Oleh: Basri Amin
Kini kita patut menandai, bahwa orang-orang muda (kita) di negeri ini mengalami guncangan rujukan dan keteladanan. Nama-nama pejabat, orang-orang sekolahan, para juara, dan para pengusaha terus bertambah dan berubah setiap waktu, tapi mereka tak jua berhasil (sepenuhnya) menjadi “rujukan”, apalagi menjadi teladan dan pemimpin yang punya legacy dan pencapaian luhur. Yang banyak dirayakan adalah kemenangan angka-angka, bukan kebenaran nilai-nilai yang melintasi panggilan zaman dan generasi.
Generasi muda kita, sebagaimana tampak di amatan saya, mengalami “kebanggaan yang berjarak” dengan para pemimpinnya. Di luar itu, terpola pula jarak lain yang lebih serius, yakni jarak dengan sesamanya sebagai warga bangsa. Kita terpilah-pilah dengan identitas yang terpecah karena persepsi normatif dan asesori hidup: antara golongan kaya dan golongan biasa; antara turunan pejabat dan keluarga pekerja; antara yang menumpuk aset-aset pribadi di berbagai ruang publik dan kaum pinggiran yang hidupnya tergantung pada konsumsi (kredit) dan bisnis (cicilan).
Terasa pula bahwa generasi masa kini tak punya cara menemukan patokan-patokan moral dan intelektual dalam ukuran sehari-hari. Mereka kesulitan menyebut nama-nama kampion terbaik di bidang-bidang yang mengubah hajat-hidup orang banyak, yang terakui oleh bangsanya dan dunia. Mereka juga tak punya sumber belajar yang objektif dalam menemukan itu semua. Di buku-buku pelajaran, “pembelajaran moral” yang potensial mereka bisa simak dan hayati terlalu menumpuk di sebuah zaman di mana anak-anak kita tak punya koneksi psikologis dan geografis sedikit pun. Nama-nama pahlawan yang hebat nun jauh di sana, di pulau dan daerah-daerah yang tak pernah mereka kunjungi…
Jarak demik jarak terus melebar –dalam ukuran waktu dan tempat–, dan semua itu (hanya) menyisahkan daftar hapalan (peristiwa) yang tak bermakna. Alih-alih menjadi pelajaran, yang membesar justru sebagai beban-beban yang memilukan. Kisah-kisah getir tentang kemiskinan dan kesenjangan, keadilan dan hukum yang diinjak, lembaga pendidikan yang melahirkan “para tukang” dan pengangguran, kekuasaan yang gemuk dengan regulasi dan praktik korupsi; sumberdaya alam yang dikuras habis-habisan, serta harmoni sosial yang (kini) rentan tercabik-cabik, dst.
Keterceburan di media sosial dan suguhan tontotan media lebih banyak melebarkan ruang-ruang hampa akan cita-cita masa depan. Hadirnya sosok-sosok hedonis dan oportunis sangat terang-benderang merusak (struktur) kognisi dan (kultur) afeksi anak-anak kita. Jika tak percaya, ajukanlah pertanyaan-pertanyaan biografis yang memadai kepada mereka, termasuk di level mahasiswa di perguruan tinggi. Saya banyak menemukan, bagaimana “kedangkalan” pengetahuan itu terjadi. Mereka masih banyak yang gagap dengan abad ini.
Secara lokal, tanpa bermaksud berlebihan, produksi dan reproduksi pengetahuan di kalangan muda kita di Gorontalo belum tampak signifikansinya. Di beberapa sekolah unggulan di daerah ini, demikian juga di jurusan-jurusan yang “sehat” iklim akademisnya, tentulah kita berbangga akan pencapaian mereka. Meski demikian, ruang yang lebih luas yang menjamin perkembangan selanjutnya yang lebih membumi-berdampak, makin menjauh di pelupuk mata. Setidaknya, kita tak punya instrumen dan media yang mampu mewadahi atau memproyeksi perkembangan kemajuan anak-anak kita. Kita tak punya pusat-pusat unggulan yang mengawal perkembangan ilmu pengetahuan dan wawasan kebudayaan yang handal ke masa depan.
Jargon “manusia unggul” dan visi “Indonesia Emas 2045” membutuhkan konsolidasi di tingkat lokal dan regional. Dinamika (hadiah) demografi kita tak bisa disikapi sederhana dengan ilmu-ilmu lama yang semata lincah menghitung angka-angka dan fakta-fakta material yang disertai gelombang-gelombang (kurva) analisis, tetapi seharusnya mampu dirumuskan sejak dari dasar-dasar kebudayaan dan spirit keIndonesaan kita. Apa itu? Adalah kebangsaan yang etosnya terpantul dalam tradisi pergaulan dunia dan kemajemukan lintas bangsa. Adalah juga, dari sebuah struktur jiwa bangsa yang tumbuh-kokoh dari kesadaran yang egaliter dan demokratis, termasuk dalam soal-soal etik berpemerintahan/bernegara dan visi tata-kelola sumberdaya.
