Oleh: Ibrahim Yakub, Mardania Gazali dan Nurlaila Kadarwati
Temu kenal singkat tentang conten (bisik hukum).
Judul ini terbilang begitu mengerikan bagi pembaca yang notabenenya mengikuti perkembangan tambang di Indonesia, pastinya mengundang ragam pertanyaan pada persoalan tambang. Tidak ada habis-habisnya diruang publik isu ini diperbincangkan judul ini hadir sebagai fokus pembahasan dari konten bincang asik seputaran hukum (bisik hukum).
Konten bincang asik seputar hukum (bisik hukum) dalam perjalanannya sejauh ini dikelola oleh perempuan hebat yakni Mardania Gazali,S.H. Tentu ini merupakan terobosan ide yang coba diambil perankan secara inovatif oleh salah satu dari sekian banyak perempuan yang saat ini lagi melanjutkan strata dua (S2) di kampus Universitas Khairun Ternate dengan program magister ilmu hukum. Bincang asyik hukum pada episode kedua ini hadir menelaah mengenai dengan tema “ ada apa dengan pertambangan di Indonesia” judul ini kemudian dilihat dalam dua prespektif yakni hukum dan ekonomi.
Namun sebelum pada dua pendekatan tersebut topik ini diulas lebih awal secara umum oleh (host) mardania gazali,S.H. Bahwa pertambangan sendiri menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Diskursus mengenai topik ini berangkat dari beberapa persoalan umum yang sering dibicarakan yakni mengenai pendapatan negara, lingkungan, izin pertambangan, CSR, hingga kesejahteraan rakyat. Amatan dari beberapa persoalan ini yang membuat lahirnya gagasan mengenai “ada apa dengan pertambangan Indonesia” merujuk pada prespektif ekonomi dan prespektif hukum.
Ada apa dengan pertambangan di Indonesia (dalam prespektif ekonomi).
Selama ini sektor pertambangan menjadi salah satu sektor ekonomi yang bisa menjadi tumpuan pemerintah daerah dan nasional untuk meningkatkan pendapatan daerah, maupun pendapatan nasional, bahkan mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang ada.
Indonesia memiliki banyak kandungan sumber daya dalam pertambangan dimana tercatat memiliki salah satu logam nikel terbesar di dunia sekitar 52% atau (72 juta ton/139 juta ton). Selain itu ada jenis-jenis logam yang begitu bervariasi di Indonesia dimana sesuai rilis data (Badan geologi kementerian ESDM 2019) tercatat emas 11,4 miliar bijih ton, perak 6,44 miliar bijih ton, timah 3,87 miliar bijih ton, tembaga 12,46 miliar bijih ton, nikel 9,31 miliar bijih ton, bauksit 3,3 miliar bijih ton, besi 12,7 miliar bijih ton. Dengan jumlah jenis logam yang bervariasi ini sangat mulus progres pertambangan menciptakan lapangan kerja alternatif khususnya masyarakat sekitar.
Dari sisi pendapatan masyarakat mendapat pemasukan secara berkala dan tidak perlu menunggu musim. Ini berimbas pada menurunnya tingkat pengangguran dan meningkatnya tingkat partisipasi kerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun dari 5.15% pada Agustus 2020 menjadi 5.06% pada Februari 2021. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) naik dari 64.28% pada Agustus 2020 menjadi 64.31% pada Februari 20214 . Sektor penyumbangnya adalah pertambangan, penggalian, dan pengolahan.
Dalam fenomena lain aspek royalti dan CSR (corporate social responsibility), cenderung masih menjadi polemik sampai saat ini. Royalti perusahaan pertambangan hari ini ketika ada pergeseran kebijakan dari 13,5% dalam perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) ke izin usaha pertambangan khusus operasi produksi (IUPK OP) sebesar 15% membuat pelaku usaha terbebani karena menganggap bahwa ketetapan yang nanti berlanjut menjadi peraturan presiden itu hanya disesuaikan dengan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak linear dengan harga pertambangan dipasar dunia internasional. Bahkan realisasi royalti pelaku pertambangan ke negara dan negara ke daerah secara kuantitas belum terlalu terbuka ke publik. Hal yang sama juga pada CSR perusahaan yang hanya mejalankan program sosial ekonomi dan mengabaikan aspek ekologi sehingga mencederai perintah undang-undang nomor 3 tahun 2020 mengenai asas manfaat ekonomi,sosial dan ekologi sebagai tanggungjawab perusahaan.
