Oleh: Liliyanti
___________
DALAM program-program pemberdayaan perempuan maupun upaya untuk mempromosikan ‘keadilan dan kesetaraan gender’ masih perlu dukungan yang kuat dari berbagai pihak. Tetapi, dalam berbagai kelompok masyarakat, ada banyak ruang partisipasi perempuan yang tertutup. Peran domestik perempuan yang sangat kental, secara tidak langsung, telah menghilangkan ruang pada perempuan untuk dapat hidup mandiri, menjadi fenomena umum hingga hari ini. Sering muncul anggapan dan pemahaman bahwa lelaki yang bekerja keras dan perempuan yang memberikan dukungan. Tetapi banyak fakta yang justru menunjukkan bahwa perempuanlah yang kerap bekerja keras untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan sebuah keluarga, mulai didik anak hingga mencari nafkah.
Kita hidup di mana tidak terlepas dari berita atau kejadian mengenai praktik-praktik kekerasan (KDRT), dimana perempuan dan anak menjadi korban masih tinggi dalam masyarakat kita. Sebagai entitas yang secara fisik rentan, perempuan sering menghadapi proses domestifikasi oleh sistem budaya patriarkal. Kasus-kasus perkosaan ataupun pelecehan seksual yang terjadi di tempat umum seperti mobil, angkot, ojek, dan lainnya sangat menyesakkan dada.
Melihat hal ini ialah para korban mengalami dampak yang panjang, luka fisik, rusak alat-alat reproduksi, dan luka psikis yang lama dan berkepanjangan. Secara budaya masih kuat anggapan menyalahkan korban, bahwa yang justru dituduh menggoda pelaku, disalahkan karena berjalan sendirian, pulang malam, tidak memakai jilbab, atau memakai pakaian terbuka.
Dalam hal ini menyebabkan perempuan tiba-tiba bisa jatuh miskin dan berpenghasilan nol bila ia mendapatkan KDRT. Pertama, bila suaminya yang bekerja di publik dan istri di wilayah domestik, sehingga akses dana atau keuangan menjadi terputus dari suami pada istrinya. Kedua, istri yang mendapatkan KDRT cenderung stress dan larut dalam masalahnya. Untuk bisa bangkit, menumbuhkan rasa percaya diri, dan tidak menyalahkan diri sendiri pastinya memerlukan waktu yang lama. Ketiga, bila istri bekerja, memiliki keahlian dan penghasilan, lalu mendapatkan KDRT, dan bisa cepat bangkit, tetapi bisa jadi keluarga besar tidak memberikan dukungan atas kasus KDRT yang dihadapi istri.
Demikian pula pada korban kekerasan seksual di wilayah publik. Korban terkucilkan, disalahkan komunitas, bahkan ada yang diusir warga. Korban yang selama ini bekerja terpaksa memilih berhenti atau diberhentikan dari pekerjaannya. Bahkan ada perempuan korban yang bunuh diri pun tak terhitung banyakknya. Intinya, korban minim dukungan dan terputus akses ekonomi; menjadi miskin secara ekonomi dan social.
Lantas apa yang bisa kita bantu untuk para korban? Jika mendapati korban KDRT ataupun kekerasan seksual di sekitar tempat tinggal maupun dimana saja segeralah melapor. Lalu bagaimana bila di sekitar tempat tinggal situasinya baik-baik saja, tidak ada KDRT, tidak ada pula kekerasan seksual? Apakah tidak bisa berkontribusi? Tentu bisa. Dukungan anda dan kita semua justru akan menolong ribuan korban dengan cara berzakat. Isu yang dihadapi perempuan adalah isu kemanusiaan, dan setiap kiprah untuk isu kemanusiaan adalah amal keislaman, dimana seluruh institusi keislaman seharusnya ikut berperan.
Zakat merupakan salah satu kewajiban bagi kalangan muslim untuk menunjukkan kepeduliannya pada pihak lain; fakir miskin dan kaum mustadh’afin yang diistilahkan sebagai mustahik (mereka yang berhak menerima zakat). Mengapa Zakat? Dalam buku Yuli “Zakat untuk Korban Kekerasan Seksual” ini menjelaskan zakat adalah perintah dan kewajiban. Sayyid Quthb menyebutkan zakat sebagai ‘pajak social Islam’ yang wajib dibayarkan. Sebagaimana tujuan menunaikan zakat, yakni untuk kemaslahatan bersama. Agar tercipta kesejahteraan dan keadilan social dengan prinsip yang utama membantu kaum yang lemah (mustadh’afin) dan kelompok rentan. Publik umumnya mengenal mustahik ini terbagi dalam 8 golongan (ashnaf); faqir, miskin, amil, mu’alaf, riqab, raqabah, gharim, sabillah, dan ibnu sabil. Dalam buku yang ditulis oleh Yuliyanti terdapat uraian penjelasan mengenai 8 asnaf mustahik dan para korban kekerasan seksual atau KDRT menempati empat kriteria asnaf yakni fakir, miskin, riqab, dan fi sabilillah. Inilah kiranya kita perlu mengingat kembali bahwa agama memiliki fungsi untuk saling menolong, terutama golongan yang benar-benar membutuhkan. Sejauh ini, zakat lebih banyak dialokasikan untuk upaya penghapusan kemiskinan dan terfokus pada fakir dan miskin.
Merujuk pada besarnya potensi zakat di Indonesia dan besarnya jumlah para korban sudah waktunya lembaga-lembaga filantropi di Indonesia juga membuat skema pemberian zakat atau bantuan untuk para korban, harus memasukkan perspektif dan isu keberpihakan pada perempuan, salah satunya perempuan korban dan juga anak-anak korban. Pada akhirnya, melalui zakat adalah bentuk implementasi mengubah kemungkaran kasus-kasus kekerasan seksual atau KDRT, yakni bergerak memikirkan dan mendukung korban.
Yang bisa diambil point penting dalam buku Yuli, sekalipun hak-hak sudah diatur secara detail dalam berbagai undang-undang dan kebajikan kementrian/lembaga namun kesemuanya tidak menyentuh dukungan materil, baik selama proses kasusnya berlangsung ataupun keberlanjutan hidup korban setelah kasusnya selesai. Pentingnya juga sosialisasi pada masyarakat agar mendukung para korban melalui zakat, salah satunya melalui tulisan-tulisan di media online. Hal ini karena media online memungkinkan persebaran informasi secara cepat dan mudah dipahami.[]