Generasi baru akan tetap saja mengalami kesulitan produktif. Ini terjadi bukan karena “kekangan” dari sektor kekuasaan yang arogan, melainkan berupa sikap-sikap keseharian kita yang gagal menciptakan iklim produktif yang bersentuhan langsung dengan kalangan muda. Percakapan yang tidak menggugah aspirasi penemuan baru di ruang-ruang pendidikan; sikap-sikap defensif yang mereduksi hak-hak anak-anak kita di bidang-bidang yang mewadahi talenta mereka, adalah bentuk-bentuk dari “iklim sosial” yang melemahkan proses “menjadi unggul” sebagai bangsa.
Kita cenderung abai dengan kondisi ini, dan terlalu percaya dengan normalitas zaman yang demikian terbuka terhadap informasi dan komunikasi; sembari yakin bahwa teknologi adalah jawaban atas segalanya. Fatal, bukan? Justru, teknologi adalah “alat” bagi sebuah pencapaian atas kepentingan (interests) tertentu. Bangsa-bangsa seperti China, India, Korea Selatan, Singapore, dan,–-yang paling fenomenal 20 tahun terakhir ini—Vietnam, mereka semuanya sangat jelas berhasil merasuki jiwa bangsanya dengan “interest” abad 21. Kalau kita cermati di CNN misalnya, sangat terasa bagaimana Vietnam dewasa ini menggerakkan ekonomi globalnya. Jika Anda kunjungi beberapa kampus terbaik di dunia, Anda akan rasakan bagaimana interest itu dikerjakan oleh kalangan muda Vietnam yang sedang belajar.
Mimpi untuk melahirkan etos “pergaulan dunia” di kalangan muda kita, termasuk di Gorontalo, sudah harus dikerjakan lebih progresif. Jangan lagi dengan retorika, tapi sudah harus ditancapkan sebagai “panggilan etis” kegenerasian. Dengan segala maaf, cakrawala seperti ini masih bergerak di skala kecil, terutama di kalangan keluarga berada yang dan yang terdidik –itu pun, saya kira, belum merata–. Jika ini yang terus membesar, daerah kita hanya akan menjadi “daerah pinggiran” yang hanya bergerak dan membangun karena negara masih bergerak dan “memberi” sepenggal potongan (persentasi) kue APBN republik ini.
Tak ada yang salah dengan jatah negara dan hak pembangunan untuk daerah, tapi dengan itu pula kita mestilah membuka mata tentang daya saing dan produktivitas kita. Bahkan, yang harus intens kita renungkan, bahwa dengan “kue APBN” itu juga kita berkelahi satu sama lain, berebutan di kursi-kursi kekuasaan dan kewenangan, serta sebagiannya memilih menjadi pemain luar yang lincah (ikut) menyedot rente-rente ekonomi di sisi-sisi sampingnya. Percakapkanlah dengan serius tentang kesenjangan dan kemiskinan kita; tentang mutu hidup masyarakat kita di berbagai tingkatan.
Belum banyak yang berubah secara fundamental. Secara mentalitas, yang tercipta di tingkat lokal justru mental “menunggu” dan “meminta”, bukan etos bergerak dan menggerakkan. Yang terjadi adalah apatisme terhadap gagasan perubahan. Yang banyak kita rayakan adalah klik kelompok yang peka dengan cara-cara jangka pendek di medan kuasa dan kapital. Figur-figur status quo masih melilit banyak sumberdaya dan institusi. Terpampang jarak besar antara keIndonesiaan yang hendak jadi kekuatan ekonomi dunia tetapi terhalang oleh lemahnya kepemimpinan regional dan lokal yang mampu “membaca” perubahan besar.
Posisi (hirarki kewenangan) lebih dipentingkan karena akumulasi kuasa daripada posisioning (ruang gerak) yang mementingkan peran-berdampak yang mensyaratkan misi perbaikan yang konsisten. Jika posisi lebih banyak dikuasai oleh “periode” dan “persepsi kelompok”, maka posisioning dilingkupi oleh aspirasi bergerak dalam ukuran “zaman baru” dan “panggilan generasi”. Itulah yang dikerjakan pemimpin sejati. Cobalah Anda periksa di sekeliling Anda! Sepertinya pejabat makin banyak, tapi pemimpin terasa makin sedikit. Bagaimana?
Penulis adalah Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)