Oleh: Nurlaila Kadarwati Papuluwa
Pengurus KOHATI Cabang Ternate Bidang Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) dan Mahasiswi Pasca Sarjana Prodi Ilmu Hukum Unkhair
“An unjust law is itself a species of violence”
Hukum yang tidak adil adalah bagian dari spesies kekerasan—Jeremy Bentham
Seperti menapaki jalan terjal tak berujung. Problematika kekerasan seksual (sexual violence) sebagai suatu bentuk serangan atau invasi (assault) terhadap fisik, integritas mental, maupun psikologis seseorang seakan telah menjadi tanda bahaya yang terus bergulir dari waktu-waktu. Sebab, tidak hanya endemis tetapi juga menyebar (pervasive) bahkan tiada henti mengintai pada subjek yang akan menjadi korban dari jenis kejahatan ini.
Akar kekerasan seksual, sejatinya tidak hanya bersumber dari anasir moralitas. Ada masalah yang lebih mendasar yakni relasi kuasa sebagai suatu konstruksi sosial mengenai hubungan antara yang dominan dan lemah.
Sehingga tepat, bilamana Bivitri Susanti menyebutkan dalam tulisannya di Majalah Tempo perihal Kekerasan Seksual dan Perlunya Upaya Serius Negara Menghapusnya Melalui Undang-Undang (2021). Masalahnya bukan pada korban, melainkan pada pelaku yang melihat korban tidak berdaya dan dapat dijadikan objek pemuas nafsu seks belaka.
Tidak mengherankan bila korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan. Akan tetapi, juga terjadi pada anak yang berada dalam situasi kalah-kuasa dan kerap mengalami fear of crime. Karena dianggap tidak berdaya, takluk, dan mudah dikuasai.
Implikasi dari kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak, tentu mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi reproduksi, luka secara fisik, depresi, kehamilan tidak diinginkan, adanya dorongan untuk bunuh diri hingga terbunuh dengan cara sadis. Dengan demikian, meskipun predator seks tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan berarti secara otomatis dapat menghilangkan rasa traumatis dan mengembalikan harkat dan martabat hidup yang diderita sang anak.
Evidensi atas fakta tersebut dapat dibuktikan, berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait Catatan Pelanggaran Hak Anak tahun 2021 dan Proyeksi Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak tahun 2022 menyebutkan bahwa aduan tertinggi kasus kejahatan seksual terhadap anak berasal dari jenis anak sebagai korban pencabulan sebanyak 536 kasus (62%), dan anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/ persetubuhan sebanyak 285 kasus (33%).
Eskalasi data di atas akan terus meningkat bila tidak disikapi secara tegas. Sebagaimana duka mendalam juga dialami oleh seorang anak perempuan berusia 12 (dua belas) tahun, warga di salah satu Kelurahan Kecamatan Pulau Ternate yang menjadi korban pemerkosaan. Remaja yang diketahui masih berstatus sebagai pelajar ini, dicabuli sebanyak 4 (empat) kali oleh KY yang telah berusia 48 tahun. (Tiva Timur, 5/07/2022).
Khusus untuk tersangka KY, jika bukti permulaan telah cukup dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Unit Reskrim Polsek Pulau Ternate, maka pelaku disinyalir akan dijerat dangan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang atau berdasarkan Pasal 290 ayat (2) Jo. Pasal 64 KUHP yaitu jika korbannya perkosaan adalah anak maka pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan lama paling banyak 15 (lima belas) tahun penjara.
Tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh KY hanyalah salah satu kasus terbaru, diantara bentuk rangkaian kekerasan seksual pada anak yang sebelumnya telah terjadi di Provinsi Maluku Utara. Baik dilakukan oleh pelaku tunggal maupun didasarkan atas penyertaan (deelneming delicten) yaitu terdapat 2 (dua) orang atau lebih yang mengambil bagian dalam mengaktualisasi suatu tindak pidana tersebut.
Urgensi Pemberatan Sanksi Pidana bagi Predator Seks
Hadirnya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 dan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sejatinya dimaksudkan untuk mempertegas tentang pentingnya pemberatan sanksi pidana dan denda. Sebagai upaya preventif dan represif negara dalam mendorong adanya langkah konkret dalam memperkuat efek penjeraan bagi pelaku kejahatan terhadap anak.
Perbuatan perkosaan yang dilarang lebih luas dari KUHP dengan sanksi yang jauh lebih berat dari sebelumnya, dan terdapat perlindungan khusus yang wajib diberikan kepada korban. Dengan perkataan lain, perkosaan terhadap anak termasuk jenis kejahatan yang diancam dengan sanksi-sanki pidana pemberat.
Meskipun kebijakan pemberatan pidana bagi pelaku pemerkosaan, khususnya pidana pokok telah diatur dalam Pasal 82 ayat (2) dalam UU Perlindungan Anak. Namun, sebatas ditujukan oleh subjek hukum tertentu yakni orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan. Maka hukumanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 82 ayat (1).
Ketiadaan frasa “tetangga” sebagai orang dekat yang menjadi aktor/ pelaku kejahatan seksual dapat menimbulkan celah tidak dapat ditegakannya pemberatan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap Anak. Atas alasan tersebutlah menurut hemat penulis, seyogianya pelaku kejahatan seksual perlu disikapi dengan tegas, melihat bentangan realitas bahwa “tetangga” maupun “oknum aparat penegak hukum” sekalipun yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak patut diberikan pemberatan sanksi pidana.
Pemberatan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak akan menciderai tujuan pemidanaan. Mengingat, kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak dianggap sebagai kejahatan yang berat (serious crime) dengan tidak berarti meninggalkan sama sekali teori retributif (pembalasan) dan bertumpu pada tujuan yang hendak dicapai dalam penjatuhan pidana, yaitu agar menimbulkan efek pencegahan sehingga tidak terjadi kejahatan serupa di masa yang akan datang baik terhadap pelakunya sendiri (special prevention) maupun efek hukuman untuk mempengaruhi perilaku masyarakat secara umum (general prevention). Sebab, dunia akan menjadi lebih baik bilamana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas penjahat. (*)