Opini  

JALAN MUNDUR DEMOKRASI

Hendra Kasim

Oleh: Hendra Kasim

Advokat & Legal Consultant/Dir. Eksekutif PANDECTA (Perkumpulan Demokras Konstitusional)

 

Tidak hanya masalah wacana penundaan pemilu, tanda-tanda mundurnya demokrasi pasca reformasi kembali ditandai dengan penetapan tersangka dua aktivis kemanusiaan yakni Direktur Lokataru Hariz Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Mulidiyanti. Penetapan tersangka keduanya oleh Polda Metro Jaya buntut dari video Youtube Hariz Azhar yang mengungkap dugaan adanya keterlibatan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dalam bisnis tambang di Papua berdasarkan hasil riset. Merasa terusik, Menteri yang biasa disapa Opung itu melaporkan Haris Azhar dan Fatia ke Polda Mtero Jaya yang berujung penetapan tersangka.

Sekilas penetapan tersangka keduanya terkesan merupakan bagian penegakan hukum pidana sebagaimana criminal justice system yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia. Namun, diperhatikan lebih dalam, peristiwa tersebut dalam iklim demokrasi seperti pembungkaman ataupun upaya membunuh demokrasi.

Tidak salah jika The Economist Intelligence (EUI) melaporkan indeks demokrasi Indonesia menurun pada medio 2016-2020. Pada Tahun 2020, Indkes Demokrasi Indonesia mencapai 6,3 terendah dalam satu dekade terakhir. Tidak tanggung-tanggung, di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Timor Leste dengan angka 7,06, negara baru pecahan dari Indonesia.

Historikal Kebebasan Berpendapat

Memperjuangkan kebebasan berpendapat bukan barang baru. Bisa dibilang sejalan dengan ide Socrates dalam menyemai bibit demokrasi ribuan tahun sialm. Tidak tanggung-tanggung, karena itu Socrates harus membayar dengan nyawanya. Perjuangan itu, sejalan dengan upaya keluar dari belenggu perbudakan manusia pada masanya.

Socrates menjadi martir bagi Bangsa Yunani dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat. Setelah kematian Socrates, barulah kebebasan kesadaran Bangsa Yunani terbentuk secara kolektif untuk memperjuangkan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari cara melawan perbudakan.

Kebebasan pendapat selalu memiliki harga yang harus dibayar. Seperti Socrates yang menjadi martir, atau Hariz Azhar dan Fatia yang menjadi tersangka akibat dari menyampaikan pendapat.

Jauh sebelum Hariz Azhar dan Fatia, sejarah mencatat bangsa Indonesia memerlukan perjuangan untuk keluar dari masa otoritarianisme orde baru melalui masa Reformasi dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat. Tidak sedikit mahasiswa Angkatan 99 yang berjuang waktu itu menjadi korban. Hanya untuk melihat kehidupan demokrasi dalam berbanggsa dan bernegara. Salah satu esensinya adalah memastikan kebebasan berpendapat.

Mewujudkan cita-cita demokrasi, pemeritahan reformasi di bawah kepemimpinan Presiden BJ. Habibie, 21 Mei 1998-10 Oktober 1999 menunjukkan legal policy yang jelas mengarah pada upaya mewujudkan iklim demokratis.

Umur pemerintahan yang relatif singkat, Presiden yang memiliki keahlian membuat pesawat itu setidaknya melahirkan beberapa UU yang mempercepat iklim demokratis pada masa reformasi seperti UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU Nomor 39/1999 tentang HAM, dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

Legal policy demikian sejalan dengan teori Hukum Responsif yang dicetuskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick (2003), yang menerangkan bahwa hanya masyarakat demokratis yang menghasilkan hukum res¬ponsif, hukum yang sesuai dengan kehendak rakyat. Hukum yang responsif melawan kekuasaan jika bertentangan dengan kepentingan dan aspirasi publik.

Pasal Tidak Baik

Perkembangannya, dimasa refomrasi pada masa Presiden selanjutnya, Indonesia kembali melahirkan produk hukum yang tidak lagi responsif meskipun masih dalam iklim demokratis. Seperti UU ITE dan masih banyak lagi.

UU ITE secara filosofis tujuan pembentukannya adalah untuk memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik dan hak-hak konsumen terlindungi. Dalam praktiknya, tidak sedikit korban dari UU ITE yang tidak perlu lagi diurai dalam tulisan ini karena telah menjadi rahasia yang diketahui umum.

Korban paling baru dari UU ITE adalah Haris Azhar dan Fatia. Berdasarkan keterangan Kuasa Hukum Menko Marves, Juniver Girsang setidaknya ada beberapa pasal yang digunakan dalam mengajukan laporan polisi yaitu UU ITE hingga penyebaran berita bohong yang diatur dalam Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 UU ITE Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.

Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 UU ITE juncto Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP adalah pasal yang sering digunakan untuk menjerat seseorang yang diduga melakukan pencemaran nama baik. Penulis mencatat pasal pencemaran nama baik adalah pasal yang tidak baik.

Pasal pencemaran nama baik cenderung multi tafsir. Pasal-pasal multi tafsir ini memberikan beberapa dampak negatif bagi pranata sosial, yaitu (i) membatasi kebebasan berpenapat terutama dalam beropini dan mengajukan kritik. Tidak sedikit kasus seperti Hariz Azhar dan Fatia yang berujung melahirkan shock therapy bagi masyarakat. Sebagian menanggapinya dengan hati-hati sebagian lain memilih untuk tidak berpendapat. Padahal, dengan perkembangan sosial media yang mendorong budaya syberspace membutuhkan iklim yang demokratis. Karena begitu sosial media menjadi ruang berekspresi sejalan dengan dengan itu demokrasi memberikan kekbeasan berekspresi; dan (ii) menimbulkan kesewenang-wenangan. Sering kali pasal tidak baik itu digunakan untuk menjerat lawan politik. Apalagi jika yang mendapat serangan kritik adalah pejabat publik; (iii) tidak memberikan kepastian hukum. Tidak jarang kasus serupa mendapatkan perlakuan berbeda. Seperti kasus Prita yang dinyatakan bebas, sedangkan Ahmad Dani dijerat penjara dengan pasal dan kasus serupa.

Closing Statemen

Sosial media sangat cepat tumbuh dalam iklim demokrasi. Keduanya saling membutuhkan karena tumbuh dalam fondasi yang sama. Baik demokrasi dan sosial media membutuhkan kebebasan karena kehendak bebas merupakan sifat dasar manusia.

Untuk memastikan tegaknya demokrasi, kepastian hukum diperlukan untuk menjamin stabilitas pemerintahan demokratis. Bukan sebaliknya, hukum digunakan sebagai sarana untuk menghambat jalannya demokrasi. Seperti kasus Hariz Azhar dan Fatia, ketika data riset yang disajikan, haruslah data yang disajikan oleh pihak yang diduga terlibat dalam hasil riset tersebut untuk membantah data. Sehingga kerja-kerja akademis dalam iklim demokratis berjalan saling berkelindan. Begitulah seharusnya demokrasi dijalankan.

Cara menanggapi berlebihan hasil riset dengan membawa kejalur hukum, yang hingga saat ini tidak ada data sanding untuk membantah hasil riset yang disajikan sepertinya adalah tanda mundurnya demokrasi.

Sebuah kewajaran Pejabat Publik menjadi samsak tinju publik. Begitulah diperlukan kedewasaan pejabat publik menanggapi kiritik. Membungkam kritik dengan dalih penegakan hukum hanya membuat demokrasi semakin keropos.(*)