dapat menyebabkan terjadinya penggunaan berlanja daerah yang cenderung tidak efisien atau adanya gejala flypaper effect. Namun dugaan ini masih perlu dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan pada dua teori yang dikemukakan oleh Sagbas¸ dan Saruc¸ (2004), yang menyimpulkan bahwa sumber munculnya gejala flypaper effect berdasarkan teori fiscal illusion dan bureaucratic model. Teori fiscal illusion menerangkan bahwa flypaper effect terjadi karena ketidaktahuan atau ketidakperdulian penduduk daerah tentang pembiayaan dan pembelanjaan serta keputusan yang diambil sebagai akibat dari kesalahan persepsi dari penduduk tersebut. ”Fiscal illusion pada dana transfer adalah pemerintah sebenarnya menghasilkan output yang diminta penduduk, tetapi permintaan penduduk akan barang publik didasarkan pada kesalahan persepsi tentang bagaimana pembiayaan barang publik dan pembagian biaya yang telah ditanggung oleh penduduk. Sebab dalam teori tersebut, penduduk tidak diasumsikan salah dalam mengamati output yang sebenarnya atau manfaat yang akan diperoleh”. Pada bureaucratic model, flypaper effect didefinisikan sebagai hasil dari perilaku memaksimalkan anggaran oleh birokrat yang lebih mudah menghabiskan transfer daripada melakukan kenaikan pajak. Flypaper effect dapat terjadi karena kekuasaaan dan pengetahuan pemerintah daerah pada anggaran dan transfer pemerintah.
Mencermati fenomena flypaper effect, mengindikasikan bahwa pemerintah daerah kabupatan dan kota memiliki ketergantungan yang masih cukup tinggi terhadap pemerintah pusat, dalam hal anggaran (dana transfer) untuk membiayai segala kebutuhan di daerah. Permasalahan kemudian yang timbul adalah pemerintah daerah terlalu tergantung transfer pemerintah untuk membiayai belanja daerah tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh daerah. Di saat transfer DAU yang diperoleh besar, maka pemerintah daerah berusaha agar pada periode berikutnya DAU yang diperoleh tetap besar. Padahal daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif sehingga dapat mendorong peningkatan investasi di daerah yang kemudian berdampak terhadap meningkatnya sumber penerimaan PAD. PAD yang seharusnya menjadi ciri dari kemandirian daerah, namun banyak daerah yang masih memiliki ketergantungan yang besar pada dana transfer, sehingga seringkali terjadi in efisiensi pada penggunaan dana transfer tersebut yang dikenal dengan flypaper effect.[]