Opini  

KOTA MUNDUR

Hendra Kasim

Oleh: Hendra Kasim

Advokat & Legal Consultant/Direktur Eksekutif PANDECTA (Perkumpulan Demokrasi Konstitusional)

 

Begitulah Indonesia, demokrasi telah dipilih sebagai model pemerintahan yang digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pilihan ini dikonsolidasikan sampai ke pemerintahan daerah.

Konsekuensinya adalah menyelenggarakan pemilihan langsung dalam model pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Agenda konstitusional yang menelan biaya tidak sedikit itu diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang demokratis, mumpuni baik secara kapasitas maupun kapabilitas. Dengan legitimasi publik yang cukup kuat, sepatutnya pemerintahan berjalan berdasarkan mandat rakyat bukan berdasarkan kalkulasi politik tanpa hati.

Demoriter

Pemilihan langsung merupakan corak paling utama dalam pemerintahan demokratis. Meskipun salah satu cita-cita pemilihan langsung adalah memastikan kepala daerah hasil pemilihan menjalankan pemerintahan yang demokratis. Faktanya, dengan segala kompleksitas, hasil pemilihan langsung tidak pasti melahirkan kepala daerah yang demokratis serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup.

Tidak sedikit contoh pemerintahan hasil pemilihan langsung justru berjalan mundur kearah otoriterianisme. Tipologi pemerintahan seperti demikian menjebak proses demokrasi pada praktik otoritarianisme. Dalam kajian ketatanegaraan model seperti ini dikenal dengan demoriter. Ali Rido (2021) menjelaskan rezim demoriter adalah rezim yang bentuk demokratis, tetapi isinya otoriter. Senada dengan Ali Ridho, Bambang Widjojanto dalam Ali Ridho (2021) menulis, demoriter merupakan sebuah watak dan wajah baru dari sikap otoriter yang berselimut demokrasi.

Praktik demoriter dimulai dari upaya ‘sapu bersih’ terhadap orang-orang yang berbeda pilihan politik pada saat pemilihan. Non job, rolling jabatan, mutasi, dilakukan secara massif dengan alasan klasik manajemen birokrasi yakni ‘penyegaran’.

Meskipun tidak sama persis, kebijakan seperti ini mengingatkan kita pada politik “gentong babi” (pork barel) dalam lanskap demokrasi AS. Politik jenis ini didefinisikan sebagai kebijakan pemerintah terpilih untuk mengalokasikan anggaran bagi konstituen yang telah berjasa mengantarkan mereka pada tampuk kekuasaan. Pada awalnya, tradisi “gentong babi” dianggap wajar. Namun, setelah perang sipil (1865), politik semacam ini dianggap tercela. (Masdar Hilmy: 2017)

Politik pork barel telah lama ditinggalkan. Namun, cara-cara primitif ini masih sering digunakan dalam pemerintahan hasil pemilihan langsung di republik ini, baik tingkat pusat terutama pada pemerintahan daerah. Model politik balas dendam dianggap lumrah. Pembagian kantong keuangan daerah kepada pendukung, bagi-bagi jabatan dan ‘menghabisi’ mereka yang berbeda pilihan politik dianggap sebagai bentuk dari reward and punhisment. Sifat kekanak-kanakan ternyata masih subur dalam jalan demokrasi yang kita pilih.

Mobrokrasi

Saudara kembar potensial demoriter adalah mobrokrasi. Ali Ridho (2021) mendefenisikan mobrokasi dalam 2 (dua) hal, pertama, suatu tata pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh orang yang tidak paham dengan system pemerintahan. Kedua, kekuasaan dikendalikan oleh massa akibat ketidakpuasan atas hasil pilkada. Pada kesempatan ini, penulis hendak menambah satu batasan morbokrasi sebagai batasan ketiga yakni pemerintahan yang dikendalikan bukan oleh kepala daerah terpilih (dikontrol hidden hand). Kesempatan ini, dari tiga batasan mobrokasi tersebut di atas, batasan pertama dan ketiga yang berkaitan dengan tema tulisan ini.

Demokrasi yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap orang membuka peluang para calon yang tidak mengerti pemerintahan menjadi kepala daerah. Dalam konteks ini, gelar dan lama menjadi birokrat tidak menjamin seseorang dapat mengerti pemerintahan. Faktanya, tidak sedikit kepala daerah berlatar belakang pendidikan yang tinggi (bergelar Doktor misalnya) dan lama menjadi birokrat namun tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Begitupun sebaliknya, tidak jarang pula kepala daerah dengan gelar seadanya dan tidak berlatar belakang birokrat justru dapat menjaga rell pemerintahan dengan baik. Dalam kondisi yang demikian, mobrokrasi sangat mungkin terjadi dalam pemerintahan demokratis.

Sering pula, pemerintahan tidak dilaksanakan oleh kepala daerah namun dikontrol oleh hidden hand. Kelompok tidak terlihat ini bisa merupakan pemodal bisa pula orang-orang dekat kepala daerah dalam birokrasi. Kemandirian kepala daerah menjadi hilang. Visi yang dijanjikan pada musim kampanye akhirnya hanyalah pepesan kosong. Biasanya dimulai dari kebijakan yang ‘mencla-mencle’, hingga tidak jarang kepala daerah mengklarifikasi pernyataan bawahan begitupun sebaliknya bawahan mengklarifikasi pernyataan kepala daerah. Anti kritik ataupun sikap berbeda. Seperti Kepala Daerah yang mengancam bawahan karena tidak sependapat dengan kebijakan yang diambil. Adapula, praktik Kepala Daerah yang suka menebar ancaman melalui apel pagi misalnya. Mobrokrasi dipastikan akan melemahkan institusi-institusi pemerintahan.

Closing Statement

Berbeda dalam sikap politik terutama dalam menentukan pilihan atas calon kepala daerah adalah hal paling pasti dalam demokrasi. Pilihan politik yang berbeda inilah yang menjadi diskursus dalam etalasi demokrasi. Perbedaan itulah menjadi sumber utama kekayaan demokrasi. Sebab itu, kemampuan mengelola dan menerima perbedaan merupakan kemampuan paling pokok yang harus dimiliki oleh pejabat publik yang hidup dalam pergaulan gelanggang demokrasi.

Cara-cara klasik seperti pork barel ataupun kebijakan pro kepentingan kelompok hanya melemahkan institusi pemerintahan dan demokrasi. Menjadikan upaya memperjuangkan demokrasi berjalan mundur. Sebab itu, berbesar hati dan tidak baper dalam menjalankan pemerintahan wajib dimiliki setiap pemimpin hasil proses demokrasi melalui pemilihan langsung.(*)