TERNATE, NUANSA – Pernyataan Wakil Gubernur (Wagub) Provinsi Maluku Utara, M. Al Yasin Ali yang menyebut ide ganti nama provinsi dari Forum Akademisi Peduli Maluku Utara (FAPMU) tidak mendasar dan keliru, ditanggapi balik inisiator FAPMU, Dr Murid Tonirio.
Murid mengatakan, cara Wagub melihat ide perubahan nama Provinsi Maluku Utara, tidak menggunakan logika yang koheren. Atas dasar itu, Wagub tidak bisa menghubungkan satu hal dengan hal yang lain secara logis dalam menggunakan istilah kapal dan nakhoda.
“Yang kita inginkan adalah nama kapal ini diganti, bukan kapalnya. Sebab kalau kapalnya diganti, maka Maluku Utara bubar. Kapal ini kan dibayangkan Maluku Utara, nah nama kapal itu yang harus diganti karena dia tidak marketable,” jelasnya pada Nuansa Media Grup (NMG), Minggu (5/6).
Menurutnya, FAPMU tidak membahas pergantian nakhoda. Jika Wagub sampaikan bahwa nakhoda harus diganti agar Maluku Utara bisa maju, maka orang nomor dua di provinsi itu juga masuk dalam pemikirannya itu. “Sehingga itu, saya katakana bahwa cara berpikir Wagub tidak koheren. Nakhoda kan dia, selain Gubernur,”katanya.
Pernyataan yang dilontarkan mantan Bupati Halmahera Tengah (Halteng) itu, dinilai mengkritik diri sendiri. Murid juga mempertanyakan apa yang telah dilakukan Wagub terkait dengan kesejahteraan masayarakat Maluku Utara sejauh ini ketika Wagub menggap apa yang dilakukan Akademisi tidak berdasar.
“Sebenarnya dia mengekritik diri sendiri. Apa yang dia bikin selama ini sebagai pejabat, apa yang dia bikin sebagai pemerintah? Akademisi itu mengurai masalah, nah tugas pemerintah adalah menjalankan program kesejahteraan masyarakat,” tegasnya bertanya.
Murid juga menambahkan, pernyataan Wagub yang mengibaratkan Maluku Utara adalah sebuah kapal yang tergantung pada nahkodanya, secara implisit, menyinggung Gubernur Abdul Gani Kasuba (AGK).
“Implisitnya mengatakan begitu, karena dia tidak menyebutkan. Tapi asumsinya orang akan membaca itu. Bahwa dia ingin mengatakan Gubernur sekarang gagal, karena itu harus diganti,” tambahnya.
Murid juga menegaskan, bahwa bagi FAPMU, nama Maluku Utara tidak marketable atau tidak layak untuk dipasarkan. Karena dalam banyak hal yang dialami, ketika menyebut nama Maluku Utara, orang-orang di luar menganggap Maluku Utara adalah Provinsi Maluku.
Selain itu, Ia juga menilai, sejauh ini pemerintah belum mengetahui konjungtor apa yang terlibat dalam satu proses pembangunan. Karena pemerintah tidak bisa mengaitkan satu hal dengan hal yang lain untuk memicu sesuatu yang baru untuk kemajuan daerah.
“Nama, itu salah satu konjungtor, dan Maluku Utara belum terlalu familiar sebagai nama provinsi. Ini problem etik sekaligus problem politik,” pungkasnya. (tan/rii)