Oleh : Sefnat Tagaku
Mahasiswa Teologi, Uniera
Sebelum jauh menguraikan tulisan ini, penulis begitu sadar akan berbagai kelemahan dalam menyuguhkan data-data sejarah tentang “Hibualamo”. Selain itu, sumber-sumber yang menjadi pelaku sejarah hampir tidak ada lagi (meninggal dunia), sehingga penulis lebih banyak menggunakan refrensi-refrensi yang telah di bukukan.
Buku yang berjudul “Hein dan Hibua Lamo” akan menjadi refrensi utama dalam penulisan tulisan ini. Hal ini juga sangat bergantung pada jumlah refrensi yang di miliki penulis. Karna itu, jika terdapat kekurangan data yang di suguhkan melalui beberapa sumber refrensi, mungkin dapat di informasikan sehingga menjadi pelengkap tulisan ini.
Hibualamo dan Sejarahnya
“Hibualamo” merupakan kata yang berasal dari bahasa suku Tobelo, yakni; ‘Hibua’ berarti ‘rumah’ dan ‘Lamo’ artinya ‘besar’. Maka secara epistemologi, “Hibualamo” berarti ‘rumah besar’. Dalam cerita historisnya, “Hibualamo” menjadi tempat perkumpulan sepuluh suku yang berasal dari Talaga Lina (hasil wawancara dari beberapa tokoh adat). Namun hal ini juga belum bisa di buktikan secara empiris, sebab ada refrensi lain yang menyuguhkan bahwa ‘Hibualamo’ awalnya di duduki oleh beberapa keluarga dan hanya bersuku Tobelo (baca : buku Hein dan Hibua Lamo).
Meski demikian, dari sekian refrensi yang menceritakan tentang “Hibualamo”, semuanya membenarkan bahwa “Hibualamo” merupakan sebuah tempat pertemuan/rapat di kala ada hal-hal penting yang hendak dibicarakan. Selain menjadi tempat pertemuan, “Hibualamo” juga di jadikan sebagai tempat ritual-ritual adat perkawinan, kematian dan pesta bagi muda-mudi. Hal ini menunjukan dengan jelas, bahwa kata “Hibualamo” lebih erat mengarah pada sebuah tempat pertemuan/rapat atau acara adat.
Dalam buku “Hein dan Hibua Lamo”, ternyata jauh sebelum adanya “Hibualamo” sudah ada tempat pertemuan yang di buat, dengan nama; “Halu”. “Hibualamo” sendiri hasil dari perkembangan “Halu”. “Halu” berasal dari bahasa Tobelo yang berarti “Rumah Kecil”. “Halu” seperti yang telah di muat sebelumnya, hanya di diami oleh beberapa keluarga, diantaranya; Mumulati, Lina dan Huboto. Dalam perkembangannya, semakin hari “Halu/rumah kecil” tidak lagi mampu menampung jumlah orang yang semakin banyak, sehingga di buatlah “Hibualamo” atau rumah besar.
Mungkin pula, hal ini akan sedikit membenarkan bahwa orang yang bertambah itu berasal dari suku-suku, seperti; Modole, Pagu, Boeng, Galela, Sahu, Tobaru, dan suku-suku lainnya yang berasal dari Talaga Lina. Pada prinsipnya, penulis sendiri lebih meyakinkan diri, bahwa “Hibualamo” adalah suatu tempat berkumpulnya suku-suku yang berasal dari Talaga Lina itu. Kemudian berekspansi keluar untuk mempertahankan hidup mereka masing-masing.
Istilah Canga dan Sejarahnya
Istilah “Canga” pada umumnya di kenal sebagai gelar. Gelar sebagai “Canga” ini di berikan kepada orang-orang bersuku Tobelo, yang mendiami wilayah bagian pesisir. Konon, orang Tobelo di bagian pesisir ini sesekali membuat rencana jahat untuk membunuh. Mereka kemudian berlayar dengan perahu dan melakukan pembunuhan kepada siapa saja yang di temui.
Hal ini akan sedikit meragukan, bahwa orang yang bersuku Tobelo berasal dari Talaga Lina. Karna penyebutan “Canga” adalah kepada mereka (suku Tobelo), yang mendiami wilayah pesisir pantai. Entah mereka (Orang Tobelo Pesisir/Canga) keluar dari Talaga Lina, atau memang sudah sejak awalnya tinggal di wilayah pesisir, tidak ada refrensi kuat yang membenarkan itu.