Ada apa dengan pertambangan di Indonesia (dalam prespektif hukum)
Sebagai salah satu penyumbang devisa dalam beberapa dasawarsa terakhir, pertambangan dengan segala bentuk dan jenisnya menjadi isu paling aktual untuk dibahas. Selain, memiliki dimensi paling berpengaruh sebagai penyumbang devisa bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Meskipun berkontribusi bagi negeri, aktivitas tambang sarat dengan beragam persoalan kontroversi, yang terjadi ialah disorientasi atas tujuan “penguasaan negara”
Pengaturan pertambangan di Indonesia, bilamana ditelaah dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, konstitusi secara eksplisit mengaturnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yakni “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Pemaknaan tentang frasa “dikuasi oleh negara” terhadap kekayaan alam tidaklah dalam artian dimiliki oleh negara. Melainkan, sangat berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan rakyat dan selaras dengan tujuan umum dibentuknya Negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum (welfare state).
Dalam aspek hukum, dimensi pertambangan merupakan bagian fungsional. Sebab, segala aspek yang terkait dengan tambang tentu bersinggungan dengan aspek ekologi (lingkungan) sebagai bagian dari genus dari ilmu hukum itu sendiri. Kesadaran ini muncul ketika isu lingkungan di dengungkan pada secara internasional pada Konferensi Stockholm 1972 dan mulai diimplementasikan ke hukum Indonesia sepuluh tahun kemudian dengan lahirnya UU No. 4 tahun 1982 dan kemudian menjadi UU No. 23 Tahun 1997 yang bersifat Umbrella Act. Dan yang terakhir adalah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup.
Sejarah pertambangan Indonesia dimulai dengan hadirnya tambang batu bara Ombilin sebagai tambang pertama di Indonesia yang berlokasi di Sawahlunto, Provinsi Sumater Barat dan beroperasi sejak tahun 1868 di bawah pimpinan Kolonial Belanda hingga akhirnya kegiatan produksi dan izin pertambagan berakhir di tahun 2019. Selanjutnya, hak konsesi atau pemberian hak oleh pemerintah Indonesia dilakukan PT Freepot dengan ekploitasi tanpa batas dan dapat diperpanjang sewaktu-waktu membuat Indonesia sudah merugi secara ekonomi dan ekologi. Hal ini didorong dengan kebijakan Presiden di zaman orde baru dengan dalih untuk pembangunan membuat kita terbuai.
New York Agreement yang disepakati setelah turunnya Presiden Soekarno dan kemudian digantikan dengan Presiden Soeharto membuka pintu yang lebar bagi keleluasaan ekploitasi sumber daya alam Indonesia. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan kemudian UU No.11 tahun 1967 seakan menjadi kejahatan yang terorganisir. Bagaimana tidak UU No. 1 tahun 1967 seolah menjadi pintu pembuka bagi ekploitasi pertambangan yang sebagian besar berada di hutan dimana proses hulu sampai dengan hilir membutuhkan biaya investasi tinggi sehingga menjadi perkawainan yang manis. Ketiga UU tersebut bermutasi menjadi gurita yang siap memakan korban (manusia dan lingkungan) yang ada di sekitarnya dan akhirnya tinggal menunggu untuk mati.
Walaupun telah ada usaha untuk memperbaiki kerusakan atau pencemaran tersebut, tapi masih dirasa kurang dan tidak menyentuh hal yang substantif. Seperti pengaturan Pengelolaan dan Pengawasan Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba) Prinsip pemberian Izin Usaha pertambangan (IUP) yang di atur dalam meliputi 2 hal yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi, yang meliputi studi kelayakan, reklamasi, dan kegiatan pasca tambang untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial. Namun, efek dari aktivitas pertambangan tersebut tetap konstan tidak hanya kerugian ekonomi tetapi juga menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan masyarakat.
Sebut saja meningkatnya eskalasi gesekan antara perusahan tambang dengan masyarakat, berubahanya pola agraris masyarakat menjadi masyarakat tambang dan yang terakhir yang selalu jadi bahan pembicaraan adalah rusaknya dan tercemarnya daerah sekitar tambang. Kesan buruk dalam kegiatan usaha tambang yang bersifat zero value yang diakibatkan dari berkembangnya kegiatan pertambangan yang tidak memenuhi kriteria. Olehnya, proses kegiatan tambang perlu melibatkan semua pihak terkait, antara lain unsur birokrat jujur yang sudah harus mulai memberikan bimbingan dan pengawasan sejak tahap perencanaan sampai pascatambang (mine closure).