Hukum  

Tiga Pejabat Pemprov Malut ini Lolos Dari Jeratan Hukum

Kantor Gubernur Maluku Utara. (istimewa)

TERNATE, NUANSA – Tiga dugaan penyalahgunaan anggaran di Pemprov Maluku Utara (Malut) ini sempat menghebohkan publik, ketika penegak hukum melakukan penyelidikan. Tiga masalah itu adalah dugaan korupsi anggaran pengadaan Kapal Nautika di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) senilai Rp 7,8 miliar, dugaan korupsi anggaran uang makan minum di Biro Umum senilai Rp 10 miliar dan dugaan korupsi anggaran pembangunan jalan penghubung Desa Sayoang-Yaba senilai Rp 49,5 miliar. Proyek jalan Sayoang-Yaba di Kabupaten Halmahera Selatan itu anggarannya melakat di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) tahun 2015 lalu.

Tiga dugaan penyalahgunaan anggaran tersebut sempat diproses hukum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara. yang lolos hingga ke Pengadilan untuk disidangkan, hanya kasus Nautika. Sedangkan Sayoang-Yaba dan uang makan minum, proses hukumnya dihentikan oleh Kejaksaan Tinggi.

Terkait Sayoang-Yaba, anggaran proyek tersebut dialokasikan ketika Djafar Ismail menjabat Kepala Dinas PUPR. Beberapa tahun lalu, ketika penyelidikan masih berlangsung, penyidik sempat memeriksa sejumlah saksi. Entah apa penyebabnya, penyelidikannya dihentikan.

Sayoang-Yaba

Pembangunan jalan Sayoang-Yaba dianggarkan pada tahun 2015 di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Maluku Utara. Proyek senilai Rp 49,5 miliar ini dikerjakan PT. Bangun Utama Mandiri Nusa dengan SPK nomor 600.62/SP/DPU-Malut/APBD/BM/FSK.06/2015.

Akibat proyeknya tidak dibangun dengan serius, sekarang ini badan jalan penghubung Desa Sayoang-Yaba rusak parah, bahkan jembatannya dibuat menggunakan kayu. Warga yang melintas sangat kesulitan apabila musim hujan. Jika turun hujan, badan jalan tergenang dan licin.

Uang Makan Minum

Jumlah uang yang diduga dikorupsi pada kegiatan makan minum (Mami) tahun 2020 di Biro Umum Pemprov Maluku Utara (Malut), memang jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan pagu anggaran proyek jalan dan jembatan penghubung Desa Sayoang menuju Desa Yaba di Kabupaten Halmahera Selatan. Makan minum di Biro Umum tahun 2020 dialokasikan Rp 10 miliar.

Ketika penyelidikan dilakukan, memang menghebohkan publik, karena diduga uang tersebut mengalir ke Gubernur Maluku Utara. sebanyak 11 orang saksi sudah diperika, termasuk Sekretaris Provinsi Samsudin A. Kadir. Kepala Biro Umum Jamaludin Wua dan bendaharanya pun sudah diperiksa. Sayangnya, dengan alasan tidak ditemukan unsur pidana, penyidik Kejaksaan Tinggi akhirnya menghentikan proses hukumnya kasus tersebut.

Nautika

Kasus dugaan korupsi anggaran Rp 7,8 miliar di Dikbud Pemprov Maluku Utara (Malut) untuk pengadaan kapal Nautika dan alat simulator, terus direspons publik. Apalagi sudah ada fakta persidangan ketika empat terdakwa menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Ternate beberapa waktu lalu.

Dalam putusan Pengadilan dengan nomor 16/PID.SUS-TPK/2021/PN Ternate, Majelis Hakim menyebutkan secara terbuka dan begitu terang terkait dugaan keterlibatan Imam Makhdy selaku Kepala Dikbud. Meski begitu, hingga kini Kejaksaan Tinggi tidak menindaklanjuti fakta persidangan yang diungkapkan secara terang di Pengadilan tersebut.

Praktisi hukum Hendra Kasim sempat angkat bicara terkait dengan masalah tersebut. Menurutnya, pertimbangan hakim dalam putusan a quo bukanlah hal yang mengada-ngada. Sudah pasti hakim berdasarkan kesesuaian fakta persidangan. Sebab itu, sudah sepatutnya Kejaksaan Tinggi menindaklanjuti putusan hakim tersebut berdasarkan hukum yang berlaku, agar terbuka dengan terang benderang kehadapan publik.

“Akan tetapi, jika Kejaksaan Tinggi tidak mengambil tindakan hukum, saya sarankan agar KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menindaklanjuti putusan tersebut. Karena jelas berdasarkan fakta persidangan yang tertuang dalan putusan pengadilan, ada pihak yang namanya disebutkan, tapi tidak diproses berdasarkan hukum yang berlaku,” ujarnya menyarankan.

Hendra mengaku sangat yakin jika dugaan korupsi tersebut diambil alih KPK, maka proses hukumnya akan berlangsung cepat. Dengan demikian, kepastian hukum akan terungkap. Tidak ada kepastian hukum pada setiap penyelidikan dan penyidikan sebuah masalah, termasuk dugaan korupsi, sudah pasti membuat nasib terduga terkatung-katung.

Praktisi hukum lainnya, Iskandar Yoisangaji menjelaskan,  karena perkara ini sejak awal ditangani Kejaksaan Tinggi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa melakukan supervisi berdasarkan tugas KPK sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pasal 6 huruf d menyatakan, KPK bertugas melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kaitan dengan pelaksanaan supervisi diatur dalam peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 102 Tahun 2020 tentang pelaksanaan supervisi pemberantasan tindak pidana korupsi pada pasal 1 ayat (4) menyatakan supervisi adalah kegiatan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi guna percepatan hasil penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi serta terciptanya sinergitas antar instansi terkait.

Menurutnya, berkaitan dengan supervisi, maka KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika sudah dilakukan penyidikan dan penuntutan, maka KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.

Lanjut Iskandar, permintaan agar KPK melakukan supervisi atas kasus ini dikarenakan kejaksaan tidak mau menindak lanjuti temuan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan sebagaimana telah dinyatakan dalam pertimbangan majelis hakim berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 16/PID.SUS-TPK/2021/PN Ternate. (rii)