(Meninjau Branding Ternate sebagai Kota Rempah)
Oleh: Ibrahim Yakub
Penulis buku
Perihal Kota
Siapa yang tidak pernah mendengar mengenai sebutan kota. Nama ini tentu sangat familiar di telinga publik bahkan menjadi kebanggaan yang bahagia ketika hidup dalam suasananya. Beberapa kajian ilmu filsafat juga neo-marxisme cenderung menggunakan ruang untuk melihat kota sebagai bangunan bukan dalam pengertian umum yang melingkupi beragam aktivitas didalamnya. Mengapa tidak oleh karena disana tersedia gedung-gedung yang menjulang tinggi, kendaraan beroda dua dan empat yang beragam merek atau jenis, penampilan orang-orangnya ikut mewarnai ragam corak, sepanjang jalan ramai-ramainya nyala pijar melebihi indahnya pelangi.
Alih-alih kota dianggap sebagai lumbungnya kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan sebab semua mimpi akan kebutuhan individu dan kelompok yang heterogen mampu terakses dengan mudah dan diperoleh dalam waktu yang cepat. Tentunya kota identik dengan good governance dan kapitalisme modern yang dilakukan dengan manajemen pemimpin kota beserta landasan ideologi yang dianutnya, konsekuensi kehidupan kota adalah saling berkompetisi hingga ada yang teralienasi kenapa demikian oleh karena realitas kota hari ini tidak menjadi urusan kolektif yang menguntungkan semua orang.
Mengingat juga karena rata-rata orang yang hidup di perkotaan adalah masyarakat yang bermigrasi dari desa ke kota notabenenya asimilasi budaya, ekonomi, dan politik niscahaya akan terjadi selaras dengan menurut Coen Husain ponto (2010) yang mengulas petras dengan artikelnya The unemployed workers movement (2002) akibat dari ciri masyarakat kota adalah mereka yang berasal dari desa ke kota sehingga posisi gandanya yang bersifat psikologis maupun psikis artinya mereka mempunyai pengalaman hidupnya setengah kota setengah desa dimana berada keadaan secara ekonomi ia sangatlah miskin tapi secara politik aspirasinya adalah aspirasi kota.
Kota dan masalahnya
Keindahan pasti ada di sana, taman-taman rimbun yang dipenuhi oleh bunga-bunga tropis, panorama wisata yang eksotis mempengaruhi mata setiap pengunjung hingga tidak mau berkedip. Ternyata itu hanyalah magnet kota yang diamati dari luar semata, sebab masih terdapat problem yang kompleks terjadi di sebuah kota.
Sejumlah kota yang heroik dengan gagasan branding citynya salah satunya Kota Ternate yang terdapat di Provinsi Maluku Utara kota yang saat ini gencar mempromosikan city branding sebagai kota rempah oleh Wali Kota Ternate M. Tauhid Soleman pada saat acara HAJJAT 771 kota yang mengukir sejarah panjang dari pergantian tiga nama yakni formadiahi ke Tra No Ate hingga menjadi Ternate, jejaki abad-abad silam nyiur melambai ke penjuru dunia tentang semerbak aroma cengkih dan pala juga kelapa yang mengundang bangsa eropa sampai pada negeri yang terkumandangkan adzan yakni negeri jazirah arab mengintai rempah-rempah itu.
Ringkasan uraian itu menggambarkan bahwa kota rempah yang disanjung oleh pemerintah kota ternate kesannya terlalu membusungkan dada akan sejarah kejayaan masa lalu. Sejatinya Ternate hari ini menjadi kota yang masyarakatnya heterogen, pintu masuk perdagangan barang dan jasa, tempat transitnya pendatang juga jalur mobilisasi sentral orang-orang dari luar Maluku Utara.
Secara otomatis afiliasi budaya terjadi dan pembebasan lahan menjadi jaminan dari city pressure yang bertambah populasinya. Bahkan rempah-rempah sebutan pala dan cengkeh dikota rempah menjadi tidak terdengar serta masyarakat sendiri tidak mengetahui dimana Central place, mirisnya lagi ternate menjadi market penampung pala dan cengkeh dari beberapa kabupaten/kota lainnya.
Kota rempah penuh sampah berdampak banjir, begitulah pembuktian fakta sosial dan ekologi di Kota Ternate. Sebab secara nyata Kota ternate masih berada pada kubangan masalah sampah menyebabkan terjadinya banjir hal ini di perkuat dengan fenomena banjir dikampung makasar, Rabu,30 maret 2022 dilansir dari brindonews bahwa genangan air terjadi akibat luapan drainase yang tertumpuk sampah. Belum lagi pulau batang dua yang terjadi abrasi akibat reklamasi di kota rempah (Ternate), ditambah nasib kesejahteraan ekonomi mereka yang terkatung-katung dengan janji politik setiah lima tahun.
Solusi singkat
Problem-problem umum Kota Ternate ini harusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah kota untuk merumuskan branding city yang sesuai dengan kedaan kontemporer kota ternate. Artinya dalam perumusan konsep branding city yang nantinya diikuti dengan sub kebijakan harus memiliki rumusan masalah yang tepat diantaranya masalah kota ternate hari ini adalah ekologi (sampah,banjir, dan air bersih) maka brandingnya dikampanyekan sebagai kota ramah lingkungan (eco-friendly city), bentuk kota ramah lingkungan adalah tersedianya taman-taman besar skala kota yang sekaligus menyediakan lahan kosong sebagai resapan air, lingkungan hunian pemukiman warga harus memiliki spasi lahan kosong yang berjarak, sementara untuk menata sampah di jalan sungai maka karakter masyarakat pinggiran jalan sungai harus dirubah agar memandang jalur tepian sungai penuh sampah itu sebagai ruang sosial, taman dan juga alam yang harus dilindungi. Semua itu butuh sentuhan pemerintah oleh karena kota merupakan sentuhan rekayasa manusia bukan tumbuh secara alamiah seperti pepohonan. (*)