Ibrahim Yakub
(Direktur Kajian Strategis Bakornas LEMI PB HMI)
Sekilas Tentang G20.
Apa itu G20 atau Group to twenty?, pertanyaan ini masih mengawali pikiran publik ketika mendengar atau membaca berita, informasi mengenai dengan G20. Diketahui bahwa G20 berdiri pada tahun 1999, lahir sebagai respons atas situasi krisis yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998. Bermaksud agar dunia tepatnya negara-negara yang terkena krisis mampu keluar dan bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi global yang kuat serta berkesinambungan. Sejak pembentukan G20 pola konsolidasi antara negara saat itu hanyalah melalui menteri keuangan, dan gubernur bank sentral. Namun dalam proses perjalanannya dengan pembahasan di G20 yang semakin luas maka pada tahun 2008 G20 sudah mulai mengorganisir sejumlah negara dengan menghadirkan kepala negara dalam sebuah pertemuan yang diberikan namanya konfrensi tingkat tinggi (KTT).
“ Pucuk dicinta ulam tiba” antrian diruang tunggu yang begitu panjang dari 19 negara oleh negara Indonesia untuk bisa menjadi presidensi G20 akhirnya menjadi kenyataan. Pada masa covid-19 dibumi roma italia dengan kalender menunjukkan tanggal 31 Oktober 2021 PM. Mario Draghi serah terima kekuatan (handover) kepada presiden Jokowi dodo untuk memegang tahta kekuasaan selama setahun di G20. Berselang handover dalam waktu yang tidak lama di situasi krisis multidimensional sebagai presiden G20 mengusung tema pada G20 di Bali yang berbunyi Recover together, recover stronger.
Terdengar nyaring bunyi tema dari presiden G20 indonesia yang nanti diselenggarakan di bali, recover together,recover stronger begitulah pikiran besar sebagai akselerasi ide terhadap fakta sosial yang terjadi di dunia. Didalam tema ini kemudian terdapat salah satu isu ekonomi dari tiga isu yang diperioritaskan yakni arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, dan transformasi digital dan ekonomi. Namun pada konteks ini penulis coba lebih mengamati isu ekonomi karena sangat fenomenal terjadi dibangsa hari ini.
Ekonomi Indonesia Masih Tertatih
Rumusan kebijakan yang sifatnya politik tidak terlepas dari identifikasi masalah baik ekonomi, budaya, ataupun sosial sebagai refrensi dalam menetapkan sebuah kebijakan publik, hal ini seirama dengan William N.Dunn peneliti kebijakan publik dan administrasi publik University of Pittsburgh bahwa public policy maker itu harus dimulai dari agenda penyusunan terdapat didalamnya rumusan masalah, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan hingga sampai pada tahapan pengawasan serta evaluasi kebijakan.
Rujukan pemikiran diatas bisa menggiring pikiran bersama untuk melihat negara kita sendiri yakni indonesia. Bagaiamna ekonomi indonesia hari ini apakah baik-baik sesuai ekspektasi bersama ataukah masih mengalami penyakit yang harus disembuhkan mengingat negara kita akan menjadi tuan rumah Group to twenty yang nanti melayani tamu spesial dari 19 negara. Secara terbuka bisa dikatakan bahwa negara hari ini berada pada musim ketidakpastian ekonomi yang panjang. Hal ini terlihat jelas dengan beberapa isu yang membuat kepanikan publik dalam mengahadapinya, diantaranya kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, ditambah lagi denga awal april terjadi kenaikan harga BBM jenis pertamax.
Berdasarkan data minyak goreng nasional sejak 28 maret 2020 tercatat harga minyak goreng curah perliter seharga Rp.18.000 sampai Rp.20.000, harga kemasan sederhan Rp.23.000 dan harga premium mencapai Rp.26.000. dengan harga seperti ini cenderung badan pusat statistik (BPS) mengeluarkan presentasi bahwa minyak goreng menjadi salah satu pemicu inflasi, disisi lain bagi (SP2KP) menyebut bahwa harga curah secara nasional lebih mahal sebesar Rp.4.300 dari harga eceran tertinggi (EHT) ketetapan pemerintah sebelumnya. Namun lagi-lagi negara terkesan kalah dengan harga pasar oleh permainan pengusaha minyak goreng, tidak habis disitu, publik kembali dibuat gaduh dengan informasi yang terbilang sudah menjadi kebiasaan pemerintah negara indoenesia disetiap rezim kepemimpinan nasional. Itu adalah kenaikan harga BBM berjenis pertamax yang naik di kisaran Rp.12.500 sampai Rp.13.500 dari sebelumnya Rp.9.000 dan Rp.9.400.
Fakta-fakta itu mengindikasikan bahwa ada kelonggaran dalam pengawasan domestik bahkan nasional mengenai minyak goreng dan BBM. Lalu bagaimana dengan tema presidensi G20 tentang Recover together, recover stronger di Indonesia, rasanya sulit berbicara pulihkan ekonomi secara bersama negara dunia group to twenty jika problem ekonomi domestik ini masih menjadi carut marut yang tak ada unjung pangkalnya. Tentu pemerintah harus lebih cepat menyelesaikan masalah domestik hari ini dengan kebijakan yang dimulai secara bottom up sebagai langkah penyatuan kebutuhan dari negara berbasis kepulauan. Misalnya membuat kebijakan ketat mengawasi pengusaha-pengusaha nakal yang memainkan harga, meningkatkan produksi minyak kelapa lokal disetiap provinsi. Menyiapkan skema regulasi maupun kebijakan terbaik dalam mengahadapi situasi BBM jika sewaktu-waktu BBM jenis apapun itu naik mengingat negara kita runtun dalam setiap periode mengalami hal demikian, selain itu implementasi kebijakan harus diiringi dengan menggerkana pengawasan yang ketat agar realisasi kebijakan salah satunya aspek ekonomi tepat sasarn sehingga memutuskan mata rantai oknum ilegal player. Dengan demikian maka siklus kebijakan publik secara demostik sesuai pemikiran William M.Dunn diatas bisa sesuai dengan kenyataan yang berlangsung. (*)