Namun ada beberapa refrensi yang di jadikan sebagai catatan penulis saat berada di kelas kuliah dengan materi “Agama Suku di Halmahera”, dengan pengajar, Pdt. Arkipus Djurubasa, M.Th. Menurut pak Djurubasa (sapaan Mahasiswa Universitas Halmahera), bahwa dirinya tidak terlalu sepakat jika orang Tobelo di sebut berasal dari Talaga Lina. Mungkin sebagiannya berasal dari Talaga Lina, tapi tidak secara keseluruhan.
Hal tersebut di gambarkan dari nama Tobelo. Tobelo berasal dari dua kata, yakni; To dan Beloho. “To” berarti “saya” dan “Beloho” berarti “Patok/tanda, atau bisa di artikan sebagai “penahan”. Hal ini lebih dekat pada seseorang yang membuat penahan perahu yang sementara di labuhkan. Kebiasaan membuat penahan perahu yang sementara di labuhkan ini, masih di praktekan hingga saati ini oleh orang-orang Tobelo, dengan cara menanamkan tiang di dalam pembantu penimbun perahu (semang-semang). Hal ini dilakukan agar perahu yang di labuhkan tidak mudah di hanyutkan oleh ombak atau gelombang.
Beberapa refrensi di atas, penulis kemudian meyakini bahwa orang yang bersuku Tobelo tidak semuanya berasal dari Talaga Lina (pedalaman), tapi juga ada di wilayah pesisir. Hal ini berdasarkan pada istilah “Canga” yang berlaku hanya untuk para “bajak laut” (orang Tobelo di pesisir). Juga atas dasar pemikiran dari Pdt. Arkipus djurubasa. Mungkin begitu, sehingga sampai kini ada istilah yang menyebut “Tobelo dalam” dan “Tobelo luar”.
Nilai Hibualamo
Berbicara tentang “Hibualamo”, penulis banyak menggunakan refrensi dari isi buku “Hein dan Hibua Lamo”, sebab bagi penulis buku ini menjadi satu-satunya refrensi yang memunculkan hasil-hasil riset pada pelaku sejarah, yang di yakini penulis.
Selain itu, dalam buku “Hein dan Hibua Lamo” juga terdapat beberapa tokoh adat yang sebagai penulis, sehingga menjadi alasan kuat, mengapa buku tersebut di jadikan pedoman dalam penulisan ini. Hal ini juga sudah penulis sampaikan pada bagian awal tulisan ini.
Telah di sepakati bersama melalui dukungan dari beberapa refrensi, bahwa “Hibualamo” menjadi central dari berbagai kegiatan yang berkaitan dengan adat istiadat. Apapun aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Tobelo dahulu, “Hibualamo” menjadi tempat untuk mengatur itu.
Hal tersebut tidak sebatas itu, sebagai tempat central acara-acara adat, dalam “Hibualamo” ada terdapat unsur-unsur semacam kewajiban yang harus dilakukan oleh mereka, saat berada di dalam rumah besar itu. Unsur-unsur kewajiban itu diantaranya; O dora, O Hayangi, O baliara, O adili dan O diai.
Untuk dapat di pahami lebih jauh terkait lima unsur yang terdapat di “Hibualamo”, mak penulis akan menguraikan arti dari lima unsur itu.
(a). O dora : Hal ini mengarah pada sebuah kasih, baik antar individu maupun kelompok, bahkan diri sendiri. O Dora (Kasih) kemudian di jadikan sebagai dasar hidup orang Tobelo.
(b). O Hayangi : Hal ini memiliki kaitan dengan kasih (O dora), namun O hayangi lebih pada soal saling menjaga perasaan dan tidak saling menyakiti.
(c). O baliara : Saling memelihara, menghidupi, menjaga, membesarkan, merupakan sebuah kewajiban besar orang Tobelo. Namun dengan perkembangan zaman, kebiasaan ini mulai pudar dan hilang.
(d). O adili : Menyetarakan status sosial mungkin cocok dalam menerjemahkan ini. Sebagaimana arti dari “O adili” adalah keadilan. Tidak ada yang lebih atau kurang, mungkin sederhananya.
(e). O diai : Hal ini mengarah pada saling memperbaiki, melengkapi, atau pun menata kembali sesuatu yang di nilai rusak, dengan mengedepankan rasa kebersamaan dan saling mendukung.
