Opini  

Perempuan Dalam Politik

Oleh: Meliyana Syukur

Aktivis Perempuan GAMHAS Maluku Utara

 

Dalam membangun Komunikasi politik, perempuan baik secara individu maupun Kelompok memiliki alasan-alasan, implikasi dan peran yang Memunculkan perannya di partai politik dan legislatif. Sehingga tuntutan peran Dan partisipasi perempuan tidak hanya sekedar memilih. Perempuan mempunyai hak untuk menduduki jab Melalui Komunikasi yang dibangun oleh kaum perempuan tersebut Dengan masuk pada sistem politik seperti partai politik Ataupun lembaga legislatif, mereka akan menempati posisi suaranya dalam pemilihan umum.

Selama ini ada anggapan bahwa dunia politik identik dengan dunia laki-laki. Anggapan ini muncul akibat adanya “image” yang tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang diidentikkan dengan karakteristik laki-laki. Akibatnya, jumlah perempuan yang terjun di dunia politik kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasinya dan persamaan hak asasinya cukup tinggi.

Selain itu, kesan semacam itu muncul karena secara historis, khususnya pada tahap awal perkembangan manusia, kaum pria selalu identik dengan “lembaga” atau aktivitas kerja di luar rumah, sementara perempuan bertugas menyiapkan kebutuhan keluarga di dalam rumah seperti memasak, mengasuh anak, dan melayani suami.

Masih belum optimalnya kesetaraan dan keadilan gender ini bisa dibaca pada realitas partisipasi perempuan dalam jabatan-jabatan publik di dunia internasional yang ternyata masih sangat minim dan begitu memprihatinkan. Hal ini ditandai dari 418 partai politik di 86 negara, perempuan yang menduduki posisi sebagai presiden/ ketua partai hanya 10,8%, deputi presiden/wakil ketua 18,7%, sekretaris jenderal 7,6%, juru bicara partai 9% .

Menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS)3 tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51 persen dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun demikian, jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di Indonesia.

Ada masalah yang sangat strategis untuk dikaji lebih jauh, yaitu mengenai peran perempuan dalam komunikasi politik beserta segala kendala dan faktor pendukung keterlibatan mereka. Hal ini sangat penting diteliti karena dalam perspektif politik modern, logikanya, agenda yang kongkrit untuk memajukan peran dan harkat perempuan Indonesia sudah selayaknya dijadikan salah satu tawaran utama oleh partai politik yang ingin melapangkan jalannya ke gedung parlemen. Hal ini didasari oleh fenomena bahwa 57% perolehan suara ditentukan oleh suara perempuan .

Alasan lain yang tidak kalah pentingnya meneliti tentang masuknya perempuan ke sektor politik adalah untuk mengetahui lebih jauh apakah terjadi perluasan cakupan politik ke arah masalah-masalah yang semula dianggap bukan isu politik seperti kesejahteraan anak, perlindungan terhadap reproduksi perempuan dan sebagainya. Bahkan lebih jauh dari itu, karena setengah total jumlah penduduk di Indonesia adalah perempuan, maka mengabaikan perempuan Indonesia dalam pembuatan keputusan politik sama artinya dengan meminggirkan mayoritas penduduk Indonesia dari proses politik.

Pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum4, dapat dikatakan bahwa perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan hak khusus di bidang politik yang sifatnya sementara (affirmative action) telah tercapai. Pada satu sisi kebijakan ini sesungguhnya sangat menguntungkan bagi kaum perempuan di Indonesia, sebab dengan kebijakan amandemen Undang-undang tersebut, perempuan dapat meningkatkan partisipasi politiknya yang terlihat dalam peningkatan representasi perempuan di parlemen sekurang-kuangnya 30 persen.

Hal ini tercermin secara implicit pada Pasal 65 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap partai politik peserta pemilihan umum dapat mencalonkan anggota DPR/DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”. Namun pada sisi yang lain, justru akan menjadi kendala bagi perempuan itu sendiri, institusi-institusi yang akan mereka tempati manakala kesiapan dan penerapannya tidak sejalan dengan tuntutan dari keijakan Undang-undang tersebut. (*)