Oleh: Herman Oesman*
______
TANPA disadari, kita sedang membuat sejarah besar. Bersama gerak pendulum waktu, dengan segala kelemahan dan kekuatan, kita tengah menorehkan harapan mengantarkan Maluku Utara memasuki usia 22 tahun. Suatu angka yang cukup dewasa, dinamis, telah dan akan melewati sederetan proses tantangan. Di mana setiap tantangan, melahirkan kekuatan, kemampuan, kedewasaan, dan optimisme dalam menatap masa depan. Maluku Utara kini tengah bermetamorfosis dan bertransformasi, dan kita berada dalam proses itu.
Hari ini, setelah 22 tahun, kita berikhtiar memikirkan kembali masa depan Maluku Utara. Kita selalu terjaga untuk merawat kepekaan bela rasa. Kita sadar, masa depan Maluku Utara telah menjadi pikiran semua orang, dengan membangun kata-kata sakti: sejahtera, maju, mandiri, bermartabat, dan berperadaban. Kata-kata sakti itu tak sekadar sebagai penghias wacana, tapi harus diubah menjadi kerja serius mulai kini, dan bukan nanti. Dari cita-cita dan mimpi besar, diubah menjadi harapan untuk dibuktikan bagi generasi mendatang. Refleksi dan muhasabah yang digelar malam ini menyiratkan, bahwa nyala spirit Maluku Utara harus ditemukan kembali dalam diri kita, dalam karya besar kita. Bukan dalam selebrasi yang meluahkan kesombongan, pencitraan, dan unjuk dada.
Maluku Utara pernah melewati sejarah masa lalu yang panjang dan melelahkan. Sejarah itu ditulis dengan nuansa kental romantisisme-patriotisme. Sarat kontestasi, dominasi, kompetisi, dan intrik politik. Gelombang waktu demi gelombang waktu lalu mengantarkan negeri ini memasuki tatanan baru, menjadi sebuah provinsi tepat tanggal 4 Oktober 1999. melalui legal formal UU RI Nomor 46 Tahun 1999, yang kemudian diresmikan 12 Oktober 1999. Bila diurutkan, usia Maluku Utara akan segera memasuki tahun ke 22, dan itu, hanya kepada Allah SWT, harus kita naikkan rasa syukur. Secara de jure maupun de facto, tahun 1999 merupakan tapak awal menemu-kenali Maluku Utara. Menemu-kenali sebuah sejarah yang telah mengharu-biru tatanan sosial budaya negeri ini. Tahun 1999 menjadi sebuah tekad besar yang disemai dari sebuah perjuangan berat dan panjang, dimatangkan dari gagasan-gagasan jauh ke belakang untuk membayangkan sebuah masa depan negeri yang cemerlang. Inilah proses menata negeri dari serpihan-serpihan yang berserakan.
Inilah proses menautkan kehendak hidup bersama, yang menurut istilah Ernest Renan (Filsuf Prancis, 1823-1892): “le desire d’eter ensamble” (kehendak untuk hidup bersama). Bahwa sebuah bangsa/daerah lahir dari kehendak untuk hidup bersama, walau pun bertumbuh dari keragaman. Kelahiran Maluku Utara pun bermuara dari nyala spirit ini.
Tahun demi tahun penataan bangunan politik melalui pemilihan kepala daerah kerap menyisakan tapak perselisihan dan persengketaan. Namun akhirnya, layar “perahu‟ Maluku Utara kembali terkembang dan terus berlayar. Sejumlah harapan pun diikat dan dilekatkan pada pemimpin yang dipilih. Memang periode awal setelah negeri diberi status sebagai provinsi, kita tidak menemukan adanya gagasan besar yang bisa memberi lompatan bagi kemajuan daerah.
Sepanjang tahun demi tahun setelah dimekarkan, berbagai problem ternyata tumbuh subur mengiringi perjalanan negeri rempah ini. Dalam proses politik panjang negeri ini pun tak lepas dari sengkarut yang begitu memprihatinkan dan sekaligus memilukan. Sekal lagi, semua itu memberi nutrisi dan energi bagi pemerintah dan daerah ini untuk kembali menjahit harapan-harapan masa depan.