Lima unsur di atas menunjukan dengan jelas, bahwa betapa rukunnya kehidupan orang Tobelo dahulu. Meski dengan tradisi-tradisi sederhana, namun mampu mengatur kehidupan mereka hingga bertahan dan melahirkan banyak generasi di hari ini.
Mengenal Identitas Canga dan Konteksnya Hari ini
Seperti yang telah di muat pada bagian sebelumnya, bahwa Canga merupakan sebuah gelar yang di berikan pada komunitas orang-orang Tobelo yang mendiami wilayah pesisir Halmahera. Keseharianya, ada banyak perbuatan-perbuatan jahat yang di rencanakan hingga di lakukan. Salah satu perbuatan jahat mereka adalah membunuh.
Mungkin ini akan sedikit bertolak belakang dengan lima unsur hidup masyarakat Tobelo yang tergabung dalam “Hibualamo”. Mungkin pula ini sekaligus menjadi perbedaan antara; “Tobelo dalam” (asal Talaga Lina) dan “Tobelo Luar” (asal wilayah Pesisir Halmahera/Canga). Tetapi sekali lagi, penulis tidak memiliki refrensi yang membenarkan hal tersebut.
Pastinya, dalam catatan sejarahnya, “Canga” di identikan dengan “pembunuh”. Karna itu, tidak bisa di herankan bahwa “Canga” pada sejarahnya pernah menjadi garda depan kesulatanan Ternate, dalam melawan bangsa-bangsa sekutu yang masuk di bumi Moloku Kieraha, sekarang Maluku Utara (baca : Sejarah Canga).
Keberanian dalam dunia perang, menjadi perhatian khusus Sultan Ternate terhadap komunitas Tobelo (Canga). Meski demikian, komunitas Canga ini tidak pernah menjadi budak atau penunduk pada kesultanan Ternate (Baca : Sejarah Sultan Ternate di abad 18-19).
Dasar sejarah itulah, penulis kemudian memberanikan diri dengan menyebut salah satu identitas komunitas Canga adalah “keberanian atau pantang mundur”. Artinya, untuk menjadi pribadi Canga, tidak ada rasa takut pada apapun yang di hadapi.
Identitas inilah yang justru melekat pada seorang Canga, yang di kenal secara umum oleh masyarakat Maluku Utara dan khususnya kesultanan. Karna tidak bisa di pungkiri, bahwa orang Tobelo sangat di kenal atas keberanian dalam menghadapi peperangan. Mungkin saja, tarian Cakalele menjadi simbol dan gambaran dari keberanian yang bisa di lihat.
Jika demikian, maka apa yang harus di lakukan orang Tobelo di zaman modern ini?
Peradaban dunia yang semakin modern ini, perlahan mengikis nilai-nilai kebudayaan lokal orang-orang Halmahera, termaksud budaya suku Tobelo maupun Galela. Nilai-nilai hidup seperti; O dora, O hayangi, O baliara, O adili dan O diai, mulai pudar bahkan hilang dari gaya hidup orang Tobelo dan Galela hari ini.
Selain itu, keberanian yang di tampilkan oleh komunitas Canga pun tidak lagi terwariskan dengan efektif. Bahkan sebagian kita seolah menjadi penunduk. Apakah itu wujud dari O dora dan O hayangi? Sama sekali tidak! Menunduk semata-mata kita mengamankan diri untuk kepentingan pribadi.
Meski hingga hari ini dari segi kekuasaan politik masih di dominasi oleh orang Tobelo dan Galela (gubernur), namun persatuan dan kebersamaan perlahan mulai pudar dan hilang. Saling “membunuh”, “menginjak” dan “menyingkirkan”, benar-benar menggeserkan nilai-nilai kearifan lokal kita.
Lalu apakah hal tersebut merupakan warisan pribadi sang Canga? Sama sekali tidak. Lantas mengapa orang-orang Tobelo dan Galela di masa kini terlihat sekedar “menghamba/pesuruh/budak?” Inikah yang di wariskan oleh para leluhur kita? Sekali lagi jawabannya tidak sama sekali.
Karna itu, sangat penting kita kembali merefleksikan diri sebagai orang-orang yang bersuku Tobelo dan Galela, untuk mengembalikan semangat sang Canga dengan mengedepankan nilai-nilai hidup “Hibualamo”. Tulisan ini meski jauh dari kesempurnaan dan fakta-fakta empirisnya, namun berupayah menjadikan sebagai bahan refleksi orang-orang Tobelo dan Galela. (*)