TERNATE, NUANSA – Pelantikan 102 pejabat eselon III Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate pada Senin (15/11), kelihatannya akan memperkeruh hubungan Wali Kota M. Tauhid Soleman dan Wakil Wali Kota Jasri Usman. Pasalnya, sejumlah nama pegawai yang diusulkan Jasri untuk menduduki posisi eselon III, informasinya tidak diakomodir Tauhid.
Dari beberapa peristiwa di Pemkot yang tidak melibatkan Wakil Wali Kota, termasuk dugaan tidak diakomodirkan “orang-orang” Jasri untuk menduduki posisi eselon III, menimbulkan persepsi beragam di tengah publik. Sorotan publik kali ini datang dari Dr Helmi Alhadaar dan Dr Muhlis Hafel.
Helmi Alhadaar, yang tidak lain adalah lulusan doktor ilmu komunikasi di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu mengatakan, memang dari awal sudah kelihatan hubungan Wali Kota dan Wakil Wali Kota tidak begitu solid. “Dan ini kali keduanya,” katanya.
Ia menduga ada konflik internal. Konflik itu kemungkinan ada hubungannya dengan kesepakatan politik bersama yang tidak diakomodir satu pihak. Helmi juga menyayangkan terjadinya konflik internal, yang pada akhirnya mengorbankan banyak pihak, termasuk masyarakat.
Menurutnya, Tauhid selaku Wali Kota pasti merasa kalau pengangkatan pejabat internal Pemkot adalah hak prerogatifnya. Di sisi lain, Jasri juga pasti merasa bahwa tanpa dirinya dan PKB, Tauhid tidak bakal terpilih sebagai Wali Kota. “Dari konteks itu, pasti ada kesepakatan politik yang dibangun sejak awal dan sepertinya tidak jalan,” ujarnya.
Helmi menuturkan, hubungan yang retak dan kian memburuk antara Tauhid dan Jasri, sudah pasti menimbulkan efek buruk, termasuk kepentingan politik 2024 nanti. Sehingga itu, Helmi menyarankan agar keduanya mengakhir konflik tersebut, karena akan memunculkan dampak tidak baik bagi keduanya. “Terutama Wali Kota. Karena dirinya membutuhkan tim kerja yang efektif untuk mendukung semua visi-misi mereka,” saranya menegaskan.
Helmi juga menyarankan Wali Kota supaya membangun komunikasi yang intens dengan Wakil Wali Kota. Karena dengan cara itu kebersamaan kembali terbangun, termasuk untuk dituntaskannya program kerja Ternate Andalan. Jika tidak diatasi cepat, maka akan mengganggu kerja-kerja Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Apalagi sekarang ini Pemkot diperhadapkan dengan banyaknya masalah yang muncul. “Kalau situasi sudah begitu, tentu bisa membuat citra pemerintahan yang buruk,” jelasnya.
Terkait dengan postingan istri Wakil Wali Kota di facebook, menurut Helmi, itu mencerminkan ekspresi dari Wakil Wali Kota. Dan, hal itu akan menimbulkan efek buruk di mata publik. Wali Kota setidaknya mengambil peran untuk merangkul semua pihak, termasuk Wakil Wali Kota. Wakil Wali Kota, kata Helmi, memiliki pengaruh besar, karena ia adalah ketua partai. Sayangnya, Wali Kota hanya memikirkan kelompoknya. Dengan demikian, Wakil Wali Kota merasa dirinya tidak mempunyai peran.
“Walaupun Wali Kota mempunyai perhitunagn sendiri, kemudian mengangkat orang-orangnya untuk mendukung program Pemkot, Wakil Wali Kota sudah pasti merasa tidak nyaman dengan situasi yang begitu. Wakil Wali Kota bisa saja marah karena merasa berperan besar pada pemilihan kepala daerah. Meski begitu, Wali Kota tetap berpegang pada aturan formal. Inilah yang membuat kominikasi menjadi macet dari kedua pihak,” tuturnya.
Sementara Dr Muhlis Hafel lebih melihat pada efektifitas roda pemerintahan Pemkot Ternate. Menurutnya, Wali Kota bisa mengefektifkan roda pemerintah Pemkot setelah beberapa kebijakan yang ia ambil, termasuk pelantikan sejumlah pejabat tersebut.
Muhlis menganggap keputusan Wali Kota melantik 102 pejabat eselon III sudah rasional. Sebab, pengangkatan pejabat ini adalah ranah pemerintahan yang mesti dilihat dari sisi kepentingan pengelolaan birokrasi. “Yang dilihat adalah berkaitan dengan the actual govermental mechanisme atau the socio political sphere yakni pola keadaan dan infrastruktur atau pola serta tata hubungan lembaga-lembaga sosio politik yang nyata dalam mekanisme pemerintahan negara. Dan saya menyambut baik karena memang dilakukan Wali Kota bersandar pada langkah-langkah politik pemerintahan,” jelasnya.
Dalam hal penataan birokrasi, lanjut Muhlis, ada dua versi yang harus dilihat, yakni menata birokrasi dan membuat kepentingan dalam pemerintahan. “Kalau menyangkut persoalan pemerintahan, harus perlu ditata. Sekarang mau bikin pelayanan yang baik atau membuat kepentingan dalam pemerintahan. Jadi kalau orang selalu berada pada kepentingan, berarti merusak tata kelola pemerintahan, dan disaat seperti ini kita menginginkan tata kelola yang baik,” pungkasnya. (ano/rii)