Berangkat dari berbagai pengalaman yang telah menguras energi dan pikiran, tentu ini tidak boleh diulang karena akan membunuh masa depan harapan masyarakat Maluku Utara yang lebih baik. Untuk itu, menemukan kembali (reinventing) Maluku Utara kedepan yang lebih beradab, demokratis, dan mandiri tidak harus mengulang cara-cara lama. Tata kelola politik dan pemerintahan sudah harus diterjemahkan dalam ruangruang konkrit, yang memudahkan setiap orang untuk bisa saling mengawasinya. Dengan demikian, masyarakat sudah harus menyadari betul apa konsekuensi pilihanpilihan politiknya kelak.
Dalam pandangan Ignas Kleden (2003), suatu pemerintahan hanya bisa bersikap terbuka kalau dia relatif bersih (karena pemerintahan yang tidak bersih akan berusaha sekuat tenaga menutupi penyelewengan yang dilakukannya), sementara untuk menjadi bersih dia harus terbuka terhadap kontrol dan kritik. Dilema ini dicoba dipecahkan dengan tidak meminta birokrasi untuk menjadi lebih bersih tetapi dengan memaksanya menjadi lebih terbuka.
Alhamdulillah, di tahun 2017 lalu, Maluku Utara dinobatkan sebagai provinsi dengan Indeks Kebahagiaan tertinggi di Indonesia dengan skor 75,68. Indeks ini mengukur 3 metode: 1. Dimensi Kepuasan Hidup (dibagi dua Sub Dimensi, yaitu: Personal dan Sosial), 2. Dimensi Perasaan, 3. Dimensi Makna Hidup.
Memikirkan dan menemukan kembali Maluku Utara ke depan yang lebih baik sudah harus menanggalkan berbagai persepsi keliru yang hanya berdasar pada determinasi sejarah masa lalu. Maluku Utara ke depan sudah harus dikelola menjadi mimpi besar (big dream), yang di sana, mimpi-mimpi itu akan diubah menjadi sebuah cita-cita, cita-cita diubah menjadi berfikir keras, dan berfikir keras diubah menjadi kerja keras, serta kerja keras diubah menjadi keberhasilan.
Tanpa mimpi, harapan, dan gagasan, maka daerah ini akan kembali pada pojok sejarah keterpurukan yang hanya selalu diwarnai prasangka, pertentangan pilihan, konflik politik, dan saling memfitnah. Tidak bergeser menjadi lebih baik. Lalu pertanyaannya, “kapan Maluku Utara dapat menjadi kebanggaan identitas bagi generasi penerusnya?” Mari kita sama-sama mulai memikirkan dan menemukan kembali Maluku Utara, dengan berpijak pada dimensi kebahagiaan yang pernah kita raih.
Tanpa sadar, kita saat ini hidup di era disrupsi digital yang telah mengubah pola kerja dan perencanaan. Itu berarti peran informasi dan teknologi komunikasi menjadi demikian penting. Pengaruh era digital telah membuat kebudayaan, ideologi, ekonomi, politik, dan apapun tanpa batas (borderless), menjadikan semua yang ada makin kabur, mencair, dan bahkan menghilang. Sekadar data, dikutip dari Laporan Survei Internet APJII 2019-2020, saat ini pengguna ponsel di Maluku Utara tahun 2020 berjumlah 824.211 orang, dari populasi jumlah penduduk Maluku Utara yang berjumlah 1.282.937 jiwa.
Kita berada di ranah digital sebagai ruang publik demokratis-deliberatif, tempat semua orang dapat mengakses informasi, menyampaikan pendapat atas pemikiran secara bebas, serta dapat berpartisipasi aktif dalam perbincangan publik tentang urusanurusan bersama. Inilah Demokrasi Digital dan kebebasan berinternet, karena itu Maluku Utara harus tetap eksis memanfaatkan ruang-ruang kesempatan itu untuk saling merawat kepercayaan.
