Provinsi Maluku Utara (Malut) dimekarkan pada 4 Oktober 1999, berdasarkan Undang-Undang (UU) nomor 46 tahun 1999. Sebelum dari itu, Malut menjadi kabupaten dari Provinsi Maluku. Meski usia daerah ini sudah memasuki 22 tahun, tetapi pembangunan infrastruktur belum maksimal. Pada Sabtu (12/2) malam, Society Centre, Lembaga Advokasi Perencanaan Pembangunan, menggelar dialog terkait pembangunan di Hotel Bukit Pelangi. Berikut laporan wartawan Nuansa Media Grup (NMG).
Tanwin Fataha – TERNATE
Dialog itu menghadirkan narasumber berkompeten di bidangnya masing-masing. Mereka adalah Ketua Komisi III DPRD Maluku Utara Zulkifli Hi. Umar, Akademisi Unkhair Ternate Dr. Aziz Hasyim, Tim Leader Kotaku OSP 8 Maluku Utara Syamsudin Genda, dan Peneliti Society Centre M. Faisal Banapon. Dialog dengan tajuk “Kualitas Pembangunan Infrastruktur di Maluku Utara”, berlangsung hingga lebih dari tiga jam.
Zulkifli Hi. Umar selaku pembicara pertama mengatakan, pembangunan mestinya tidak dipandang sebatas usia daerah, tetapi harus ada keseriusan kolektif. Kesadaran untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, harusnya ditubuhkan oleh pemerintah daerah. Dalam konteks yang lebih luas, menurut dia, pembangunan infrastruktur, bukan dalam aspek berapa lama usia pembangunan fisik tersebut.
Atas dasar itu, politisi PKS tersebut mengajak semua pihak agar menelusuri dasar lahirnya sebuah pembangunan. Pembangunan, lanjutnya, harus berpatokan pada RPJMD yang sudah ada di tangan pemerintah. Zulkifli mengatakan, aspek perencanaan dan kebijakan pembangunan Maluku Utara saja sudah bermasalah. Kemudian dalam sebuah pelaksanaan pembangunan, mestinya berangkat pada tiga aspek, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Bukan hanya realisasi pembangunan, justru baru awasl perencanaan saja sudah muncul masalah. Akibatnya, perencanaan dan realisasi pembangunan fisik di lapangan tidak sesuai. “Tetapi kadang-kadang, satu proyek itu karena perencanaannya belum ada, sehingga harus menunggu perencanaan itu terlebih dahulu. Pelaksanaan itu akan berjalan manakala ada anggaran. Sehingga ini yang menjadi problem pada aspek pelaksanannya,” ujarnya.
Fatalnya lagi, bahkan ada kegiatan fisik di provinsi yang pengawasannya sudah selesai, tetapi pembangunan fisik belum tuntas. “Lalu bagaimana mau mengawasi satu pekerjaan, sementara yang diawasi saja bermasalah seperti itu, dan pengawasan tidak maksimal. Sudah monopoli, tidak maksimal lagi,” beber Zulkifli.
Akademisi Universitas Khairun Ternate, Dr. Aziz Hasyim menjelaskan, pembangunan infrastruktur itu bukan persoalan teknis, melainkan makna pembangunan, dan itu terletak pada hak dan kemanfaatan manusia. Sehingga apa gunanya pembangunan yang berkualitas, sementara kemanfaatannya tidak dirasakan oleh manusia.
“Berangkat dari tema ini, tolok ukur kualitas itu yang mana? Aspek fungsionalnya adalah secara ekonomi bisa menurunkan data gagasan yang baik. Dalam perspektif ekonomi, kualitas infrastruktur itu bukan pada seberapa jauh indikator kemampuannya membangun pembangunan antar wilayah,” tandasnya.
Jadi, kata dia, kehendak memperbaiki pembangunan infrastruktur itu bukan menurut orang lain, tetapi harus dibangun menurut perspektif kita. “Ukuran kualitas pembangunannya apakah kita menganggap itu sudah berkualitas, sehingga harus menyentuh pada masyarakat dalam perspektif sosial?,” tukasnya.
Tim Leader Kotaku OSP 8 Maluku Utara, Syamsudin Genda menambahkan, pembangunan skala lingkungan sudah berjalan programnya seperti di Salero Kota Ternate tepatnya di pesisir pantai, adalah salah satu program Kotaku yang dikerjakan oleh masyarakat dengan anggarannya 1 miliar yang dikelola oleh masyarakat sendiri.
“Begitu juga di Kelurahan Jambula untuk penanganan air bersih, dan Dufa-Dufa untuk penanganan kebencanaan. Misalnya penanganan untuk longsor yang berada di dekat benteng Toloko itu. Mudah-mudahan masyarakat bisa merasakan manfaatnya,” ucapnya.
Pada Maret nanti, pihaknya akan melakukan survei terkait dengan kepuasan masyarakat. Setelah dibangun, akan ada konsultan tersendiri lagi yang akan melakukan evaluasi terhadap kepuasan masyarakat tersebut.
“Karena ini adalah program publik. Sehingga kita akan uji lagi terkait kepuasan masyarakat. Dan yang melakukan pengujian itu adalah konsultan tersendiri yang independen,” katanya.
Menurut dia, pihaknya sudah mencoba untuk membantu Pemkot Ternate dan Tidore, namun ia melihat Pemkot belum terlalu menarik untuk melihat itu. Ia tidak tahu apa paradigma mereka. Padahal menurutnya, itu akan sangat membantu bagi mereka ketika ingin membuat sebuah perencanaan.
“Tapi saya lihat juga belum terlalu menarik bagi mereka. Sehingga mereka menganggap bahwa data itu hanya konsumsi Kotaku. Padahal itu kan persoalan kota yang harus mereka lirik untuk melakukan perencanaan yang lebih bagus terkait dengan data-data itu,” tuturnya.
“Dalam waktu dekat, kami akan melakukan serah terima data. Mudah-mudahan Pemkot bisa memanfaatkan dengan baik untuk kesiapan perencanaannya dari pihak Kotaku ke pihak Pemkot,” sambungnya mengakhiri.
Sementara Direktur Society Centre, Imam Hizbullah dalam sambutannya menyampaikan, dialog ini adalah bentuk eksistensi sekaligus pihaknya ingin berkonstribusi di Maluku Utara. Mengenai tema yang diusung ini adalah isu yang sudah menjadi bahan pembicaraan di khalayak.
“Sebenarnya kita semua sudah mengetahui pokok permasalahan infrastruktur di Maluku Utara, namun jarang dibicarakan. Olehnya, isu ini diangkat sebagai bahan perbicangan di ruang-ruang diskusi seperti ini,” ujarnya.
Ia bilang, pihaknya ada rencana kegiatan-kegiatan untuk terjun langsung di masyarakat, misalnya pendampingan. Merancang satu rencana pengembangan desa secara komprehensif. “Karena saat ini kita tahu bahwa rencana pengembangan itu hanya terbatas pada tingkat kelurahan/kecamatan. Sehingga kami akan turun sampai ke tingkat desa,” terangnya. Ia berharap pihaknya tetap eksis untuk menghadirkan diskusi-diskusi seperti ini. Bahkan dimungkinkan ke depannya akan menghadirkan pemateri nasional. (*)