Oleh: Ajhustal Hi Abang, S.Pd
Guru MA Alkhairaat Tobelo
“PAHLAWAN tanpa tanda jasa adalah gelar mulia yang disematkan pada guru. Guru yang mendidik dan mengajar generasi bangsa. Guru pula yang mempersiapkan penerus kepemimpinan bangsa. Betapa penting dan strategisnya peran guru bagi suatu Negara”
Ungkapan sederhana di atas tentu akan menjadi statemen paling keras atas kebijakan Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) yang akan menghapus tenaga honorer pada semua instansi Pemerintahan. Tak terkecuali lembaga pendidikan, dalam hal ini Guru. Ya, guru atau tenaga pendidik, inilah salah satu profesi yang mulia yang tidak pernah mendapatkan tempat layak di Negeri ini, mereka diperhadapkan kembali dengan dua pilihan; memilih bertahan pada tujuan pengabdiannya, atau mengikuti kehendak Pemerintah lewat kebijakannya.
Terkonfirmasi lewat Data Kemendikbud, di tahun 2020 terdapat 72.976 pensiunan guru. Dan hingga 2024 nanti prediksi kekurangan guru mencapai 1.312. 759 orang. Jumlah guru non-PNS di tahun 2020 mencapai 937. 228 orang, 728.461 di antaranya masih berstatus guru honorer sekolah. Bila dibandingkan dengan data di atas, tentu kita akan membayangkan bagaimana nasib ratusan ribu guru honorer yang menghibahkan diri untuk mengabdi, dan memilih jalan ini sebagai wujud rasa cinta terhadap Negeri, tetapi harus berhenti di tengah jalan karena keterbatasan status yang melekat hanyalah seorang guru honorer/ non-PNS.
Upaya kebijakan Pemerintah lewat perekrutan sejuta guru melalui seleksi PPPK
nampaknya tidak membuahkan hasil yang baik. Buktinya, untuk diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK), mau tidak mau guru honorer harus mengikuti setahap seleksi yang berakhir dengan drama tangis. Mengingat sejumlah guru honorer yang telah berusia sepuh dan minimnya pengetahuan teknologi harus mempertaruhkan nasib yang dihadapkan lewat serangkaian tes berbasis digital. Di samping melakukan penyesuaian dengan sistem digital, guru honorer yang separuh hidupnya diberikan untuk mengabdi demi bangsa dan negara itu dipaksa harus melawan rasa lelah dalam mengikuti tahapan seleksi. Sungguh sebuah gambaran pengabdian yang dibalas dengan tangisan air mata .
Kondisi yang memprihatikan dari seorang guru honorer pun tidak terlepas dari tanggungjawab keseharian nya di sekolah, banyak dari mereka yang tidak hanya bertugas untuk mengajar, tapi mendapatkan peran lebih. Seperti membantu mengurus data-data sekolah, atau dituntut serba bisa bahkan harus siap menerima peran apapun dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Secara tidak langsung beban kerja guru honorer/Non PNS dan PNS pun tak sama bedahnya. Lantas bagaimana dengan kebutuhan guru honorer dari sisi kesejahteraan, sudah pasti sangat jauh berbeda bila dibandingkan.
Banyak perbedaan mendasar bila dilihat antara nasib dan keistimewaan para guru-guru di Negeri ini, dengan Negara-negara maju pada umumnya yang sangat memperhatikan keadaan guru, bahkan profesi guru yang melekat di sana adalah sebuah keistimewaan yang luar biasa. Perbedaan nasib guru ini pun akan menjadi barometer atas perkembangan pendidikan di sebuah Negara. Lantas bagaimana dengan Indonesia yang pendidikan nya masih menjadi anomali, sementara profesi guru di Negeri ini pun bukanlah perkara mudah dan sesuatu yang biasa-biasa saja apalagi status nya adalah guru honorer.
Hidup dalam dunia modern seperti sekarang bertahan dengan honor tiga-tujuh ratusan per-bulan bukanlah hal yang masuk akal. Tapi para Bapak/ibu guru honorer sanggup melewati itu semua dengan niatan tulus tanpa pamrih mereka sanggup mewakafkan waktu dan dirinya sebagai tenaga pendidik, walaupun kenyataan ini akan sangat bertolak belakang dengan situasi yang ada. Bahwa seorang guru honorer pun manusia biasa yang harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Terkadang dengan sisa gaji yang ada, mereka memilih untuk mencari jalan tengah untuk segala pekerjaan. Tak segan-segan mereka bisa menjadi kuli bangunan, tukang ojeg, merangkap menjadi petani, dan sederet pekerjaan tambahan lainnya demi memenuhi kebutuhan yang serba pas-pasan itu.
Sepatutnya Negara memberikan jaminan terbaik dalam mengeluarkan kebijakan yang tidak menuai pro-kontra. Karena keterkaitan nya menyangkut pendidikan yang berhubungan langsung dengan tenaga pendidik. Seiring berjalan waktu kebutuhan rakyat terhadap guru amatlah sangat besar, dan sudah saatnya Negara membuka penerimaan guru tanpa embel-embel kontrak. Selain menggantungkan nasib para guru honorer yang mengabdi sudah di atas 10 tahun, negara pun seolah tidak terlalu serius dan bijak dalam memenuhi kebutuhan pendidikan secara merata di seluruh pelosok negeri. Padahal, Bangsa yang visioner itu akan menjadikan guru sebagai mesin pendorong dalam menopang perkembangan pendidikan secara strategis demi mewujudkan tatanan peradaban yang baik di masa-masa mendatang. Bukan untuk memberhentikan nya. (*)