Kita juga kini hidup berdampingan dengan pandemi yang mulai melandai namun belum berakhir, di tengah terpaan persoalan ekologis yang makin memiriskan, Maluku Utara dihadapkan pada Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2021 sebesar 5,06 persen atau naik sebesar 0,97 persen dibanding TPT Februari 2020. Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Maluku Utara tahun 2020 mencapai 68,49 mengalami penurunan sebesar 0,21 poin dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 68,70. Sekalipun begitu, kita patut bersyukur, bahwa jumlah penduduk miskin di mana pada September 2020 berkisar sebesar 87,52 ribu orang (6,97 persen), kini, per Maret 2021 turun menjadi 6,89 persen.
Di tengah persoalan yang mendera, perekonomian Provinsi Maluku Utara pada triwulan I 2021 justru tumbuh sebesar 13,45% (yoy), setelah triwulan sebelumnya hanya tumbuh sebesar 9,48% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara pada triwulan I 2021 menjadi yang tertinggi kedua di Indonesia setelah Provinsi Papua. Ini patut kita apresiasi.
Hal lain yang membahagiakan, ditetapkannya Provinsi Maluku Utara sebagai tuan rumah pelaksanaan STQ Nasional XXVI, yang insha Allah akan berlangsung pada 16-25 Oktober 2021 nanti. Inilah perhelatan yang memberikan nyala spirit dan harapan untuk mengelola STQ secara baik. Kiranya, STQ ini, mampu menumbuhkembangkan pemahaman dan pengalaman membaca isi kandungan Al Qur‟an, terutama bagi generasi milenial yang unggul sebagai modal menuju Indonesia yang hebat dan maju. Kita harus membuktikan sebagai tuan rumah yang profesional dalam menyukseskan STQ Nasonal ini, yang berbeda dengan pelaksanaan STQ Nasional lainnya.
Jika kita ingin keluar dari dunia fantasi menuju realitas kemajuan Maluku Utara di masa depan, secara politik kita harus segera keluar dari kegaduhan kontestasi dan tengkar politik yang mahal menuju kesungguhan melakukan penataan institusi pembuat kebijakan, institusi produksi, dan institusi pengetahuan, dengan berdasarkan atas apa yang diistilahkan Max Weber sebagai ethics of responsibility (etika pertanggungjawaban) dalam membesarkan negeri ini. Dan di situlah pusat pertaruhan masa depan Maluku Utara.
Harapan masih ada dalam genggaman. Jangan kita lepaskan. Negeri ini harus berani keluar dari berbagai ikatan-ikatan yang membelenggu. Nasib negeri ini dalam lima, sepuluh, atau sekian puluh tahun ke depan, sangat ditentukan sikap dan langkah tegas hari ini. Berbagai kegagalan yang telah terjadi akibat belum terkelola secara maksimal, harus segera dibenahi. Mari kita asah sensivitas pada persoalan-persoalan konteks lokal, mari kita galang kecerdasan kolektif yang kita miliki, mari kita jaga konektivitas, kohesivitas, mental spritual, dan saling percaya di antara kita sebagai sumber mata air modal sosial, dalam upaya memaknai alaf baru, yang sekarang kita hadapi dan lakoni.
Sekali lagi, masa depan harus kita gapai dengan merebut kesabaran dan keseriusan hari ini, sebagaimana ungkapan Leo Tolstoy (Penulis, Politisi Rusia, 1828-1910): “Dua petarung yang paling kuat adalah: kesabaran dan penguasaan waktu.”
Mengakhiri catatan refleksi dan muhasabah ini, saya ingin mengingatkan kembali kepada kita semua, apa yang kerap kali diserukan Bung Hatta (1928) : “Hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku.” Mari rebut masa depan…! Maluku Utara, Jangan Kehilangan Harapan…!
* Penulis adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP UMMU