Hukum  

Dua Dugaan Megakorupsi di Ternate Ini Takut Disentuh Penegak Hukum

Ilustrasi korupsi. (istimewa)

TERNATE, NUANSA – Sikap diam penegak hukum di Maluku Utara (Malut), khususnya di Kota Ternate, ketika di depan mata terjadi dugaan praktik korupsi, patut dicurigai. Dugaan korupsi anggaran kegiatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) tahun 2018 senilai Rp 5 miliar lebih dan dugaan penyalahgunaan APBD Ternate tahun 2018 sebesar Rp 2,8 miliar untuk pembelian lahan eks Rumah Dinas Gubernur Malut, bukan lagi sebuah rahasia.

Dua megakorupsi itu telah terkuak, bahkan sudah diketahui publik luas. Sayangnya, penegak hukum tidak bisa berbuat banyak. Informasi yang dihimpun Nuansa Media Grup (NMG) menyebutkan, orang-orang yang diduga terlibat dalam dua masalah tersebut terbilang terlalu “sakti”, sehingga membuat nyali penegak hukum menjadi kecil.

Terkait dugaan korupsi anggaran Haornas, beberapa waktu lalu Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Ternate, Pendi Pijabat mengatakan, proses hukum kasus ini sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan. Artinya, penyidik telah menemukan dua alat bukti yang cukup. Hanya karena Wali Kota Ternate, M Tauhid Soleman belum memenuhi panggilan Kejari, maka penyidik belum bisa merampungkan barang bukti yang sudah ditemukan penyidik selama penyelidikan dan penyidikan berlangsung.

Kejari Ternate juga sudah mengumpulkan bukti yang mengarah pada kerugian negara dari dugaan korupsi Haornas. Untuk konteks itu, Kejari masih berpatokan pada laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari sekian kasus dugaan korupsi di Maluku Utara, kasus Haornas juga disupervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus anggaran Haornas Kejari telah mengirim Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke KPK.

Tanggapan Publik

Hendra Kasim

Akademisi hukum Hendra Kasim mengatakan, Wali Kota Ternate sudah dua kali dipanggil untuk diperiksa, tetapi tidak menggubris surat dari penyidik Kejari Ternate. Berdasarkan KUHAP, kata Hendra, jika yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan yang patut, maka penyidik dapat memanggil paksa dengan dalih menghalangi proses penyidikan. “Jika yang bersangkutan tidak menghadiri dengan alasan yang patut maka penyidik dapat mendatangi yang bersangkutan untuk dimintai keterangan,” jelasnya.

Lebih dari itu, sebagai Wali Kota panutan warga Kota, sehingga ia harusnya memberikan contoh dengan menghadiri panggilan ketiga nanti atau mendatangani Kejaksaan untuk memberikan keterangan. “Kasus Haornas sepertinya sudah ditelan angin. Kejaksaan sepertinya hanya membuat gaduh ke publik seakan-akan serius menangani kasus tersebut. Kenyataannya sekarang sudah tidak jelas lagi sampai dimana penanganan kasus tersebut. Kapan Pak Wali Kota akan dipanggil lagi, juga sudah tidak jelas, “sesalnya.

Hendra menantang Kejaksaan untuk menyelesaikan proses hukum dugaan korupsi anggaran Haornas, bukan sekadar membuat gaduh publik. “Wali Kota sudah terlanjur diketahui oleh publik akan dipanggil, jika digantung seperti ini justru mengganggu nama baik Wali Kota. Segera dipanggil dan diproses menurut hukum yang berlalu, jika terlibat segera proses, jika tidak ya terjawab, dengan begitu publik tidak lagi menaruh curiga,” tegasnya.

Sekretaris KAI Malut, Roslan

Sekretaris DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Malut, Roslan menambahkan, penanganan kasus dugaan korupsi anggaran Haornas sudah tidak maksimal. Harusnya penyidik sudah bisa mengarahkan siapa tersangka dalam kasus tersebut. “Pemanggilan Wali Kota Ternate untuk diperiksa juga selalu gagal. Ini ada apa,” ujarnya.

Roslan menyarankan penyidik Kejari Ternate supaya sedikit lebih tegas dalam pemanggilan Wali Kota Ternate untuk dimintai keterangan. jika tidak, maka sampaikan kapanpun proses hukum masalah tersebut tak akan tuntas. “Proses hukum kasus ini sudah cukup lama. Kalau Wali Kota tidak lagi mengindahkan pemanggilan penyidik, maka sudah saatnya dilakukan pemanggilan paksa,” sarannya.

