Hukum  

Polda Maluku Utara Jadi Perbincangan Nasional, Kapolda Bakal Diperiksa

Mapolda Maluku Utara. (istimewa)

TERNATE, NUANSA – Cara pengamanan yang dilakukan personel Polda Maluku Utara (Malut) terhadap mahasiswa yang menggelar demonstrasi menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan sejumlah masalah di negara ini, menjadi pembicaraan nasional.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) (pun) akhirnya angkat bicara menyoroti cara pengamanan personel Polda Maluku Utara yang dianggap keras tersebut. Kompolnas ikut prihatin lantaran sejumlah oknum polisi diduga melakukan penganiayaan terhadap massa aksi dan merusak fasilitas demonstrasi saat membubarkan unjuk rasa  Jilid II yang digelar di Kota Ternate, Senin (18/4).

Kompolnas berjanji memanggil Kapolda Maluku Utara, Irjen (Pol) Risyapudin Nursin untuk mengklarifikasi dugaan aksi premanisme oknum anggota Polisi di Ternate.

“Kami akan melakukan klarifikasi kepada Polda Maluku Utara terkait keluhan kekerasan berlebihan aparat Kepolisian dalam menangani unjuk rasa mahasiswa menuntut turunnya harga BBM,” tegas Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti kepada wartawan Nuansa Media Grup (NMG), Selasa (19/4).

Menurutnya, dalam melaksanakan tugasnya, seluruh anggota Polri wajib menerapkan Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Selain itu dalam menggunakan kekuatan, anggota yang bertugas juga harus melaksanakan Perkap nomor 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan,” paparnya.

Menurut Poengky, dalam melaksanakan tugas, seluruh anggota Polri dilarang menggunakan kekerasan berlebihan dan dilarang menggunakan kekuatan berlebihan. “Saya berharap Propam melakukan pemeriksaan dan mengevaluasi anggota-anggota yang dikeluhkan melakukan kekerasan berlebihan,” harapnya tegas.

Dirinya mengimbau kepada mahasiswa yang mengalami tindak kekerasan aparat kepolisian, dapat melaporkan  ke Bidang Propam Polda Maluku Utara.

“Di sisi lain, saya berharap para pengunjuk rasa dalam menyampaikan aspirasinya dilaksanakan secara damai, taat pada aturan yang berlaku, dan memperhatikan hak-hak orang lain,” ujarnya.

Selain Kompolnas, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mengecam tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian dalam penanganan aksi unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM di Ternate, Maluku Utara (Malut), Senin (18/4) yang berakhir ricuh itu.

Wakil Koordinator KontraS, Revanlee Anandar dalam pers rilis yang diterima wartawan Nuansa Media Grup (NMG), Selasa (19/4) mengungkapkan, berbagai video dan foto yang tersebar di media sosial, terlihat bahwa polisi begitu brutal menanggapi demonstrasi mahasiswa dengan memukul massa aksi secara membabi buta, menembakkan gas air mata, menembakkan water cannon hingga merusak mobil komando, serta menangkap beberapa demonstran dengan sewenang-wenang.

Upaya penyampaian pendapat, menurutnya, harusnya tidak disikapi dengan tindakan brutal yang pada akhirnya menimbulkan korban. Pihaknya melihat bahwa aparat gagap dalam menanggapi kritik publik yang disampaikan lewat aksi demonstrasi. “Kami melihat bahwa penanganan aksi massa yang terjadi ini merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force),” cetusnya.

Ia menilai, tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian jelas mengangkangi ketentuan internal Kepolisian, salah satunya Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2012. Di mana mewajibkan anggota Polri untuk bertindak secara profesional dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.

“Selain itu, Polisi juga harus menghindari tindakan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, dan melanggar HAM lainnya,” jelasnya. Menurutnya, dalam penggunaan kekuatan kepolisian juga harus proporsional sebagaimana disebutkan dalam Perkap 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Kepolisian tidak dapat membubarkan pengunjuk rasa dengan brutal tanpa alasan yang jelas dengan gas air mata dan kekerasan. Sebab, penggunaan kekuatan Kepolisian harus berdasar pada tingkat dan eskalasi ancaman sebagaimana dimaksud dalam Perkap No. 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.

“Kekerasan yang terus berulang dalam penanganan demonstrasi merupakan bentuk gagalnya Polri dalam melakukan reformasi institusi. Presisi sebagaimana misi dari Kapolri, Jenderal Listyo Sigit hanya lip service yang belum terlihat nyata praktiknya di lapangan. Aksi demonstrasi seharusnya dijawab dengan narasi dan terakomodirnya tuntutan, bukan justru represi dari aparat Kepolisian,” urai Rivanlee.

Atas dasar itu, pihaknya juga mendesak Polda Maluku Utara untuk mengusut tuntas oknum anggota kepolisian yang diduga bertindak represif di lapangan pada aksi penolakan kenaikan BBM kemarin. (tim/rii)