TERNATE, NUANSA – Penyelidikan serta penyidikan kasus dugaan korupsi anggaran pengadaan Kapal Nautika dan alat simulator di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Maluku Utara, dianggap aneh oleh praktisi hukum Iskandar Yoisangaji. Ia menegaskan itu setelah melakukan telaah atas putusan hakim terhadap empat mantan terdakwa dugaan korupsi Rp 7,8 miliar tersebut.
Menurutnya, terdapat keganjalan pada langkah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara dalam melakukan penyelidikan dugaan korupsi tahun 2019 itu. Itu bisa diketahui setelah dilakukan telaah atas berkas putusan Pengadilan Negeri Ternate terhadap terdakwa Imran Yakub dengan nomor 16/PID.SUS-TPK/2021/PN/Ternate.
Ia menjelaskan, dalam putusan itu, hakim menyebutkan nama mantan pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadikbud) Djafar Hamisi dan Kadikbud Malut aktif, Imam Makhdy melakukan pencairan uang muka sebesar 20 peresen dan 70 persen pencairan untuk paket pengadaan Kapal Nautika dan alat simulator, serta pencairan 100 persen alat simulator bukan terdakwa Imran Yakub yang membubuhkan tanda tangan selaku pengguna anggaran.
Djafar Hamisi dan Imam Makhdy disebut-sebut sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab karena melakukan pencairan anggaran tanpa ada permohonan pencairan, progres kerja dan berita acara serah terima. “Proses penyidikan yang dilakukan penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku Utara ada keganjalan. Sebab, pada saat kasus ini disidik, penyidik tidak menemukan berkas Plt Kadikbud Malut, Djafar Hamisi dan Kadikbud Malut aktif, Imam Makhdy. Sangat aneh jika penyidik tidak menemukan berkas Plt Kadikbud Malut dan Kadikbud aktif yang menandatangani pencairan tersebut harus dipertanyakan,” tegasnya, Senin (23/5).
Iskandar mengatakan, pertimbangan majelis hakim dalam persidangan bahwa yang harus bertanggungjawab adalah Djafar Hamisi dan Imam Makhdy, tentu saja itu terungkap sebagai fakta. Itu sebabnya ia mempertanyakan kenapa Kejaksaan Tinggi tidak mampu mengungkapkan fakta tersebut pada saat proses penyidikan dilakukan. Ia juga merasa heran kenapa Kejaksaan Tinggi tidak menindaklanjuti fakta persidangan di pengadilan.
“Ada apa sebenarnya pak jaksa. Saya kira Kapala Kejaksaan Tinggi harus melakukan evaluasi masalah ini, jangan tebang pilih dong dalam penegakan hukum. Prinsip equal itu harus diletakan secara proporsional. Ini pirnsip dalam sistem peradilan pidana,” katanya menyesalkan.
Dosen Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) ini juga merespons pernyataan salah seorang praktisi, dimana praktisi tersebut menyatakan kalau tindak lanjut perkara tersebut harus menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) sehingga berkekuatan hukum tetap. “Ini yang kacau, sebab putusan MA itu tidak akan berdampak pada perubahan fakta Feitelijke Vrag,”tegasnya.
Di Indonesia, kata Iskandar, ada pemahaman tersendiri bahwa apabila MA membatalkan putusan judex facti dan memutus dengan mengadili sendiri (rechtdoen principale), hakim kasasi memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap Feitelijke Vrag, sehingga berat ringannya pidana yang masuk dalam penilaian fakta dianggap menjadi kompetensi hakim kasasi.
Pandangan ini, menurutnya, menimbulkan kekeliruan pendapat, karena hakim kasasi sebagai judex juris, sehingga walaupun dalam membatalkan putusan judex facti dan mengadili sendiri haruslah tetap pada batas-batas penilaian “rechtmatigeheid” bukan pada soal “doelmatigheid”. Artinya, perspektif pemilihan antara fakta dan hukum tetap relevan dan dipertahankan. Sehingga, sama sekali MA tidak melakukan penilaian terhadap strafmaat (berat ringannya pidana) dan hasil pembuktian yang lebih merupakan persoalan “doelmatigheid”. Sedangkan MA melakukan penilaian terbatas pada rechtmatigeheid.
“Olehnya itu kenapa saya katakan kalau tindaklnjut dari kejaksaan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan itu sudah bisa dilakukan, karena ini fakta hukum (Feitelijke Vrag) yang lahir dalam persidangan tidak diada-adakan oleh hakim, karena sudah pasti bersesuaian dengan bukti-bukti yang ada,” jelasnya.
Sementara, informasi yang dihimpun wartawan NMG, Kejati Malut sementara ini masih menunggu putusan kasasi dari MA. Sehingga itu, tindaklanjut putusan pengadilan terkait kasus tersebut belum ditindaklanjuti. (tox/rii)