Opini  

Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah (PKD); Demokratiskah?

Nurlaila Kadarwati Papulua.

Oleh: Nurlaila Kadarwati Papuluwa, SH.

Fungsionaris KOHATI Cabang Ternate Bidang Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) dan Mahasiswi Pasca Sarjana Prodi Ilmu Hukum Unkhair

 

“Sejarah telah membuktikan bahwa baik mereka yang optimis maupun yang pesimis keliru mengenai demokrasi. Kejadian di masa depan mungkin akan membuktikan hal yang sama. Terdapat hambatan-hambatan besar bagi perluasan demokrasi di masyarakat”

(Samuel P. Huntington)

 

Demokrasi menempati posisi vital bahkan menjadi milestone (tonggak) sejarah ketika pertama kali diterapkan di Yunani kuno (Athena) sekitar abad ke-5 SM hingga memasuki milenium abad baru yakni dengan ditandai oleh semakin meluasnya negara penganut sistem demokrasi.

Secara sederhana, gagasan “demos” dan “kratos/kratein” dapat diterima secara universal, karena menjanjikan bahwa rakyat dapat ikut menentukan pilihannya dalam berpartisipasi baik secara langsung (direct democracy) melalui ruang-ruang publik maupun wakil-wakilnya (indirect democracy/ representative democracy) dengan pemerintahan yang dijalankan untuk kepentingan rakyat, serta diharapkan dapat merealisasikan kemakmuran, pemerataan pembangunan, hingga kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Lantas, apakah fenomena pengangkatan atau penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah dapat dikatakan demokratis, serta apakah demokrasi yang membuka kran kebebasan penguasa, lebih penting daripada stabilitas?

Pertanyaan-pertanyaan di atas mesti dilayangkan! Mengingat Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur yang diterbitkan 9 Mei 2022, telah menetapkan lima Penjabat Gubernur untuk mengisi sementara jabatan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 15 Mei 2022.

Keppres tersebut selaras dengan data yang dilansir dalam Artikel dengan judul “Mendagri Lantik 5 Penjabat Gubernur Pilihan Jokowi”  (12/05/2022)  menyebutkan bahwa kelima Pj Gubernur yang dimaksud adalah (1) Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik menjadi Pj Gubernur Sulawesi Barat; (2) Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) Kemendagri, Komjen Paulus Waterpauw menjadi Pj Gubernur Papua Barat; (3) Sekretaris Daerah (Sekda) Banten, Al Muktabar sebagai Pj Gubernur Banten; (4) Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Irwan Djamaluddin menjadi Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, dan (5) Ahli budaya sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Hendra Noer untuk Pj Gubernur Gorontalo.

Pengangkatan atau penunjukan PKD oleh Presiden Joko Widodo didasarkan pada alasan bahwa setidaknya terdapat 272 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatan definitifnya di tahun 2022 dan 2023, sehingga menyebabkan kekosongan jabatan selama kurang lebih dua tahun sampai terselenggaranya Pemilu Serentak pada 2024 mendatang.

Makna Demokratis

Belum usai 31 rangkaian permasalahan demokrasi di Indonesia, mulai dari money politic dalam pemilu hingga hadirnya buzzers dan cyber troops: para pelaku manipulasi opini publik untuk tujuan politik. (Hasil survei Lembaga LP3ES). Pasal 201 Ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah kembali menuai sorotan dan catatan kontroversi.

Menurut hemat penulis, pengangkatan PKD ini justru hendak mengantarkan demokrasi Indonesia pada titik demokrasi semu atau iliberal (pseudo democracy) yakni suatu sistem pemerintahan yang mengekang kebebasan sipil, akibatnya warga tidak mengetahui aktivitas pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.

Lahirnya kata demokratis yang dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 ketika itu menjelang perubahan kedua tahun 2000, secara eksplisit dinyatakan bahwa “Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demorakratis”.

Mahkamah Konstitusi sebagai the interpreter and guardian of constitution dalam perkara Nomor: 97/PUU-XI/2013 menafsirkan Pasal 18 ayat (4) mengenai frasa “dipilih secara demokratis“. Menurut MK, frasa “demokratis” dapat diartikan bahwa dipilih oleh rakyat dan dipilih oleh DPRD adalah suatu instrumen demokratis.

Interpretasi gramatikal dari Mahkamah konstitusi bersifat final dan mengikat berdasarkan ketentuan pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Karena bersifat final dan mengikat maka menjadi ketentuan yang harus ditaati oleh penyelenggara negara. Atas dasar argumentasi itulah, diangkat maupun ditunjuk oleh presiden tidak dapat diartikan demokratis.

Kedudukan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum yang tertinggi dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia tentu menjadi landasan kuat dalam menegasikan atau meniadakan tentang hak Presiden untuk mengangkat PKD, dikarenakan pengejawantahan konsep negara hukum yang demokratis tidak memberikan ruang cukup kepada Pemerintah dalam hal ini Presiden untuk mengangkat pemimpin daerah.

Model pengangkatan hanya dilaksanakan pada negara-negara yang otoriter dan bukan pada negara yang menganut sistem demokrasi. Dengan perkataan lain, dalam asumsi masyarakat demokratis cara pengangkatan dan coup d’etat (perebutan kekuasaan) dianggap sebagai cara-cara yang tidak wajar.

Penguatan Demokrasi Deliberatif

Demokrasi deliberatif menekankan pentingnya partisipasi publik yang sifatnya dialogis yakni secara bersama-sama berupaya mencari kebenaran yang berakar pada fakta, peduli pada kepentingan masyarakat, dan tidak doktriner. Salah satu upaya pengejawantahan demokrasi deliberatif dalam menjawab masalah ini adalah Presiden Joko Widodo atas dorongan DPR menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) dengan dalih rechtsvacuum atau terjadinya kekosongan hukum.

Perpu tersebut dinilai oleh beberapa pakar hukum lebih tepat. Sebab, mulai 15 Mei 2022 ada 102 (8 Gubernur, 78 Bupati dan 18 Wali Kota) serta pada tahun 2023-2024 terdapat 170 (17 Gubernur, 115 Bupati dan 38 Wali Kota) akan habis masa jabatannya sebelum pelaksaan pemilu serentak tahun 2024.

Alasan rasional lainnya mengenai urgensi diperpanjang masa jabatan kepala daerah ialah Pertama, proses rekrutmen rentan terjadi paktik suap kepada pejabat yang berwenang mengangkat. Kedua, menjaga netralitas PKD dari intervensi dan kooptasi politik. Oleh karena, kepala daerah adalah figur yang diharapkan dapat menjalankan kepemimpinan dengan sedikit resistensi politik di daerah.

Perpanjangan Penjabat (Pj) Kepala Daerah ini seyogianya berdasar atas indikator atau limitasi yang ditetapkan melalui Perpu agar dapat menutup celah terjadinya penyalahgunaan kewenangan, hingga dipilih kembali Kepala Daerah sesuai aspirasi dan kehendak rakyat. (*)