Hukum  

Kasus Korupsi Nautika di Dikbud Maluku Utara, Riwayatmu Kini

Ilustrasi kasus korupsi

TERNATE, NUANSA – Masih ingat kasus korupsi proyek pengadaan Kapal Nautika dan Alat Simulator senilai Rp 7,8 miliar ?. Megakorupsi tahun 2019 di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Maluku Utara (Malut) yang telah menyeret dua orang ke jeruji besi tersebut, harusnya sudah masuk ke babak baru.

Hanya saja, entah ada apa, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara belum menindaklanjuti fakta persidangan yang disampaikan secara terang dan terbuka oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Ternate pada beberapa waktu lalu. Sebagaimana diketahui, nama Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadikbud) Maluku Utara (Malut), Imam Makhdy Hasan disebut-sebut sebagai orang yang bertanggungjawab dalam pencairan proyek tersebut. Selain Imam Makhdy, mantan pelaksana tugas Dikbud Maluku Utara, Djafar Hamisi juga ikut tersebut.

Imam Makhdy dan Djafar Hamisi disebut menandatangani pencairan uang muka 20 persen, 70 persen hingga pencairan 100 persen proyek Nautika dan Alat Simulator. Itu tertuang dalam salinan putusan mantan terdakwa Imran Yakub, Nomor 16/PID.SUS-TPK/2021/PN Ternate. Dalam Salinan itu menegaskan, bukan Imran Yakub yang menandatangani pencairan tersebut.

Nama keduanya masuk dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Ternate, saat membacakan putusan bebas terhadap terdakwa mantan Kadikbud Malut, Imran Yakub, pada sidang 16 Februari 2022 lalu. Ini sehingga, Djafar Hamisi dan Imam Makhdy disebutkan sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab, karena telah melakukan pencairan tanpa adanya permohonan pencairan, progres pekerjaan dan berita acara serah terima.

Praktisi hukum Hendra Kasim meminta kepada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara agar menindaklanjuti putusan pengadilan tersebut. Putusan pengadilan itu harusnya menjadi rujukan Kejaksaan Tinggi untuk melakukan pengembangan penyelidikan, demi mengusut keterlibatan pelaku lain dalam kasus korupsi proyek Nautika.

Menurut Hendra, meskipun sudah ada putusan pengadilan yang menyebutkan keterlibatan dua pelaku lain secara terang, tetapi sejauh ini ia melihat Kejaksaan Tinggi tidak berani melakukan pengembangan penyelidikan dan penyidikan. Ia mempertanyakan kepana Kejaksaan Tinggi tidak bisa menindaklanjuti putusan hakim Pengadilan Negeri Ternate tersebut. “Kami minta Kejaksaan Tinggi menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Sudah saatnya Kejaksaan Tinggi mengusut dua nama yang disebut dalam pengadilan,” ujar Hendra menegaskan.

Beberapa waktu lalu, Humas Pengadilan Negeri Ternate, Kadar Noh. Kadar menjelaskan, pertimbangan majelis hakim membebaskan mantan Kadikbud Imran Yakub dari segala dakwaan, baik dakwaan primair dan subsidair, itu karena hakim berpendapat sesuai dengan fakta bahwa terdakwa Imran tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana.

Sebagaimana fakta dalam persidangan, terdakwa Imran tidak lagi menjabat sebagai Kepala Dikbud Malut saat anggaran dari proyek bermasalah tersebut dicairkan. “Karena saat anggaran itu cair dan pekerjaan itu dilaksanakan Imran Yakub sudah di-nonjob-kan dari kepala dinas, dan melaksanakan proyek atau kegiatan itu adalah kedua orang itu, baik Djafar Hamisi dan Imam Makhdy,” jelas Kadar.

Menurut Kadar, keterlibatan Imam Makhdy dan Djafar Hamisi, harusnya menjadi pekerjaan rumah untuk penyidik yang menangani kasus ini. “Ini PR untuk penyidik, mereka di dalam putusan disebutkan nama kedua orang itu yang mungkin sebelumnya hanya sebagai saksi seharusnya mereka harus tindaklanjuti, mereka lidik kembali. Seperti yang dituangkan di dalam putusan yaitu seharusnya yang bertanggungjawab atas proyek tersebut mantan kepala dinas dan kepala dinas aktif, Djafar Hamisi dan Iman Makhdy. Nanti ditindaklanjuti penyelidikan maupun penyidikan itu kewenangannya penyidik bukan pengadilan,” tandasnya.

Sekadar diketahui, selain terdakwa Imran Yakub, Majelis Hakim yang diketuai Achmad Ukayat juga memberikan vonis bebas terhadap terdakwa Reza, mantan Ketua Pokja I ULP Malut. Sementara dua terdakwa lainnya yakni Direktur Utama PT Tamalanrea Karsatama selaku pemenang tender, Ibrahim Ruray, dan pejabat pembuat komitmen Zainuddin Hamisi dinyatakan terbukti bersalah.

Terdakwa Zainudin Hamisi divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Sedangkan Ibrahim Ruray divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Keduanya diberi waktu selama satu minggu untuk melakukan pengembalian uang negara. Jika selama satu minggu tidak dikembalikan, maka harta benda yang dimiliki kedua terdakwa akan disita. (rii)