Eks Rumah Dinas Gubernur Malut

Dosen Hukum Unkhair Ternate, Abdul Kadir Bubu

Terkait dengan dugaan masalah pembelian lahan eks Rumah Dinas Gubernur Malut, mendapat reaksi Dosen Fakultas Hukum Unkhair, Abdul Kadir Bubu. Menurutnya, tidak masuk akal dan tentu melanggar aturan jika suatu objek tanah yang statusnya milik pemerintah, kemudian Pemkot Ternate membayarnya senilai Rp 2,8 miliar. Ia menganggap pernyataan salah satu petinggi Kejati Malut bahwa pembelian lahan itu tidak ada unsur pidana, keliru. “Ada uang negara yang dibayarkan kepada asset milik negara. Terus ada yang bilang tidak masalah. Bagi saya pernyataan itu keliru,” tegasnya.

Abdul Kadir Bubu menyarankan pihak Kejati agar tidak gegabah mengeluarkan pernyataan. Suatu ketika, kata dia, jika ada lembaga penegak hukum lain yang mengusut masalah itu, lalu ditemukan unsur pidananya, maka pihak Kejati Malut akan malu dengan sendirinya. “Lahan eks rumah dinas itu sudah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap milik pemerintah, lalu Pemkot membayarnya lagi. Apakah itu tidak ada kerugian negara? Ya tentu ada kerugian negara,” tuturnya menjelaskan.

Abdul Kadir Bubu berharap ada pihak yang mengadukan masalah pembelian eks Rumah Dinas Gubernur Malut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika diusut KPK, lanjutnya, bukan tidak mungkin akan ditemukan unsur kerugian negara dalam transaksi tersebut. “Karena putusan pengadilan itu benar-benar ada dan berkekuatan hukum tetap. Dan transaksi Pemkot Ternate ke Gerson Yapen juga benar-benar terjadi. Lalu yang tidak ada masalah itu di mana?,” ujarnya.

Syaiful Bahri

Koordinator Komunitas Jarod Maluku Utara (Malut), Syaiful Bahri juga angkat bicara. Syaiful menyarankan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Malut, Dade Ruskandar agar memerintahkan Kejari Ternate untuk menelusuri dugaan masalah pembelian lahan eks Rumah Dinas Gubernur Malut di Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, senilai Rp 2,8 miliar. “Kalau Kejari tidak bisa memproses hukum, kenapa tidak jika Kejati yang mengusutnya,” tutur Koordinator Komunitas Jarod Malut, Syaiful Bahri pada Nuansa Media Grup (NMG).

Menurut Syaiful, pembelian lahan eks Rumah Dinas Gubernur Malut sungguh tidak masuk akal. Lahan tersebut dibayar Rp 2,8 miliar, ketika status lahan sah milik pemerintah. Pada Februari 2018 lalu, uang sebesar itu informasinya ditransferkan ke Gerson Yapen, orang yang mengaku sebagai pemilik lahan. “Masuk akal di mana, masa lahan milik pemerintah dibayar oleh pemerintah. Dugaan masalah ini harusnya diusut, supaya menjadi terang,” ujarnya.

Syaiful justru mempertanyakan sikap Kejaksaan yang tidak mau mengusut dugaan masalah pembelian lahan eks Rumah Dinas Gubernur Malut tersebut. Jika Kejati tidak melakukan proses hukum, maka jangan salahkan publik jika muncul persepsi miring terhadap lembaga adhyaksa tersebut. “Publik pasti bertanya-tanya, ada hubungan apa Pemkot Ternate dengan Kejaksaan Tinggi. Kenapa dugaan masalah di depan mata tidak diusut,” tegasnya.

Sekadar diketahui, Pemkot Ternate melakukan pembayaran lahan eks Rumah Dinas Gubernur pada Februari 2018. Uang sebesar Rp 2,8 miliar ditransfer ke rekening pihak ketiga yakni Gerson Yapen yang mengaku sebagai pemilik lahan.

Padahal sebelumnya Gerson Yapen kalah dengan pemerintah di pengadilan. Tak sampai di situ, Gerson juga melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MK). Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 191 K/Pdt/ 2013, atas gugatan pemilik lahan eks Rumah Dinas Gubernur Malut, sertifikat hak milik nomor 227 tahun 1972 bahwa status pemilik lahan dikembalikan ke pemerintah, bukan milik perorang, termasuk Gerson Yapen.

Jika status lahan sudah dikembalikan ke Pemerintah, maka Pemkot Ternate tidak boleh membayar kepada Gerson Yapen yang bukan sebagai pemilik lahan sebagaimana putusan kasasi Mahkamah Agung RI, dan aset tersebut dikembalikan ke pemerintah. (tim/kov)