TERNATE, NUANSA – Tindakan personel Polda Maluku Utara yang dianggap respresif saat mengamankan demonstrasi mahasiswa yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa hari lalu, mendapat kecaman publik. Kali ini giliran Ketua Umum Badko HMI Maluku-Maluku Utara, Alherfan Barmawi yang angkat bicara.
Alherfan yang juga mantan Ketua Umum HMI cabang Ternate itu mengatakan, tindak brutal terhadap massa aksi yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian mestinya tidak dibenarkan. Represif, kata dia, adalah perilaku otoritarian yang sudah dimusnahkan di indonesia. Jika tindakan represiif masih digunakan Polda Maluku Utara saat melakukan pengamanan, itu menandakan Kapolda Maluku Utara belum cerdas dan terkesan masih menggunakan cara lama dalam mengelola sirkulasi demokrasi Maluku Utara. “Jika begitu cara Kapolda, maka tidak layak lagi menjabat,” tegasnya.
Menurutnya, selain Polda yang mengamankan massa aksi dengan cara represif, Pemprov Maluku dan Pemkot Ternate serta anggota DPRD seakan menganggap remeh demonstrasi tersebut. Pemerintah, baik Pemprov maupun Pemkot dan wakil rakyat, harusnya merespons baik aksi mahasiswa tersebut. “Mereka harus hadir di tengah-tengah massa aksi untuk menujukkan kepedulian terhadap situasi yang melanda masyarakat. Kami melihat Wali Kota Ternate dan anggota DPRD belum memiliki nyali intelektual untuk duduk bersama mahasiswa. Harus Wali Kota bersama mahasiswa kemudian merumuskan rekomendasi terhadap tuntutan massa aksi itu,” ujarnya menyarankan.
Alherfan mengatakan, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa itu dalam rangka membangun narasi kesejahteraan di semua sektor, baik di Kota Ternate, maupun Maluku Utara pada umumnya. Atas dasar itu, mahasiswa tidak harus dijadikan musuh oleh Pemerintah Daerah dan Polri. “Kota ternate adalah episentrum membangun peradaban. Dari Kota Ternate ini lah, pikiran-pikiran kritis dimulai. Sehingga, tindakan represif yang terjadi pada massa aksi tidak hanya tindakan kebrutalan pihak kepolisian tetapi juga dipicu diam nya pemerintah Kota Ternate. Pemkot tidak bisa kaku dan takut dalam mengelola narasi demokrasi di Kota Ternate,” tuturnya tegas.
Lanjutnya, diamnya Pemerintah Kota Ternate bukan tidak mungkin menjadi pemicu tindakan represif kepada massa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan menjadi awal pembungkaman kebebasan demokrasi di Kota Ternate. Ini bisa terjadi karena pemimpin nya takut berhadapan dengan massa aksi. “Jangan sampai adegium semacam bagini yang dilekatakan kepada Wali Kota Ternate, M. Tauhid Soleman,” pungkasnya. (rii)