SANANA, NUANSA – Penanganan kasus dugaan korupsi di Kabupaten Kepulauan Sula mendapat sorotan publik. Penegak hukum di kabupaten yang dipimpin Bupati Fifian Ade Ningsih Mus dianggap tidak bertaring. Padahal, dugaan praktik korupsi di daerah ini kian menjadi-jadi.
Tiga kasus dugaan korupsi di Sula yang sudah sempat diproses hukum Kejaksaan Negeri (Kejari) Sula, mulai diwacanakan. Sebab, perkembangan penyelidikan megakorupsi tersebut terbilang tidak progress. Tiga kasus itu adalah dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2020 senilai Rp 21 miliar, dugaan korupsi pembangunan Masjid An’Nur di Desa Pohea yang dianggarkan melalui Dinas PUPR tahun 2015-2018 senilai Rp 4,5 miliar dan dugaan penyalahgunaan anggaran penanganan covid-19 tahun 2020 senilai Rp 35 miliar.
Praktisi hukum Musa Darwin Pane angkat bicara menyikapi tumpulnya penegakan supremasi hukum di Kabupaten Sula. Menurutnya, penanganan dugaan korupsi di Sula tidak terdengar lantaran penegak hukum tidak bertaring. Dugaan praktik korupsi di Sula makin menjadi-jadi, tetapi penegak hukum tidak bisa berbuat banyak. “Kasus-kasus ini kan sudah ditangani. Kenapa sampai sekarang tidak ada kejelasan?,” ujarnya dengan nada tanya.
Menurutnya, tiga dugaan korupsi ini setidaknya diusut serius oleh penegak hukum, karena nilainya besar. Jika penegak hukum tidak serius, maka tidak ada efek jera dan praktik korupsi akan terus terjadi. “Masjid itu juga tidak selesai dibangun, maka harus diusut serius. Masalah DAK juga harus diseriusi. Kalau anggaran covid itu dalam tahap pulbaket. Tiga dugaan penyalahgunaan anggaran tersebut sempat menghebokan publik. Tapi kenapa tidak satupun yang diproses hingga ke pengadilan,” tutur Musa.
Lanjutnya, penanganan hukum yang dilakukan secara tranparan, proposional dan akuntabel, agar kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum semakin membaik, termasuk terkait dengan pemberantasan korupsi. (Ish/rii)